Tim mengatakan bahwa ia justru terperangkap oleh platform buatan perusahaannya sendiri. Ia menjadi kecanduan menatap layar ponselnya dan kerap kali abai dengan keluarganya. Narasumber lain juga menuturkan hal serupa.
Dari sisi yang lebih luas lagi, teknologi disebut sebagai alat yang sangat efektif untuk mengendalikan massa.
Melalui informasi palsu, menyesatkan, dan provokatif yang beredar di platform media sosial, masyarakat bisa dipengaruhi dan dimanipulasi.
Massa yang tergiring kabar-kabar bohong dan keliru itu bisa menimbulkan masalah sosial yang lebih besar, seperti kepanikan massal, perpecahan, bahkan kerusuhan.
Sementara itu, dari sisi bisnis sendiri, berbagai platform yang dibuat dan dikembangkan oleh perusahaan teknologi bertujuan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Narasumber mengakui hal itu dalam sesi wawancara yang dibuat. Perusahaan menempatkan kita, pengguna platform teknologi sebagai 'produk' yang dijual.
Maksudnya adalah perusahaan teknologi berusaha menarik perhatian kita untuk lebih lama menatap dan scrolling di platform buatan mereka.
Dengan begitu platform tersebut bisa menampilkan lebih banyak tayangan iklan yang dibayar oleh pengiklan kepada perusahaan. Sederhananya, 'produk' yang dimaksud adalah perhatian kita yang dijual kepada pengiklan.
Bukan cuma dari sisi bisnis saja, The Social Dilemma juga membahas masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan terutama pada kalangan remaja yang disebabkan oleh penggunaan teknologi.
Film dokumenter dengan bumbu drama keluarga
Tak sekadar tanya jawab biasa, The Social Dilemma juga menyajikan drama keluarga sebagai ilustrasi masalah dari penggunaan teknologi.
Adegan drama keluarga dalam film ini dibuat relate dengan kondisi yang kebanyakan terjadi di lingkungan masyarakat.