Tulisan ini kami merupakan sebagai pemenuhan Tugas Pascasarjana pada Mata Kuliah Studi Multidisipliner Hukum Keluarga yang diampu oleh Dr. Mualimin Mochammad Sahid Visiting Lecturer Faculty of Syariahand Law Universiti Sains Islam MalaysiaÂ
Abstrak:
Perintah Allah dalam Al-Qur'an terkait poligami selalu menjadi topik yang menarik untuk didiskusikan. Dalam konteks bangsa Indonesia, diskusi tentang poligami kerap menjadi isu yang hangat dan kontroversial hingga saat ini. Makalah ini menganalisis definisi, deskripsi, dan interpretasi poligami dari berbagai teori, dengan menggunakan Tafsir Al-Azhar yang mewakili pandangan klasik, hingga Tafsir Al-Misbah yang mewakili pandangan kontemporer. Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua tafsir tersebut hadir dalam konteks sosial yang berbeda, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu memberikan pencerahan kepada masyarakat mengenai makna dan praktik poligami. Penelitian ini bersifat kualitatif dan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi dengan pendekatan fenomenologi sederhana, sementara data sekunder diperoleh dari literatur dan studi kepustakaan.
Kata Kunci: Poligami
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan li al-'alamin) dan menerapkan hukum Islam yang dapat diterima kapanpun dan di manapun (shalih li kulli zaman wa makan). Pernikahan, sebagai pengejawantahan nilai-nilai ini, bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Ada beberapa prinsip yang perlu dipegang oleh suami dan istri, antara lain: 1) kebebasan dalam memilih pasangan, 2) cinta kasih, 3) saling melengkapi dan mendukung, serta 4) mu'asyarah bil ma'ruf (bergaul dengan baik).
Konsep pernikahan dalam Islam meliputi pernikahan monogami dan poligami yang bersyarat. Pernikahan, yang dalam Al-Qur'an disebut sebagai mitsaqan galizah (perjanjian yang kuat), merupakan solusi untuk menjaga keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam konteks monogami maupun poligami. Seperti yang dinyatakan dalam jurnal Zunly Nadia, poligami bukanlah fenomena baru, melainkan bagian integral dari sejarah peradaban manusia.
Dalam kajian tafsir, terdapat banyak perbedaan penafsiran mengenai poligami, yang seringkali dipengaruhi oleh kondisi sosial para mufassir. Contohnya, dalam tafsir-tafsir klasik seperti Tafsir An-Nawawi, Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari, Kitab Tafsir Jalalain, serta Tafsir Al-Azhar oleh Buya Hamka dan Tafsir Al-Misbah dari konteks Nusantara, polemik mengenai poligami tidak terlalu menonjol. Hal ini sebagian disebabkan oleh budaya patriarki yang kuat dan kurangnya partisipasi perempuan dalam kajian tafsir, yang mengarah pada penafsiran yang sering bias gender, sebagaimana disampaikan oleh Amina Wadud.
Pembahasan dalam makalah ini tidak hanya menyoroti kontroversi seputar poligami dalam konteks sosial dan budaya masyarakat Indonesia, tetapi juga mencoba memahami pergeseran paradigma sosial yang mempengaruhi karya-karya tafsir Al-Qur'an di Indonesia dan Asia Tenggara, seperti yang diungkapkan oleh Akhmad Roja Badrus Zaman dalam jurnalnya. Makalah ini ditulis karena belum banyak kajian yang membahas penafsiran poligami di Indonesia dalam konteks dinamika sosial. Â Poligami menawarkan banyak referensi dan konsep untuk pengembangan khazanah intelektual dalam studi muamalah, seperti tesis Ali Yasmanto tentang Konsep Adil dalam Poligami, yang memadukan penafsiran Fazlur Rahman dengan Quraish Shihab, serta tesis Ahmad Rajafi tentang perceraian akibat poligami, yang menelaah Al-Qur'an Surat An-Nisa: 3 melalui pendekatan Maqashid Syariah terkait tingginya kasus gugatan cerai di Indonesia.Â
Disertasi Azni mengenai Poligami dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia juga menjadi rujukan, yang membandingkan peraturan tentang izin, persyaratan, dan sanksi poligami di kedua negara. Tulisan ini ini mencoba menganalisis penafsiran poligami dalam konteks sosial masyarakat Indonesia dengan pendekatan deskriptif-kualitatif dan studi literatur. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis isi (content analysis), di mana informasi dari berbagai sumber dipilih, dibandingkan, dan disusun untuk mendapatkan kesimpulan yang valid.
PEMAHASAN
Sejarah poligami sebagai bentuk perkawinan, atau dalam Islam, pernikahan yang melibatkan banyak istri, merupakan tradisi yang lazim di masyarakat pra-Islam di Jazirah Arab. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Ahmad Rajafi, yang menyatakan bahwa sebelum Islam, praktik poligami adalah hal yang umum terjadi, bahkan tanpa batasan jumlah istri.
Menurut penulis, dalam sejarah Islam, istilah poligami mulai dikenal dari kisah Nabi Ibrahim, yang menikah lebih dari satu kali untuk melanjutkan dakwah Tauhid melalui keturunan, karena beliau tidak dianugerahi anak hingga usia 100 tahun. Hal ini tertuang dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 124, yang berbunyi:
Artinya: "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa perintah dan larangan, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: 'Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia'. Ibrahim berkata: '(Dan saya mohon juga) dari keturunanku'. Allah berfirman: 'Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim'."
Dalam tafsirnya, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini menetapkan Nabi Ibrahim sebagai pemimpin dan teladan, baik sebagai rasul maupun bukan. Menurut penulis, ayat ini juga menyiratkan bahwa Nabi Ibrahim ditunjuk sebagai pemimpin bagi istri-istri dan keturunannya, sehingga ia dapat disebut sebagai Bapak Tauhid sekaligus contoh pertama poligami dalam Islam.
bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H