Mohon tunggu...
Aristya Prabadewi
Aristya Prabadewi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Psikologi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memahami Pemikiran Filsuf Martin Heidegger dan Pengaruhnya pada Psikologi

13 Desember 2022   16:10 Diperbarui: 13 Desember 2022   16:36 1583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Maksudnya "milik pribadi", lebih dari sekadar di dalam persepsi. Totalitas mengadanya si Didi (misalnya dalam bentuk pemikiran, imajinasi, khayalan, cinta, benci) adalah juga milik pribadi si Didi. Demikian juga halnya dengan segala bentuk perbuatan fisik atau tingkah laku si Didi (baik yang dilakukan atas inisiatif sendiri maupun atas paksaan orang lain) serta konsekuensi-konsekuensinya. Tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan atau mengambil alih "milik" si Didi itu. 

Dalam konteks yang lebih luas, fakta milik sendiri itu pada asasnya sering merupakan beban yang teramat berat dan beban itu harus dipikul sendirian. Milik pribadi identik dengan kesendirian total manusia, kesendirian yang sangat mencekam. Kecemasan, sebuah tema yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kesadaran manusia akan fakta kesendirian dirinya.

Heidegger kemudian juga mengatakan bahwa manusia pada awal mulanya berada dalam kondisi "lari" dari dirinya sendiri dan terperangkap dalam eksistensi yang anonim dan tidak-otentik.  Manusia enggan menerima Ada-nya sendiri dan lebih suka memberikan atau mengizinkan orang lain untuk membentuk dan mengarahkan eksistensinya. Yang dikejar adalah norma-norma atau konvensi-konvensi yang diberlakukan secara umum dan global, misalnya dalam cara berpakaian, berbicara, bergaya, berpikir, bercita rasa. 

Ada alasan mengapa manusia memilih hidup menjadi "Orang" (das Man), menjadi tidak-otentik. Karena memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan, seringkali menimbulkan tanggungjawab yang membebani dan rasa cemas juga khawatir menjadi "lain" dari apa yang dipikirkan atau diperbuat oleh orang lain. Jika mengisi eksistensi diri sendiri (menjadi diri sendiri), maka segala konsekuensi harus ditanggung sendiri pula. Hal itu tentunya sungguh berat dan menyakitkan. 

Oleh sebab itu, manusia memilih menjadi das Man; menjadi "Orang"; menjadi tidak-otentik. Dengan menjadi tidak-otentik, maka segala kecemasan dan tanggung jawab dari perbuatan yang gagal, tidak akan dialami oleh dirinya secara sendirian, melainkan seolah-olah ditemani oleh atau dibebankan kepada orang lain yang mengisi eksistensinya. Meski demikian, kondisi seperti itu bukan merupakan kondisi patologis yang menuntut terapi-terapi psikologis. Kondisi itu adalah kondisi yang bersifat eksistensial, yang dialami oleh segenap manusia. Eksistensi manusia pada awal mulanya memang adalah "Orang, yang menjadi impersonal (anonim) dan tidak otentik".

Kemudian selain disebut Dasein dan "Orang", oleh Heidegger manusia disebut sebagai Da-sein, yang berarti manusia adalah "Ada" (Sein) yang terdampar "di situ" (da). Ini adalah situasi fundamental manusia yang tidak dipilihnya sendiri, melainkan "terlempar" begitu saja seperti buah dadu di atas meja. Dalam situasi ini, manusia betul-betul tidak memiliki alternatif untuk memilih, misalnya untuk menjadi seorang perempuan atau laki-laki, lahir dari dalam rahim seorang ibu seperti apa, dibesarkan dalam masyarakat yang bagaimana. 

Ini adalah faktisitas manusia, yang kemudian dibebankan pada dirinya dan menjadi milik pribadinya, tanpa diberi pilihan untuk menerima atau menolaknya. Faktisitas ini bermula dari "keterlemparan" manusia dari masa lalu yang tidak dimengerti dan dari masa depan yang juga tidak bisa dipahami arah tujuannya. Manusia adalah "Ada" yang terdampar "di situ", tetapi mempunyai tugas untuk menuju Ada-nya sendiri. 

Setiap mengadanya manusia selalu melibatkan tiga keterarahan dalam waktu, yakni pada (1) kemungkinan-kemungkinan eksistensinya di masa depan, (2) sudah "terlempar" dan terikat pada keterlemparannya di masa lalu, dan (3) jatuh dalam kuasa (kontrol) orang lain dan hidup dalam rutinitas keseharian yang tidak otentik. Dari tiga keterarahan waktu itu keterarahan pada masa depan ada lah yang paling dominan. Keterarahan pada masa depan "menggerakkan" eksistensi manusia, dan makna eksistensi baru muncul justru dalam keterarahannya pada masa depan. 

Menurut analisa Heidegger, historisitas mengadanya manusia menunjukkan adanya "takdir" individu, yakni bahwa setiap individu adalah ahli waris dari masa lalu. Manusia terikat pada masa lalu, pada keterlemparannya yang tidak terelakkan dan dengan alasan apapun tidak dapat menyangkal masa lalu itu. 

Tetapi, keterlemparan itu tidak menjadikan manusia sebagai Ada yang dirantai oleh masa lalu, terdapat ruang bagi manusia untuk mengambil alih pemberian itu dan dengan hal tersebut manusia membangun masa kini serta merancang orientasi ke masa depan. Kebebasan manusia justru terletak di situ, yakni bahwa ia menerima masa lalu, demi untuk merebut masa depan, sedemikian rupa sehingga jalan menuju Adanya sendiri, menuju pembentukan diri sendiri (menjadi diri sendiri), semakin terkuak lebar. 

Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa pemikiran Heidegger bukan hanya bisa diterima di dalam lingkungan filsafat, tetapi juga di dalam lingkungan ilmu-ilmu manusia, khususnya psikologi dan psikiatri. Gejala-gejala manusiawi yang diungkap oleh Heidegger memang merupakan gejala-gejala yang selalu dialami oleh manusia secara universal. Gejala-gejala demikian berdekatan dengan gejala-gejala yang hendak dijelaskan juga oleh psikologi dan psikiatri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun