Mohon tunggu...
Aristyanto (Ais) Muslim
Aristyanto (Ais) Muslim Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP

Saya memiliki hobi membaca dan mencari baik ilmu dan pengalaman di buku dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Analisa Penolakan Masyarakat terhadap Pembaruan (Part 3_Selesai)

24 September 2024   16:59 Diperbarui: 24 September 2024   17:21 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

3. Kelompok ketiga juga menghendaki pencabutan, karena mereka menganggap PP ini tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi perempuan.

4. Kelompok keempat berpendapat bahwa PP No. 10 Tahun 1983 bersifat diskriminatif dan oleh karena itu harus dicabut.

5. Kelompok kelima, yang merupakan mayoritas, berpendapat bahwa PP No. 10 Tahun 1983 harus dipertahankan bahkan direvisi. Mereka percaya aturan ini bisa mengurangi praktik poligami di kalangan pegawai negeri sipil (PNS), karena PNS diharapkan menjadi teladan dalam kehidupan keluarga bagi masyarakat Indonesia.

Usulan revisi terhadap UU No. 1 Tahun 1974 dan/atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Meskipun undang-undang perkawinan telah lama diterapkan, berbagai pelanggaran masih terjadi, terutama terkait poligami, perceraian, pernikahan siri, dan pernikahan di bawah umur.

Beberapa kasus yang menjadi perhatian publik termasuk pernikahan Syekh Pujiono Cahyo Widianto, warga Kabupaten Semarang, dengan gadis di bawah umur, Latviana Ulfa, yang berusia 12 tahun, serta pernikahan kilat Bupati Garut, Aceng HM Fikri, dengan Fani Oktora yang berusia 18 tahun. Kasus-kasus ini hanyalah sebagian dari banyak pelanggaran dalam penerapan undang-undang perkawinan.

Di beberapa daerah seperti Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau, angka perkawinan di usia muda cukup tinggi. Misalnya, sulit menemukan gadis berusia 16 tahun yang belum menikah, dan dari lulusan sekolah dasar, hanya sekitar 5% yang berhasil melanjutkan pendidikan hingga sekolah menengah atas, sementara sisanya memilih menikah. Poligami juga menjadi masalah serius dalam penerapan undang-undang perkawinan, yang seringkali dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan tanpa izin istri pertama. Ini menimbulkan dua masalah utama: (1) pelanggaran ketentuan poligami yang mewajibkan izin istri pertama melalui pengadilan, dan (2) pernikahan siri yang dapat merugikan istri tersebut.

Kedua masalah tersebut berpotensi menimbulkan masalah sosial. Bagi istri kedua, salah satu dampak utamanya adalah terkait legalitas anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Anak akan mengalami kesulitan dalam memperoleh status resmi, seperti akta kelahiran, yang penting untuk hak-hak pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Meskipun Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 pada 27 Februari 2012, keputusan ini masih menjadi topik perdebatan publik yang belum tuntas hingga sekarang.

**D. Analisis Penolakan Pembaruan Hukum Keluarga oleh Masyarakat Muslim di Beberapa Negara Muslim (Timur Tengah, Pakistan, dan Indonesia)**  
Pembaruan hukum keluarga Islam merupakan upaya yang dilakukan oleh para pemikir Muslim kontemporer untuk merespons masalah-masalah hukum keluarga yang semakin kompleks dan dianggap tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, upaya ini tidak mudah dan memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat Muslim. Hal ini bisa dilihat dari pergulatan pemikiran yang terjadi di beberapa negara Muslim seperti Mesir, Pakistan, dan Indonesia.

Jika dianalisis, ada beberapa faktor yang menyebabkan penolakan masyarakat Muslim terhadap pembaruan hukum keluarga Islam, yaitu:

1. Adanya kontradiksi antara gagasan pembaruan dengan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Setiap hukum harus didasarkan pada ketiga aspek tersebut.
   
2. Kebiasaan masyarakat terhadap hukum Islam yang berasal dari ulama fiqh klasik, sehingga perubahan membutuhkan waktu yang lama untuk diterima.

3. Ketidakpahaman terhadap esensi atau tujuan pembaruan hukum keluarga Islam, karena masyarakat memiliki sudut pandang tersendiri dalam memahami hukum. Hal ini dipengaruhi oleh: a) Kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh para pembaru yang difasilitasi oleh pemerintah; b) Tingkat pendidikan masyarakat yang sebagian besar rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun