Sesampainya di jalan, aku mulai bertanya pada wanita itu karena rasa penasaranku benar-benar tak tertahan. Ia dengan senang hati menceritakan segalanya kepadaku. Ia bercerita bahwa ia memiliki sebuah penyakit yang membuatya batuk terus-terusan, namun berkali-kali ia ke rumah sakit dokter tak pernah menemukan penyakit yang dialaminya. Ia juga bercerita bahwa ia beberapa kali telah gagal tatkala hampir dinikahi oleh seseorang. Entah karena beberapa alasan, tapi selalu ada saja yang menghalanginya untuk menikah. Sampai ia beberapa kali datang ke tempat seorang dukun dan ia mendapat jawaban bahwa jodohnya telah dipagari oleh seseorang yang pernah ditolak olehnya. Artinya dia tidak akan pernah mendapatkan jodoh jika pagar itu masih belum di buka. Dan naasnya penyakitnya juga berasal dari guna-guna yang terbawa oleh pagar itu. Dia juga bercerita bahwa dia sudah berkali-kali pergi ke dukun dan kiyai, namun belum ada orang yang bisa menyembuhkannya.
Aku terkejut karena aku tak pernah mendengar cerita seperti ini sebelumnya. Aku turut prihatin pada wanita itu, karena aku juga mengetahui bahwa ia memang telah lama memiliki sebuah penyakit. Bahkan ia selalu terbatuk kala aku bercakap dengannya. Penyakit itupun seakan menggerogoti dirinya. Bulan demi bulan aku melihatnya justru semakin bertambah kurus dan mungkin ini dampak dari penyakitnya. Aku juga tak menyangka bahwa mengapa ada pria yang melakukan hal-hal seperti ini kepada wanita. Aku mulai bertanya siapakah pria itu yang tega mengirimkan sebuah penyakit pada temanku. Temanku juga tak keberatan untuk memberitahuku tentang identitas pria itu yang ternyata adalah orang yang tinggal di desa yang sama denganku.
Sebulan setelah kejadian itu, aku mendapat kabar bahwa penyakit temanku kini bertambah parah. Bahkan ia kini tak memiliki daya lagi untuk beranjak dari tempat tidurnya. Aku mengunjunginya dan melihatnya terbaring lemas di tempat tidurnya. Ada suasana yang berubah dari rumahnya itu. Dulu aku merasa rumah ini selalu dipenuhi oleh kesenangan yang hadir dari keramahan penghuninya. Namun kini semua itu telah hilang berganti sedih dan tangisan dari orang tuanya. Aku tak kuasa melihatnya menjadi seperti itu, tubuhnya bertambah kurus dan bahkan kini seperti tulang yang hanya terbungkus kulit. Aku benar-benar tak tega melihatnya seperti itu. Aku hanya bisa memberikan motivasi untuknya agar tetap semangat dan berusaha menjalani semua ini. Aku berharap ia bisa sembuh seperti sedia kala.
Aku semakin yakin bahwa penyakitnya merupakan penyakit yang berasal dari guna-guna orang lain. Sebab aku pernah melihat salah seorang temanku juga bernasib seperti ini. Ia adalah teman masa kecilku. Kami dulu pernah bermain bola di depan rumah tua. Kami bermain seperti biasanya, namun tatkala sampai di rumah temanku tiba-tiba sakit. Aku mendapatinya menjadi kurus dan seperti tulang yang terbungkus oleh kulit saja. Aku bersyukur waktu itu temanku masih bisa sembuh setelah orang tuanya membawanya kepada orang pintar. Ternyata ia telah diganggu oleh makhluk gaib yang menunggu di depan rumah tua itu, yang kebetulan tak sengaja terkena bola yang ditendangnya. Mungkin hal seperti inilah yang dialami oleh teman wanitaku itu.
Seminggu setelah aku menengoknya, terkirim sebuah kabar yang tak kuharapkan darinya. Kabar yang membuatku terduduk lemas dan meneteskan beberapa air mata. Kabar bahwa temanku itu telah tutup usia. Kabar itu sangat memukulku hari itu dan membuat sedih kini mulai menguasa dalam diri. Di satu sisi aku merasa sedih karena kehilangan sosok teman yang bahkan telah aku anggap sebagai kakakku sendiri. Di sisi lain aku juga mencoba ikhlas dan meyakini ini adalah jalan terbaik yang di pilihkan Tuhan untuknya. Mungkin ia akan memiliki hidup yang lebih baik di alam sana daripada ia harus terus-terusan menderita di dunia. Aku juga berharap semoga Tuhan mempertemukannya dengan jodohnya di alam sana.
Keesokan harinya, aku pergi ke rumahnya untuk menghadiri acara pemakamannya. Suasana haru benar-benar menyelimuti tempat itu. Tangisan keluarganya mengiringi prosesi pemandian jenazahnya. Tangisan keluarganya seakan mengajak mataku juga mengalirkan air mata. Namun aku mencoba tegar dan terus membendungnya. Kini aku akan mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhirnya. Mungkin ini adalah terakhir kali aku bisa mengantarnya. Kali ini aku tidak memakai motor, aku hanya akan memikulnya bersama dengan orang-orang dan berjalan kaki menuju tempat yang terbaik untuknya dengan iringan doa yang selalu terbaca.
Pemakamannya telah berakhir, namun keluarganya masih tetap setia di sana dan mencoba ikhlas akan kepergiannya. Aku mulai beranjak meninggalkan tempat pemakaman itu dan tak lupa berpamitan padanya. Sesampainya di jalan, aku melihat seseorang pria yang juga mengikuti prosesi pemakaman itu. Aku mulai mengenalinya dan ternyata ia adalah orang yang selama ini mengirimkan pagar jodoh pada temanku. Aku tak pernah berniatan menegurnya apalagi membalas akan perbuatan yang dilakukannya. Dia kini telah berkeluarga, namun sepertinya ia telah lupa akan perbuatan yang pernah dilakukannya dulu yang bahkan sampai membuat orang menderita. Aku hanya berharap bahwa pengadilan Tuhan itu ada. Aku berharap ia segera sadar dan bertaubat.
Itulah pengalaman pahit yang pernah aku alami yang seketika terlintas diingatanku kala temanku mengungkapkan kata "Pagar Jodoh" di tengah obrolan dengan teman-temanku malam ini. Aku berharap hal itu tidak pernah terjadi lagi, apalagi pada temanku yang kini duduk di sampingku. Aku hanya bisa memberinya motivasi bahwa mungkin jodohnya masih belum ketemu dan apalagi kita ini masih muda dan masih bisa  menikmati bergembira bersama sebelum berkeluarga. Malam ini semakin menyenangkan, candaan dan permainan mulai menemani kami menikmati sebuah hal yang dinamakan reuni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H