Mohon tunggu...
Arisya Nabillah
Arisya Nabillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Seorang INTP-J yang antusias dalam seni, desain maupun mengelola media sosial. Berpengalaman dalam berbagai organisasi internal maupun eksternal kampus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dialektika Minoritas Jemaat Ahmadiyah dalam Harmonisasi Keberagaman Indonesia

29 Juni 2022   15:02 Diperbarui: 1 Juli 2022   00:18 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : CNN Indonesia

Sumber foto : Flickr
Sumber foto : Flickr
Eksistensi dan status mereka selama masa Orde Baru cukup aman, karena mereka tidak pernah berseberangan dengan garis kebijakan pemerintah. Dalam bidang politik, legalitas Ahmadiyah nyaris tidak pernah terusik bahkan banyak pengikut Ahmadiyah yang mendapatkan kesempatan luas untuk terlibat kegiatan publik. Banyak dari mereka bekerja sebagai pegawai negeri. Sebuah Studi mengenai komunitas Ahmadiyah di pedesaan Cianjur menunjukkan bukti keaktifan tokoh-tokoh Ahmadiyah dalam kegiatan politik dan pemerintahan desa setempat. Sangat kontras jika dibandingkan dengan keadaan belakangan ini dimana status hukum dan politik yang didapatkan oleh Ahmadiyah sangat dibatasi.

Indonesia sebenarnya telah melakukan upaya yang cukup baik untuk menjaga dan melindungi agama praktik bagi setiap warga negara. Dalam konstitusinya, pada tahun 1945 keragaman budaya dan agama di Indonesia telah diakui sepenuhnya. Selaras dengan UUD NKRI 1945 yang menempatkan HAM dalam porsi yang cukup signifikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 28A sampai 28J. Dimana Pasal 28E ayat satu menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.

Hak kebebasan beragama juga dijamin dalam Pasal 29 ayat 2 UUD NKRI 1945, yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk dalam memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya. 

Hadirnya ratifikasi ICCPR dan juga penciptaan undang-undang tentang hak asasi manusia merupakan bukti lebih lanjut keseriusan pemerintah dalam hal ini. Dengan mempertimbangkan landasan tersebut, seharusnya sudah semakin jelas bahwa kekerasan dalam agama atau aktivitas apa pun yang melanggar kebebasan beragama seharusnya tidak terjadi di negara ini. Sayangnya, tidak selalu mudah bagi negara dalam memanifestasikan keinginannya untuk melakukan dengan baik ranah kewajiban moral dan hukum.
Realitas ini dapat dilihat dari beberapa kejadian mengenai pelanggaran HAM, khususnya mengenai masalah kebebasan beragama. Hingga hari ini, respons terhadap persoalan Ahmadiyah melalui kekerasan serta main hakim sendiri masih tidak dapat dibenarkan. Kebijaksanaan SKB untuk melindungi kedua belah pihak harus dilaksanakan dengan patuh, atau bahkan dirancang ulang agar menemukan titik terang.

Baik JAI maupun masyarakat Muslim mayoritas harus saling menjaga batasan masing-masing dan menghindari hal yang anarkis. Pada akhirnya hingga saat ini, kebebasan beragama di Indonesia masih memiliki banyak tantangan, namun upaya tidak hanya ditegakkan oleh aparat pemerintah, namun juga kita sebagai warga negara yang harus memiliki komitmen serius terhadap semua kebijakan pemerintah. Kita tentulah harus taat terhadap norma sosial yang berlaku sebagai upaya menjembatani perbedaan yang ada dan saling menjaga agar perbedaan tersebut tidak menimbulkan konflik bahkan kekerasan di lain hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun