Mohon tunggu...
Aristyanto (Ais) Muslim
Aristyanto (Ais) Muslim Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP

Saya memiliki hobi membaca dan mencari baik ilmu dan pengalaman di buku dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Analisa Penolakan Masyarakat terhadap Pembaruan (Part 3_Selesai)

24 September 2024   16:59 Diperbarui: 24 September 2024   17:21 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Poligami bukanlah sesuatu yang harus dicela, dan penghapusannya juga tidak bisa dianggap sebagai tanda kemajuan yang patut ditiru dari Eropa oleh negara-negara lain. Langkah Eropa melarang poligami, namun mengizinkan prostitusi, dianggap tidak dapat dibenarkan. Hal ini menunjukkan bahwa cara Eropa mengatur tatanan sosial dan sistem hukumnya, yang membolehkan pemenuhan kebutuhan seksual di luar pernikahan, adalah tindakan yang dianggap tercela dan merendahkan martabat istri. Bahkan, ada kelompok yang menyarankan agar institusi sosial lebih baik berfokus pada persoalan prostitusi yang merusak tatanan sosial dan kehidupan rumah tangga di Pakistan, daripada terus-menerus menentang poligami.

Perdebatan antara dua kubu ini muncul karena perbedaan pendekatan dalam mengkaji hukum Islam. Kelompok konvensional cenderung mempertahankan pemahaman tradisional tentang agama mereka sebagai "orang dalam" (insider) tanpa melibatkan disiplin ilmu lain dalam studi Islam atau hukum Islam. Akibatnya, mereka memandang fiqh sebagai sistem yang tak bisa diubah dan sempurna. Dikotomi antara "Timur" dan "Barat" tampaknya mempengaruhi kubu yang menolak pembaruan dalam memberikan argumen mereka terhadap perubahan dalam Hukum Keluarga Islam di Pakistan.

Sementara itu, kelompok pembaru yang lebih terbuka terhadap pengaruh ilmu pengetahuan Barat merasa perlu mengkaji Islam dan hukum Islam secara lebih luas, menggunakan pendekatan ilmiah seperti filsafat, sosiologi, dan sejarah. Tidak mengherankan jika isu-isu seperti gender dan keadilan menjadi bagian dari kajian ulang terhadap doktrin-doktrin agama yang telah lama berakar di masyarakat Muslim. Kelompok pembaru mencoba menafsirkan ulang teks-teks agama sesuai dengan perkembangan zaman dan masalah masyarakat modern yang semakin kompleks. Bagi kelompok yang menentang pembaruan, hal ini dianggap sebagai bid'ah (inovasi agama) yang tidak dapat diterima, sehingga perdebatan antara kedua kubu tidak dapat dihindarkan.

Indonesia adalah negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Namun, hal ini tidak secara otomatis menyatukan pandangan masyarakat Muslim untuk melakukan pembaruan terhadap Hukum Keluarga Islam. Perkembangan dinamika hukum keluarga Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga periode utama, yaitu masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi.

**a. Masa Orde Lama**  
Pada era Orde Lama, di bawah kepemimpinan Ir. Soekarno, lahir beberapa undang-undang yang mengatur tentang perkawinan. Pemberlakuan UU No. 22 tahun 1946 yang diperluas dengan UU No. 32 tahun 1954 menjadi angin segar bagi masyarakat Indonesia pada saat itu. Aturan ini merupakan respons terhadap berbagai praktik negatif dalam perkawinan, seperti maraknya pernikahan di bawah umur, poligami yang dilakukan secara tidak bertanggung jawab, dan perceraian sepihak oleh suami.

**b. Era Orde Baru**  
Masa Orde Baru melanjutkan perjuangan sebelumnya dengan mengambil langkah-langkah yang dianggap sebagai kebangkitan hukum keluarga Islam di Indonesia. Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) lahir sebagai respons positif terhadap tuntutan masyarakat akan kepastian hukum keluarga, terutama sebagai panduan bagi hakim-hakim di Pengadilan Agama.

Namun, tidak semua kalangan menerima undang-undang tersebut. Sebelum pengesahan UUP dan KHI, sebagian umat Muslim menolak karena menganggap bahwa beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut bertentangan dengan hukum Islam yang telah mereka praktikkan. Beberapa materi yang menjadi perdebatan di antaranya adalah 

1) pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan;
2) poligami harus mendapat izin dari Pengadilan;
3) Adanya batasan usia nikah;
4) perkawinan campuran;
5) pertunangan;
6) perceraian harus dengan izin Pengadilan, dan;
7) pengangkatan anak.

Perdebatan yang menarik muncul pada masa reformasi ketika ada usulan pencabutan PP No. 10 Tahun 1983. Setidaknya ada lima kelompok yang menanggapi isu ini:

1. Kelompok pertama menginginkan pencabutan PP No. 10 Tahun 1983 dan mendukung poligami, sesuai pandangan ulama konvensional. Mereka berpendapat bahwa hal ini relevan dengan kondisi Indonesia saat ini, di mana jumlah wanita lebih banyak daripada pria, asalkan suami bisa bersikap adil.
   
2. Kelompok kedua ingin PP ini dihapus dengan alasan bahwa poligami adalah masalah pribadi yang tidak perlu diatur oleh negara.

3. Kelompok ketiga juga menghendaki pencabutan, karena mereka menganggap PP ini tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi perempuan.

4. Kelompok keempat berpendapat bahwa PP No. 10 Tahun 1983 bersifat diskriminatif dan oleh karena itu harus dicabut.

5. Kelompok kelima, yang merupakan mayoritas, berpendapat bahwa PP No. 10 Tahun 1983 harus dipertahankan bahkan direvisi. Mereka percaya aturan ini bisa mengurangi praktik poligami di kalangan pegawai negeri sipil (PNS), karena PNS diharapkan menjadi teladan dalam kehidupan keluarga bagi masyarakat Indonesia.

Usulan revisi terhadap UU No. 1 Tahun 1974 dan/atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Meskipun undang-undang perkawinan telah lama diterapkan, berbagai pelanggaran masih terjadi, terutama terkait poligami, perceraian, pernikahan siri, dan pernikahan di bawah umur.

Beberapa kasus yang menjadi perhatian publik termasuk pernikahan Syekh Pujiono Cahyo Widianto, warga Kabupaten Semarang, dengan gadis di bawah umur, Latviana Ulfa, yang berusia 12 tahun, serta pernikahan kilat Bupati Garut, Aceng HM Fikri, dengan Fani Oktora yang berusia 18 tahun. Kasus-kasus ini hanyalah sebagian dari banyak pelanggaran dalam penerapan undang-undang perkawinan.

Di beberapa daerah seperti Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau, angka perkawinan di usia muda cukup tinggi. Misalnya, sulit menemukan gadis berusia 16 tahun yang belum menikah, dan dari lulusan sekolah dasar, hanya sekitar 5% yang berhasil melanjutkan pendidikan hingga sekolah menengah atas, sementara sisanya memilih menikah. Poligami juga menjadi masalah serius dalam penerapan undang-undang perkawinan, yang seringkali dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan tanpa izin istri pertama. Ini menimbulkan dua masalah utama: (1) pelanggaran ketentuan poligami yang mewajibkan izin istri pertama melalui pengadilan, dan (2) pernikahan siri yang dapat merugikan istri tersebut.

Kedua masalah tersebut berpotensi menimbulkan masalah sosial. Bagi istri kedua, salah satu dampak utamanya adalah terkait legalitas anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Anak akan mengalami kesulitan dalam memperoleh status resmi, seperti akta kelahiran, yang penting untuk hak-hak pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Meskipun Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 pada 27 Februari 2012, keputusan ini masih menjadi topik perdebatan publik yang belum tuntas hingga sekarang.

**D. Analisis Penolakan Pembaruan Hukum Keluarga oleh Masyarakat Muslim di Beberapa Negara Muslim (Timur Tengah, Pakistan, dan Indonesia)**  
Pembaruan hukum keluarga Islam merupakan upaya yang dilakukan oleh para pemikir Muslim kontemporer untuk merespons masalah-masalah hukum keluarga yang semakin kompleks dan dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, upaya ini tidak mudah dan memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat Muslim. Hal ini bisa dilihat dari pergulatan pemikiran yang terjadi di beberapa negara Muslim seperti Mesir, Pakistan, dan Indonesia.

Jika dianalisis, ada beberapa faktor yang menyebabkan penolakan masyarakat Muslim terhadap pembaruan hukum keluarga Islam, yaitu:

1. Adanya kontradiksi antara gagasan pembaruan dengan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Setiap hukum harus didasarkan pada ketiga aspek tersebut.
   
2. Kebiasaan masyarakat terhadap hukum Islam yang berasal dari ulama fiqh klasik, sehingga perubahan membutuhkan waktu yang lama untuk diterima.

3. Ketidakpahaman terhadap esensi atau tujuan pembaruan hukum keluarga Islam, karena masyarakat memiliki sudut pandang tersendiri dalam memahami hukum. Hal ini dipengaruhi oleh: a) Kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh para pembaru yang difasilitasi oleh pemerintah; b) Tingkat pendidikan masyarakat yang sebagian besar rendah.

4. Kondisi sosial dan budaya yang membuat pembaruan hukum sulit diterima.

5. Pandangan masyarakat bahwa aturan-aturan yang dikeluarkan hanya menguntungkan pemerintah.

6. Persatuan umat Muslim yang terbatas pada gerakan politik akibat agitasi dan propaganda, tetapi tidak pada kesatuan pemikiran untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

CATATAN PENUTUP

Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan, terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diambil. Pertama, terdapat kontradiksi antara gagasan pembaruan dengan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis, padahal sebuah hukum harus berlandaskan pada ketiga unsur tersebut. Kedua, masyarakat sudah terbiasa dengan hukum Islam yang dibentuk oleh para ulama fiqh klasik, sehingga perubahan terhadap kebiasaan ini memerlukan waktu yang cukup lama. Ketiga, kurangnya pemahaman menyeluruh mengenai substansi atau tujuan pembaruan hukum keluarga Islam, karena adanya sudut pandang yang berbeda dalam menggali sebuah hukum. Faktor-faktor yang berperan dalam hal ini termasuk: a) kurangnya sosialisasi dari para tokoh pembaru yang difasilitasi oleh pemerintah; dan b) rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Keempat, kondisi sosial dan budaya juga membuat penerimaan terhadap pembaruan hukum menjadi sulit. Kelima, ada anggapan bahwa aturan-aturan yang dikeluarkan hanya menguntungkan pemerintah. Terakhir, persatuan umat Muslim seringkali terbatas pada gerakan politik akibat agitasi dan propaganda, tanpa adanya kesatuan dalam pemikiran untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun