Mohon tunggu...
Aristya Prabadewi
Aristya Prabadewi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Psikologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memahami Pemikiran Filsuf Martin Heidegger dan Pengaruhnya pada Psikologi

13 Desember 2022   16:10 Diperbarui: 13 Desember 2022   16:36 1583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Psikologi dan filsafat dikatakan memiliki hubungan erat meskipun saat ini psikologi sudah berdiri sendiri dan terpisah dari filsafat. Hubungan antara filsafat dan psikologi masih dapat dilihat secara jelas dari kedua ilmu ini yang sama-sama membahas tentang hakikat manusia. Adapun saat ini kita akan membahas salah satu tokoh filsafat yang pokok pemikirannya cukup dekat dengan ilmu psikologi, yaitu Martin Heidegger. 

Heidegger memiliki karya terkenal yang berjudul Sein und Zeit. Di dalam buku Sein und Zeit (Being and Time "Ada dan Waktu"), Heidegger mensinyalir bahwa manusia modern telah dihinggapi suatu gejala yang disebut "lupa akan makna Ada". Dari permasalahan tersebut kemudian Heidegger bermaksud untuk mengajukan pertanyaan tentang, dan mencari jawab atas makna Ada. 

Dalam penyelidikannya, Heidegger menemukan fakta bahwa "Ada" (Sein) ternyata adalah sesuatu yang mengada "di situ" (da), maka penyelidikan Heidegger tidak secara langsung diarahkan pada makna Ada sendiri, melainkan pada "makna Ada yang mengada di situ" (Dasein), yang tidak lain adalah eksistensi manusia itu sendiri. Persoalan tentang eksistensi manusialah yang kemudian menjadi perhatian dan unit analisis filsafat Heidegger.

Selanjutnya kita akan membahas mengenai pokok-pokok pikiran Heidegger terkait dengan eksistensi manusia. Pokok pikiran yang pertama adalah "Ada-dalam-dunia" (in-der-welt-Sein). Dalam karya milik Heidegger, dijelaskan bahwa  penyelidikan atas makna Ada haruslah dimulai dari manusia itu sendiri atau Dasein.  Analisis  atas  makna  Ada  pun  akhirnya  berkembang  menjadi penyelidikan  atas  cara Dasein menghayati Ada-nya sehari-hari sebagai pengada  yang  ada  dalam  dunia. Menurut Heidegger bagaimanapun  juga, manusia  tidak  akan  dapat  dipahami  tanpa  dunia  karena  manusia  tidak  akan dapat  ditemukan  di  luar dunianya. 

Benda-benda dalam kehidupan sehari-hari membentuk suatu jaringan atau sistem makna tertentu. Ini berarti bahwa makna sebuah benda tidak berdiri sendiri, melainkan mengacu pada benda-benda lain yang termasuk dalam suatu jaringan atau sistem tertentu. Sebuah komputer baru dikatakan mempunyai makna kalau ada listrik, hardware, software, kertas, cahaya, ide yang mau ditulis, dan sebagainya yang dengan semua itu komputer bisa digunakan.

Tanpa itu semua, komputer hanya merupakan benda yang tidak mempunyai makna (fungsi) misalnya untuk menulis. Demikian pula dengan manusia, makna (eksistensi) seorang yang bekerja sebagai pedagang sayur-mayur berhubungan erat dengan pemasok sayuran, petani di desa, ibu-ibu rumah tangga sebagai pembeli sayuran di kota.

Selanjutnya penyelidikan Heidegger atas Dasein menunjukkan bahwa "Ada" ternyata mempunyai karakter personalnya (Gemeneigkeit) dalam Dasein, sehingga apapun yang terdapat pada Dasein, dan apapun yang dialami oleh Dasein, adalah "milik pribadi" Dasein. Istilah tersebut bisa dipahami lebih mudah dengan menggunakan sebuah contoh dalam persepsi. Misalnya, si Didi bersama dengan teman-temannya melihat setangkai bunga mawar berwarna merah, tetapi pengalaman si Didi pada saat itu berbeda dari pengalaman teman-temannya, yang dimana itu adalah "milik pribadi" si Didi. 

Ada penjelasan yang berbau psikologis yang bisa menjelaskan gejala itu, misalnya saja dengan mengaitkannya dengan pengalaman masa lalu si Didi. Katakan saja si Didi pernah mengalami masa-masa pahit dan menyakitkan pada masa lalu, yakni ketika Didi mengungkapkan cintanya dan memberikan setangkai bunga mawar berwarna merah kepada seorang gadis yang dicintainya.

Tetapi sang gadis tegas menolak pemberian si Didi, maka ketika si Didi kemudian melihat bunga mawar berwarna merah, meskipun bunga itu bukan bunga mawar yang dulu, pengalamannya itu muncul kembali dalam ingatannya dan memberi "bentuk" pada bunga mawar yang lain dalam persepsinya yang sekarang.

Namun, lebih dari pengalamannya di masa lalu, menurut analisa Heidegger, orientasi si Didi pada masa depan jauh lebih dominan dalam memberi "bentuk" pada bunga yang dilihatnya itu. Setelah gadis itu menolak pemberian bunga dari si Didi, si Didi sudah mengantisipasi untuk menghindar agar tidak terjadi kontak dengan bunga mawar berwarna merah. Karena kalau sampai terjadi kontak, bukan saja pengalaman masa lalunya akan terulang kembali, tetapi sudah mengetahui pengalaman yang akan terjadi nanti seperti perasaan tidak senang atau sakit hati. 

Dengan perkataan lain, sebelum terjadi kontak dengan bunga mawar berwarna merah itu, si Didi sudah mengalami dan memberi "bentuk" terlebih dulu pada bunga itu, yaitu lewat antisipasi atau orientasi pada masa depannya.

Maksudnya "milik pribadi", lebih dari sekadar di dalam persepsi. Totalitas mengadanya si Didi (misalnya dalam bentuk pemikiran, imajinasi, khayalan, cinta, benci) adalah juga milik pribadi si Didi. Demikian juga halnya dengan segala bentuk perbuatan fisik atau tingkah laku si Didi (baik yang dilakukan atas inisiatif sendiri maupun atas paksaan orang lain) serta konsekuensi-konsekuensinya. Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan atau mengambil alih "milik" si Didi itu. 

Dalam konteks yang lebih luas, fakta milik sendiri itu pada asasnya sering merupakan beban yang teramat berat dan beban itu harus dipikul sendirian. Milik pribadi identik dengan kesendirian total manusia, kesendirian yang sangat mencekam. Kecemasan, sebuah tema yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kesadaran manusia akan fakta kesendirian dirinya.

Heidegger kemudian juga mengatakan bahwa manusia pada awal mulanya berada dalam kondisi "lari" dari dirinya sendiri dan terperangkap dalam eksistensi yang anonim dan tidak-otentik.  Manusia enggan menerima Ada-nya sendiri dan lebih suka memberikan atau mengizinkan orang lain untuk membentuk dan mengarahkan eksistensinya. Yang dikejar adalah norma-norma atau konvensi-konvensi yang diberlakukan secara umum dan global, misalnya dalam cara berpakaian, berbicara, bergaya, berpikir, bercita rasa. 

Ada alasan mengapa manusia memilih hidup menjadi "Orang" (das Man), menjadi tidak-otentik. Karena memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan, seringkali menimbulkan tanggungjawab yang membebani dan rasa cemas juga khawatir menjadi "lain" dari apa yang dipikirkan atau diperbuat oleh orang lain. Jika mengisi eksistensi diri sendiri (menjadi diri sendiri), maka segala konsekuensi harus ditanggung sendiri pula. Hal itu tentunya sungguh berat dan menyakitkan. 

Oleh sebab itu, manusia memilih menjadi das Man; menjadi "Orang"; menjadi tidak-otentik. Dengan menjadi tidak-otentik, maka segala kecemasan dan tanggung jawab dari perbuatan yang gagal, tidak akan dialami oleh dirinya secara sendirian, melainkan seolah-olah ditemani oleh atau dibebankan kepada orang lain yang mengisi eksistensinya. Meski demikian, kondisi seperti itu bukan merupakan kondisi patologis yang menuntut terapi-terapi psikologis. Kondisi itu adalah kondisi yang bersifat eksistensial, yang dialami oleh segenap manusia. Eksistensi manusia pada awal mulanya memang adalah "Orang, yang menjadi impersonal (anonim) dan tidak otentik".

Kemudian selain disebut Dasein dan "Orang", oleh Heidegger manusia disebut sebagai Da-sein, yang berarti manusia adalah "Ada" (Sein) yang terdampar "di situ" (da). Ini adalah situasi fundamental manusia yang tidak dipilihnya sendiri, melainkan "terlempar" begitu saja seperti buah dadu di atas meja. Dalam situasi ini, manusia betul-betul tidak memiliki alternatif untuk memilih, misalnya untuk menjadi seorang perempuan atau laki-laki, lahir dari dalam rahim seorang ibu seperti apa, dibesarkan dalam masyarakat yang bagaimana. 

Ini adalah faktisitas manusia, yang kemudian dibebankan pada dirinya dan menjadi milik pribadinya, tanpa diberi pilihan untuk menerima atau menolaknya. Faktisitas ini bermula dari "keterlemparan" manusia dari masa lalu yang tidak dimengerti dan dari masa depan yang juga tidak bisa dipahami arah tujuannya. Manusia adalah "Ada" yang terdampar "di situ", tetapi mempunyai tugas untuk menuju Ada-nya sendiri. 

Setiap mengadanya manusia selalu melibatkan tiga keterarahan dalam waktu, yakni pada (1) kemungkinan-kemungkinan eksistensinya di masa depan, (2) sudah "terlempar" dan terikat pada keterlemparannya di masa lalu, dan (3) jatuh dalam kuasa (kontrol) orang lain dan hidup dalam rutinitas keseharian yang tidak otentik. Dari tiga keterarahan waktu itu keterarahan pada masa depan ada lah yang paling dominan. Keterarahan pada masa depan "menggerakkan" eksistensi manusia, dan makna eksistensi baru muncul justru dalam keterarahannya pada masa depan. 

Menurut analisa Heidegger, historisitas mengadanya manusia menunjukkan adanya "takdir" individu, yakni bahwa setiap individu adalah ahli waris dari masa lalu. Manusia terikat pada masa lalu, pada keterlemparannya yang tidak terelakkan dan dengan alasan apapun tidak dapat menyangkal masa lalu itu. 

Tetapi, keterlemparan itu tidak menjadikan manusia sebagai Ada yang dirantai oleh masa lalu, terdapat ruang bagi manusia untuk mengambil alih pemberian itu dan dengan hal tersebut manusia membangun masa kini serta merancang orientasi ke masa depan. Kebebasan manusia justru terletak di situ, yakni bahwa ia menerima masa lalu, demi untuk merebut masa depan, sedemikian rupa sehingga jalan menuju Adanya sendiri, menuju pembentukan diri sendiri (menjadi diri sendiri), semakin terkuak lebar. 

Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa pemikiran Heidegger bukan hanya bisa diterima di dalam lingkungan filsafat, tetapi juga di dalam lingkungan ilmu-ilmu manusia, khususnya psikologi dan psikiatri. Gejala-gejala manusiawi yang diungkap oleh Heidegger memang merupakan gejala-gejala yang selalu dialami oleh manusia secara universal. Gejala-gejala demikian berdekatan dengan gejala-gejala yang hendak dijelaskan juga oleh psikologi dan psikiatri. 

Pengaruh Heidegger pada psikologi dan psikiatri juga tampak pada Binswanger dan Medard Boss yang merupakan dua orang psikiater dari Swiss, yang menggunakan filsafat dan metode fenomenologi Heidegger untuk mendeskripsikan pengalaman-pengalaman para pasiennya dan untuk mempraktekkan psikoterapi-psikoterapi eksistensialnya.

Referensi

Abidin, Z. (2014). Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 

Tjaya, T. H. (2015). Fenomenologi Sebagai Filsafat dan Usaha Kembali Ke Permulaan. DISKURSUS-Jurnal Filsafat dan Teologi, 14(2), 221-248. Retrieved from https://journal.driyarkara.ac.id/index.php/diskursus/article/view/9.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun