Mohon tunggu...
Aris Wahidin
Aris Wahidin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Lulusan UIN Sunan Kalijaga 2009 Kepala SMK Ma'arif NU Bawang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Seputar Makam Syeh Ahmad Suryokonto

27 September 2019   00:45 Diperbarui: 27 September 2019   01:04 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mualana Habib Lutfi Bin Ali Bin Hasyim Bin Umar Bin Hasan Bin Toha Bin Yahya dalam kesempatan tausiyah pada acara 40 hari meninggalnya KH Maimin Zubair Sarang pernah menyatakan bahwa ''di luar Hadromaut, makam para wali paling banyak terdapat di Indonesia.

Sulthanul Arifin atau Pimpinan para wali dizamannya juga ada di Indonesia, seperti Sunan Bonang dan Sunan Drajat''. Tradisi untuk menghormati, menziarahi makam orang suci dan leluhur menjadi tradisi yang terus lestari dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Di Makam para wali kita tidak hanya bisa mendoakan tetapi juga bertawasul (memohon kepada Allah, dengan perantara sang wali), yang mana tawasul ini sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam atau dibenarkan secara syar'i.

Hampir disetiap sudut kota, ataupun desa kuno yang ada di Jawa, di tepi laut maupun di pegunungan bisa kita lihat terdapat makam dan petilasan para wali. Konon orang-orang solih zaman dahulu yang firasatnya sangat kuat, ketika memasuki usia senja, akan mengikuti khotroh (isyarat kalbu) dari hatinya untuk menyingkir dari riuhnya kehidupan duniawi, menyendiri disuatu tempat yang hening sunyi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Orang jawa kuno menyebut laku ini sebagai bebadran atau riyadhoh disertai uzlah (tirakat sembari mengasingkan diri dari dunia ramai). Salah satu bukti dari lelaku orang zaman dahulu tersebut adalah; di daerah kecamatan Blado terkenal sebuah bukit di Desa Wonobodro, sebuah perdikan yang sudah ada sejak zaman Mataram Islam, di situ terdapat banyak Makam wali, jika ditinjau dari asal kata; Wonobodro bersal dari kata wana berarti hutan, badran berarti bertapa. 

Dari sini kita bisa mengetahui bahwa Wobodro dizaman dahulu menjadi tempat tujuan orang-orang yang hendak melakukan  bebadran atau riyadhoh disertai uzlah.

Di desa Bawang juga terdapat makam wali yang oleh orang-orang sepuh dikenal dengan makam syeh Ahmad Suryokonto, letaknya di sebelah utara dukuh Dlimas, ditepi sungai Gumiwang, di ujung selatan komplek persawahan yang dikenal dengan Mangli.

Tidak jauh dari makam di sebelah utara dapat dijumpai dua sumber mata air yang dikenal dengan tuk lanang dan tuk wadon, disamping untuk kebutuhan sehari-hari sumber mata ini juga digunakan untuk mengairi sawah, karena selama ini dikenal tak pernah mengering meski terjadi kemarau panjang.  Mengenai identitas personal Syeh Ahmad Suryokonto belum ada catatan tertulis ataupun keturunan langsung yang bisa menjelaskannya. 

Penulis sendiri sering mendengar dongeng dari orang tua dan orang-orang yang mengalami hal-hal aneh di sekitar Makam Syeh Ahmad Suryokonto. Menurut penuturan dari Kakek penulis, dulu di sebelah timur makam terdapat dua pohon beringin besar yang tumbuh bersebelahan, dikenal dengan sebutan Ringin Kurung, suatu ketika terjadi hutan disertai angin dan banjir di sungai gumiwang, akibatnya tumbanglah kedua pohon beringin tersebut.

Setelah hujan reda, di belakang rumah tokoh ulama setempat, yaitu Kiai Jalal Suyuti, ditemukan seorang lelaki tak dikenal yang pingsan tak sadarkan diri, setelah diberikan perawatan sekedarnya, lelaki tersebut siuman dan diajak berkomunikasi oleh Kiai Jalal perihal identitasnya; lelaki itu hanya mengatakan bahwa selama ini ia tinggal di pohon beringin kurung, setelah pohonnya tumbang ia hendak kembali ke daerah asalnya di Surakarta, kemudian lelaki itupun pergi secara misterius.

Menurut penuturan dari Kyai Muhyidin cucu dari Kyai Jalal Suyuti, pada zaman gegeran banyak keluarga Habaib dari pekalongan yang mengungsi ke Desa Bawang, para Habaib tersebut ditampung dan diberikan penghormatan dengan baik oleh keluwarga besar Kyai Jalal Suyuti.

Maksud dari zaman gegeran (kerusuhan) adalah saat terjadinya revolusi sosial pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 di Jalan Pegangsaan Timur oleh Soekarno-Hatta.

Revolusi sosial ini terjadi dibeberapa tempat di Indonesia, yang paling berdarah adalah di Sumatra dan Karisidenan Pekalongan dimana puncak revolusi terjadi di Pemalang, Tegal dan Brebes, oleh para sejarawan peritiwa ini disebut P3D, Peristiwa 3 Daerah.

Latar belakang terjadinya revolusi sosial pasca kemerdekaan adalah propaganda masa yang dilakukan kaum sosialis komunis yang menghasut masyarakat kecil untuk balas dendam terhadap penjajahan yang selama ini mereka alami. Penjajahan yang dimaksud adalah penjajah kolonial Belanda, Pendudukan Jepang, serta penjajahan aparat pangreh praja pribumi yang selama ini membantu pihak penjajah dalam memungut upeti, menggerakkan tanam paksa dan kerja rodi kepada rakyat.

Revolusi sosial yang terjadi di Sumatra berujung dibunuhnya keluwarga kerajaan Melayu (Sultan Bilah, Sultan Langkat), diserbunya kesultanan Deli, dibantainya kaum kaum bangsawan, termasuk disembelihnya penyair Amir Hamzah. Di Pekalongan Kantor Residen direbut, kemudian didudukkan aktivis Sosialis Komunis sebagai Residen Baru.

Situasi semakin panas ketika para aktivis sosialis komunis menghembuskan propaganda bahwa kalangan Islam tidak sepenuhnya mendukung revolusi. Peristiwa inilah yang menjadi penyebab menyingkirnya kaum Habaib dari Pekalongan, untuk sementara waktu mencari tempat yang aman, diantara mereka mencari perlindungan di Desa Bawang

Setelah beberapa waktu bermukim di Kediaman Kiai Jalal Suyuti, salah seorang Habaib tertarik untuk mengadakan pembacaan maulid (shalawat dan syair pujian terhadap Nabi Muhammad s.a.w)  dan memanjatkan doa di sebuah tempat tidak jauh dari kediaman Kiai Jalal, tempat itu berbentuk gundukan tanah yang agak tinggi topografinya dari tanah yang ada  disekelilingnya, setelah pembacaan maulid dan slamatan dengan menyembelih kambing, Habaib tersebut menyatakan bahwa di tempat ini terdapat makam/kuburan.

Berdasarkan penjelasan dari sang Habaib inilah maka dibangun makam ditempat yang kini dikenal masyarakat sebagai makam Syeh Ahmad Suryokonto. Setiap datang bulan Muharram tepatnya tanggal 10, masyakat sekitar dibimbing oleh keturunan dari Kiai Jalal mengadakan pembacaan maulid dan tahlil, sebagaimana ritual saat makam itu pertama kali ditemukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun