Mohon tunggu...
ARIVAIE RAHMAN
ARIVAIE RAHMAN Mohon Tunggu... Dosen - Dosen dan Peneliti Tafsir al-Qur'an Nusantara

Dosen dan Peneliti Tafsir al-Qur'an Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang Aksara Melayu yang Hampir Terkubur

23 Juli 2020   15:57 Diperbarui: 3 Juni 2021   17:20 2586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengenang Aksara Melayu yang Hampir Terkubur (unsplash/green chameleon)

Aksara adalah simbol peradaban dan identitas kebudayaan. Kekekalan aksara menjadi indikator akurat untuk mengukur: apakah suatu bangsa masih kuat bertahan atau telah hengkang dari kompetisi kehidupan. 

Sesuai dengan makna Sanskerta yang disandangnya, "a" (tidak) dan "kshara" (termusnahkan). Tetapi sekarang apa yang terjadi dengan aksara Melayu di Riau?

Aksara Melayu atau yang disebut juga dengan huruf Jawi --aksara orang Jawah-Nusantara- hanya dipahatkan di papan nama masjid, kantor, dan instansi lainnya. Sementara yang lain ditulis pada palang nama jalan yang bercat putih berlatar hijau. Itupun terkadang kaidah penulisannya kerap keliru, sungguh ironis. 

Tidak dapat disanggah, keberadaan tulisan Melayu-Jawi merupakan buah inkulturasi bangsa Arab dan kerasnya upaya Islamisasi di tanah Melayu. Meskipun demikian, aksara Melayu tidak seutuhnya sama dengan aksara Arab. 

Baca juga : Songkok Hitam Orang Melayu Daik

Bukti historis menunjukkan bahwa Syekh Nuruddin al-Raniri (w. 1658) seorang mufti kerajaan Aceh asal daratan India tidak mampu menulis dalam aksara Melayu tanpa bantuan orang Aceh untuk menyusun kitab Shirt al-Mustaqm.

Begitu pula kasus yang terjadi pada Syekh Abdurrauf al-Singkili (w. 1693) yang terlalu lama ber-mustautin di Timur Tengah terpaksa meminta beberapa asisten demi kelancaran penulisan karya-karyanya. 

Ini sekelumit bukti aksara Melayu memiliki perbedaan mendasar dengan aksara Arab. Paling tidak dapat dikatakan hurufnya sama, namun cara membacanya berbeda. 

Ditambah lagi dengan beberapa huruf konsonan yang sama sekali baru bagi orang Arab. Terdapat tambahan huruf "ca" (), "nga" (), "pa" (), "ga" (), dan "nya" (). Jadi, aksara Melayu merupakan aksara mandiri dan berhak untuk dipatenkan oleh bangsa Melayu.

Baca juga : Meskipun Mirip, Ternyata Minang dan Melayu Itu berbeda!

(canal-midi.info)
(canal-midi.info)
Pertanyaan penting untuk dijawab, mengapa orang Melayu menulis dengan aksara tersendiri? secara fungsional, aksara Melayu semulanya digunakan sebagai media komunikasi yang mempersatukan lintas suku bangsa, bahkan lintas negara sejak ditemukannya prasasti Terengganu abad 8 H / 14 M. 

Negara-negara Asia Tenggara pasti akrab dengan aksara Melayu; Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan di Brunei telah ditetapkan sebagai alfabet resmi negara. 

Namun bila diuraikan lebih serius, penulis beranggapan sebenarnya ada banyak alasan dan motif orang Melayu menulis dengan aksara tersendiri. Beberapa di antaranya:

Pertama, motif religius. Slogan "Melayu adalah Islam dan Islam adalah Melayu" menjadi penanda bahwa upaya islamisasi mengharuskan misionaris (baca: pendakwah) Islam untuk menerjemahkan kitab Arab atau menulis karya otonom dalam bahasa Melayu beraksara Arab-Jawi. 

Baca juga : Kampung Bali di Tanah Melayu

Tujuannya agar menjadi salah satu bentuk penghormatan terhadap aksara yang digunakan teks utama Islam, al-Qur'an dan Hadits. Serta menjaga titik renggang agar tidak terlalu jauh dengan aksara Arab, tempat tradisi Islam lahir dan terbentuk. Sehingga lahir sikap sakralisasi aksara: "kalau tidak menulis dengan aksara Arab-Jawi maka tidak afdhal".

