Mengatur industri hasil tembakau tidak bisa hanya dilakukan dengan tarik menarik antara kontribusi cukai terhadap kas negara ataupun untuk tujuan pengendalian untuk kesehatan. Dalam industri ini, sebagaimana sektor lain yang beroperasi secara sah, juga terdapat banyak serapan tenaga kerja, bahkan merupakan salah satu sektor yang padat karya.
Setiap tahun, industri hasil tembakau dihadapkan pada carut marut berbagai kebijakan untuk mematikan sektor rokok, termasuk melalui kenaikan cukai setiap tahunnya. Seharusnya, pemerintah perlu benar-benar paham atas nasib para pekerja SKT, yang mayoritasnya adalah perempuan, yang bergantung langsung pada setiap keputusan para perumusan kebijakan terhadap industri hasil tembakau ini.
 terhadap pertanian adalah sub-sektor perkebunan. Dari sekian banyak jenis tanaman perkebunan, tembakau merupakan produk yang cukup 'mempesona' untuk perekonomian nasional. Jenis tanaman ini berkontribusi sebesar Rp 218,62 trilun atau 10 persen bagi APBN pada tahun 2022 melalui cukai rokok.
Memang tidak dapat disangkal bila tembakau merupakan komoditas yang menarik bagi Indonesia. Dari masa lampau, mayoritas kalangan masyarakat Indonesia sudah cukup akrab dengan produk olahan tembakau.
Bahkan saking melekatnya dalam kehidupan masyarakat, tanaman tembakau seolah hadir secara khusus dalam aspek budaya di Indonesia. Contoh seperti di Madura, masyarakatnya merasa tembakau merupakan tanaman 'sakral' sebab dirintis seorang ulama besar. Masyarakat Sindoro, Sumbing, dan Prau juga kerap menggelar ritual adat khusus untuk menghormati berkembangnya tanaman tembakau di daerah itu.
Itulah salah satu alasan yang akhirnya melatari munculnya industri hasil tembakau di Tanah Air. Di tahun 2021, luas perkebunan tembakau mencapai 213 ribu hektar dan hasil panennya mencapai sebesar 196 ribu ton per hektar. Industri hasil tembakau juga berkembang dari hulu ke hilir, mulai dari petani tembakau, pekerja pabrikan, seperti tenaga manufaktur, pelinting rokok, hingga distributor. Mereka semua pada akhirnya masuk ke dalam ekosistem industri hasil tembakau.
Ekosistem industri hasil tembakau diperkirakan menyirap sekitar 6 juta tenaga kerja. Angka ini dinilai fantastis untuk jumlah serapan tenaga kerja di Indonesia. Angka tersebut juga mengartikan bahwa industri hasil tembakau tembakau mampu menopang perekonomian nasional, khususnya dalam meminimalisir angka pengangguran.
Selain itu, mata rantai industri hasil tembakau di Indonesia juga dapat dibilang unik. Hal ini dikarenakan tidak hanya dari betapa luasnya ekosistem industri hasil tembakau, tetapi juga karena adanya keberadaan segmen Sigaret Linting Tangan (SKT) yang hanya ada di Indonesia. Segmen SKT melakukan suatu proses tradisional di mana tembakau dan cengkih dilinting secara manual. Segmen ini telah berdiri lebih dari satu abad lalu dan hingga kini tetap bertahan di tengah kemajuan teknologi mekanisasi pembuatan rokok.
Segmen SKT ini diproduksi dalam berbagai skala, mulai dari industri rumahan hingga pabrikan besar berskala nasional. Menariknya, seluruh proses produksi rokoknya menggunakan prinsip produksi yang sama, yaitu dibuat dengan melinting campuran tembakau dan cengkih satu per satu menjadi sebuah rokok dengan menggunakan tangan. Proses melinting hingga mengemas rokok SKT tersebut dibuat secara presisi yang bertumpu pada keterampilan pekerja pelinting rokok yang didominasi oleh perempuan. Produksi SKT adalah suatu proses padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja.
Bisa dibayangkan, dalam satu jam, satu pekerja SKT dapat memproduksi sekitar 250--350 batang rokok, sedangkan kecepatan mesin dapat mencapai 8.000 batang rokok per menit. Oleh karena itu, kelangsungan segmen SKT tentunya memiliki dampak langsung bagi lapangan kerja keseluruhan pekerja SKT.
Selain itu, segmen SKT seharusnya tidak hanya dipandang sebagai sektor yang sekedar 'memberikan lapangan kerja', tetapi segmen ini juga harus dilihat lebih jauh sebagai sektor yang turut memberdayakan perempuan. Melalui segmen SKT, banyak perempuan yang mendapatkan kesempatan untuk masuk ke dalam angkatan kerja dan berdikari secara ekonomi.