Negara-negara Asia Tenggara pasti akrab dengan aksara Melayu; Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan di Brunei telah ditetapkan sebagai alfabet resmi negara.Â
Namun bila diuraikan lebih serius, penulis beranggapan sebenarnya ada banyak alasan dan motif orang Melayu menulis dengan aksara tersendiri. Beberapa di antaranya:
Pertama, motif religius. Slogan "Melayu adalah Islam dan Islam adalah Melayu" menjadi penanda bahwa upaya islamisasi mengharuskan misionaris (baca: pendakwah) Islam untuk menerjemahkan kitab Arab atau menulis karya otonom dalam bahasa Melayu beraksara Arab-Jawi.Â
Baca juga : Kampung Bali di Tanah Melayu
Tujuannya agar menjadi salah satu bentuk penghormatan terhadap aksara yang digunakan teks utama Islam, al-Qur'an dan Hadits. Serta menjaga titik renggang agar tidak terlalu jauh dengan aksara Arab, tempat tradisi Islam lahir dan terbentuk. Sehingga lahir sikap sakralisasi aksara: "kalau tidak menulis dengan aksara Arab-Jawi maka tidak afdhal".
Kedua, motif kekuasaan dan adat. Keduanya merupakan dua sisi mata uang yang sulit dicaraikan. Setelah orang-orang Melayu kian terpikat dengan Islam, pembesar-pembesar istana semakin ketar-ketir dan merasa panas-dingin takut kehilangan, wibawa, kharisma, reputasi, dan kekuasaan.Â
Sebab itu, banyak di antara mereka pada awalnya 'terpaksa' masuk Islam. Namun terjadi negosiasi yang bertujuan agar adat tidak boleh dipisahkan dari kehidupan raja.
Dengan demikian agaknya lahir ungkapan: "Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah". Sejak saat itu, undang-undang kerajaan yang berpaut berkelindan dengan norma adat ditulis menggunakan aksara Melayu.Â
Berkaitan dengan ini di kerajaan Siak Sri Indrapura dihimpunlah kitab "Bab al-Qawa'id". Sebuah peraturan kerajaan yang mengkombinasikan syariat Islam dan peraturan adat.
Ketiga, motif sastra. Ada banyak karya sastra Melayu yang ditulis menggunakan huruf Jawi. Apakah itu dalam bentuk Gurindam, Pantun, Seloka, maupun Syair. Di Riau ditersohor dengan Gurindam Dua Belas karya Ali Haji  Pulau Penyengat (w. 1873) dan Syair Ibarat Khabar Kiamat karya Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari (w. 1939) Mufti Kerajaan Indragiri.Â
Pada bagian ini aksara Melayu berhasil mendokumentasikan dan merekam keindahan susastra Melayu yang terilhami dari sastra Arab dan Persia yang mengandalkan ketepatan pilihan lafal dan keserasian bunyi rima yang bersajak.