Kedua, motif kekuasaan dan adat. Keduanya merupakan dua sisi mata uang yang sulit dicaraikan. Setelah orang-orang Melayu kian terpikat dengan Islam, pembesar-pembesar istana semakin ketar-ketir dan merasa panas-dingin takut kehilangan, wibawa, kharisma, reputasi, dan kekuasaan. 

Sebab itu, banyak di antara mereka pada awalnya 'terpaksa' masuk Islam. Namun terjadi negosiasi yang bertujuan agar adat tidak boleh dipisahkan dari kehidupan raja.

Dengan demikian agaknya lahir ungkapan: "Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah". Sejak saat itu, undang-undang kerajaan yang berpaut berkelindan dengan norma adat ditulis menggunakan aksara Melayu. 

Berkaitan dengan ini di kerajaan Siak Sri Indrapura dihimpunlah kitab "Bab al-Qawa'id". Sebuah peraturan kerajaan yang mengkombinasikan syariat Islam dan peraturan adat.

Ketiga, motif sastra. Ada banyak karya sastra Melayu yang ditulis menggunakan huruf Jawi. Apakah itu dalam bentuk Gurindam, Pantun, Seloka, maupun Syair. Di Riau ditersohor dengan Gurindam Dua Belas karya Ali Haji  Pulau Penyengat (w. 1873) dan Syair Ibarat Khabar Kiamat karya Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari (w. 1939) Mufti Kerajaan Indragiri. 

Pada bagian ini aksara Melayu berhasil mendokumentasikan dan merekam keindahan susastra Melayu yang terilhami dari sastra Arab dan Persia yang mengandalkan ketepatan pilihan lafal dan keserasian bunyi rima yang bersajak.

Keempat, motif anti kolonialisme. Semua orang Melayu tidak senang dengan tindakan sewenang-wenang bangsa lain terhadap tanah airnya, meskipun mereka kerap terpedaya oleh bujuk rayu dan terkadang bersekutu dengan penjajah demi kepentingan kelompok. Dalam pengertian tersebut adalah penjajahan bangsa Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang. 

Sebab itu, segala surat-surat penting kerajaan, nota perjanjian dagang, dokumen penting, dan semua yang menjadi aset pribumi harus dilindungi, salah satu caranya dengan menggunakan aksara Melayu, tidak menggunakan aksara Roman sehingga orang non-Melayu relatif mengalami kesulitan memahaminya.

Kelima, motif meredam Islam modernis. Derasnya semangat modernisme Islam yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Timur-Tengah: Jamaluddin al-Afghani (w. 1897), Muhammad Abduh (w. 1905), dan Rasyid Ridha (w. 1935) berimbas pada terjadinya dikotomi ideologis antara kelompok kaum tua (tradisionalis) dan kaum muda (modernis) di Nusantara.

Kaum modernis lebih senang menulis buku-buku agama dengan aksara Roman, sebagaimana yang digalakkan oleh Muhammadiyah (1912) dan Persatuan Islam atau Persis (1923). Sementara kaum tua masih konsisten dengan tulisan Melayu-Jawi, sebagai titik pisah ideologi antar keduanya.

Motif-motif di atas merupakan beberapa alasan dan penunjang bertahannya aksara Melayu di masa lalu. Semuanya sekarang tinggal kenangan. 

Aksara Melayu hari ini kurang mendapat perhatian, meskipun mata pelajaran 'Baca Tulis Arab Melayu' telah dijadikan sebagai bahan ajar muatan lokal di sekolah-sekolah di Riau. Tetapi masih banyak generasi muda yang mengalami kegagapan aksara Melayu.

Kegagapan ini tampaknya berbanding lurus dengan buta aksara al-Qur'an. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah pengaruh negatif globalisasi dan kurangnya kesadaran terhadap sejarah dan memudarnya kecintaan terhadap budaya lokal. 

Sehingga tulisan Melayu hanya menjadi prasasti di spanduk-spanduk acara lembaga adat, palang nama jalan, dan papan nama instansi agama dan pemerintahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun