Assalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh.
Latar Belakang
Sebuah insiden yang benar-benar memagnet perhatian penduduk dunia. Â Serangan di kantor majalah satire (Paris, 12 Januari 2015) Charlie Hebdo menewaskan 12 orang yang merupakan staf redaksi kantor tersebut. Sudah pasti tragedi seperti ini akan memicu pro kontra dari penonton-penonton di seluruh muka bumi ini. Saya selaku salah satu penonton tersebut hanya bisa selintas berpikir, saya tidak bisa dan mau membenarkan kedua belah pihak yang terlibat.
Informasi tentang Charlie Hebdo, yang saya lansir dari bbc.co.uk menyatakan memang sumber daya redaksi kantor tersebut tidaklah besar, bahkan di tahun 1981 hingga 1991, majalah itu tidak terbit karena kekurangan sumber daya. Namun, karena eksistensinya yang nyleneh dan sering mempublikasikan kartun provokatif, dan perang pemikiran ideologi yang berbau hasut, majalah ini masih bisa bertahan dan bisa ditemukan di kios-kios koran setempat. Tak hanya Nabi Muhammad SAW yang tak lolos dari celaan karikatur majalah tersebut, sebelumnya ada ilustrasi Paus dan biarawati yang digambarkan tidak senonoh.
Kantor majalah ini, menurut saya sebenarnya memercikkan api permusuhan dan menginisiasi suatu wujud kebebasan (berekspresi) yang sudah ditafsirkan secara sembarangan. Saya pun tidak bisa menjustifikasi bahwa pihak Charlie Hebdo adalah pihak yang bersih suci tanpa salah setelah adanya tragedi tersebut. Dan saya selaku muslim tidak pernah dan insyaAllah tidak akan pernah membenarkan reaksi sekelompok orang (yang faktanya membawa agama saya) melakukan pembunuhan keji dan brutal seperti itu, apapun itu alasannya.
Sudahlah, kitapun tak bisa menilai kebenaran dari satu sisi saja, tak bisa mengkambinghitamkan siapa saja yang terlibat, bahkan istilah "tak ada asap kalau tak ada api" sudah sangat susah dianalogkan dan diposisikan kepada masing-masing subjek yang bersangkutan.
Concern saya dalam opini ini hanyalah, ketika setelah tragedi tersebut, ada suatu efek yang dimana semua muslim (termasuk saya dan Anda seorang muslim yang kebetulan membaca tulisan ini) harus ikut serta dalam ikut angkat bicara dan meluruskan semuanya. Sekecil apapun itu usahanya, seminim apapun itu cost-nya dan semudah apapun itu jalannya, saya menghargai dan merespek niat tulus muslim-muslim yang berpartisipasi dan tidak acuh maupun tinggal diam.
Mungkin beberapa di antara kita sudah mengenal istilah ini. Bahkan dalam suatu studi, istilah ini sudah ditemukan sejak tahun 1980-an dan ada yang mengklaim puncaknya adalah tragedi 11 September. Ya, Islamofobia. Bahkan untuk sebuah istilah yang masih muda ini, nyatanya perlu sebuah konferensi resmi yang dikabarkan telah diselenggarakan pada Januari 2001i  di "Stockholm International Forum on Combating Intolerance" dengan sebab kemungkinan saking kontroversialnya istilah tersebut. Di dalam sebuah kutipan dari seorang Inggris bernama Runnymede Trust, islamofobia dianggap sebagai rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan oleh karena itu juga pada semua Muslim.
Istilah ini kembali muncul ketika telah terjadi suatu insiden yang saya sedikit paparkan pada pengantar di paragraf awal. Saya baca di beberapa harian maya baik dalam negeri maupun luar negeri, klaim peningkatan islamofobia kembali meningkat, diutarakan oleh berbagai petinggi negara dan berbagai organisasi internasional. Tak pelak hal ini turut mensugesti masyarakat (awam) yang di era serba digital ini, dengan mudah mengakses informasi tersebut secara real time. Meski ada berita yang menyanggah dengan jumlah yang minor, hal tersebut menurut saya adalah suatu kekhawatiran serius. Sebagai seorang yang menganut agama yang di-judge demikian, hal tersebut adalah keprihatinan yang perlu dipikirkan.
Mungkin bagi umat agama lain, sudah cukup melalui pimpinan jemaahnya sudah terwakili dalam suatu sikap atau pernyataan tanggapan insiden tadi yang gampang diketahui secara luas dan cepat. Bahkan, dengan cukup mengeluarkan statement kontra-nya terhadap majalah tersebut sudah cukup mewakili suara jamaahnya dan terlihat nuansa perdamaian yang luar biasa dan disaksikan secara takjub oleh seluruh umat di dunia. Bahkan, pimpinan jemaah umat tersebut dengan berkata; "saya akan menjotos asisten saya, jika dia menghina ibu saya", sudah menunjukkan suatu pengambilan sikap universal yang layak dipuji.
Bagaimana dengan umat Islam? Apakah  akan menunjuk syeikh atau perwakilan tinggi lainnya untuk mengeluarkan statement yang sebenarnya hampir sudah pasti mudah ditebak, bagaimana responnya? Tentu tidak hanya serta merta dengan hal seperti itu. Inilah salah satu konsep dakwah dalam Islam, cakupannya luas. Tak hanya mencakup sesama muslim, muslim juga dituntut untuk (bisa) mengabarkan, menyampaikan dan menjelaskan, "What Islam is" untuk orang-orang yang sama sekali tidak mengetahui Islam. Bukan cuma tugas profesional pendakwah, tetapi tugas seorang individu muslim yang harus bisa menjadi cermin untuk muslim lainnya.
Apa yang Ditakutkan?
Sebuah istilah bernama Islamofobia kembali dihembuskan di kala insiden yang melibatkan hanya seper sekian persen umat muslim tersebut dikabarkan hampir ke seluruh pelosok dunia. Kembali ke sebuah pemaknaan secara harfiah, islamofobia berasal dari kata islam dan phobia. Fobia ini berarti rasa ketakutan yang berlebihan pada sesuatu hal atau fenomena. Dan Islam sendiri berasal dari bahasa Arab dengan akar kata sa-la-ma, salam yang berarti damai (peace). Ketika kedua kata ini direkatkan, menjadi suatu hal yang sangat tak logis dimana manusia pada hakikatnya menyukai pada suatu yang indah-indah, yang baik-baik, kali ini dituntut untuk takut terhadap hal yang sangat diidam-idamkan, kedamaian.
Ketidakdalaman pengetahuan orang-orang yang secara sembarangan mengambil kata yang bermakna indah ini menjadi pemicu asal muasal hal yang sungguh amat sangat sembarangan, yang berarti ngawur! Ya, saya sampaikan sekali lagi dengan jelas, ngawur! Bagaimana bisa sebuah nama yang dipetik dari akar kata yang bermakna begitu indah, memiliki efek yang sangat buruk, negatif bahkan sampai bisa menakut-nakuti.
Islam mengajarkan hal-hal yang indah menyangkut kedamaian. Untuk kasus yang melibatkan terbunuhnya 12 orang di Perancis di atas, sudah sangat jelas hal tersebut dikutuk dengan keras oleh sebuah kitab suci umat Islam (Al Quran)
"Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu. sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi...."
(QS. Al Maa'idah : 32)
Sangat begitu jelas! Bagaimana sebuah petikan ayat  yang begitu memberikan rasa aman ini, menyeret nama induknya (Agama Islam) atas sebuah penunjukkan (lagi-lagi) terhadap suatu aktivitas dari minoritas umat muslim. Ketika Islam disematkan bersama terorisme, ini sungguh justifikasi yang sangat tidak adil. Bahkan istilah jihad yang nyata-nyata adalah ungkapan paling keren di kalangan muslim, dimodifikasi sedemikian rupa sehingga maknanya jadi sangat rancu dan terkesan menyeramkan. Bukan dari kalangan di luar muslim saja, sayapun menyadari mungkin banyak umat muslim juga tidak tahu makna sesungguhnya kata jihad, alih-alih kata Islam.
Hanya Rekaan, Ini Tidak Benar
Ketika makna sejati dari Islam dihancurkan dengan penggabungan kata lain, dan satu contoh lainnya jihad dimaknai secara bebas sebagai perang suci (arti sebenarnya : berjuang, bersungguh-sungguh, struggle), ini tak lain adalah sebuah upaya sistematis yang sangat ingin mengoyak keyakinan dan bahkan kondisi umat muslim saat ini agar tidak bisa bangkit dan berjaya. Anggapan-anggapan yang ditujukan kepada Islam selalu beraroma sinekdoke pars pro toto. Ketika ada terorisme dari minoritas dan sudah menjadi "kambing hitam" di kalangan muslim, lantas Islam secara keseluruhanlah yang dianggap sebagai biangnya.
Seorang guru mengatakan kepada seluruh 20 siswanya, bahwa katak adalah hewan amfibi. Bahkan guru tersebut memberikan buku kepada 20 siswanya yang jelas menyatakan bahwa katak adalah hewan amfibi. Ketika ujian, 20 siswa tersebut mendapati soal tentang katak. Dari 20 siswa, hanya satu siswa yang menjawab katak adalah hewan reptil. Hingga terjadi demikian, apakah gurunya yang disalahkan? Atau buku pelajarannya yang disalahkan? Apakah 19 murid lain yang disalahkan? Cukuplah ini menjadi analogi sederhana, ketika di antara muslim sudah mengakui bahwa kambing hitam yang perlu disalahkan dari sebuah kesalahan (yang tentunya akan terus diminimalisir dan dicari sebabnya), apakah layak menjadi perdebatan bahwa Islam menuntun ke jalan kesalahan dan jauh dari kebenaran? Apakah layak ketakutan itu di arahkan ke sebuah ajaran yang benar-benar menjunjung tinggi perdamaian dan penghapus rasa takut? Apakah sumber ketakutan ini sengaja diciptakan dengan mendompleng nama Islam? Atau memang mereka salah mengalamatkannya? Cukuplah ketika satu orang siswa salah dalam menjawab soal, maka perbaikannya adalah bagaimana agar tidak muncul siswa yang seperti ini lagi. Tentunya ini dibutuhkan upaya ekstra baik dari internal umat Islam sendiri dan tentunya tak perlu dari eksternal Islam membuat kekacauan pandangan, sehingga tidak berfokus pada solusi dan seakan menambah kompleks permasalahan.
Ini juga menjadi pekerjaan rumah umat Islam, saudara saya, muslimin muslimat, untuk merapatkan barisan. Jangan sampai punya pemahaman dan pengetahuan sangat banyak tapi terhalang tempurung kepala. Masa bodoh dengan apa yang mereka bicarakan. Masa bodoh dengan pemahaman saudara sesama muslim lainnya. Apakah Allah suka dan happy dengan sikap pasif seperti ini? Tentunya tidak. Bukan hal yang sukar di era digital seperti ini. Tak akan ada batu atau kotoran yang mendarat di kepala. Paling parah juga hanya ditertawakan atau dikritik bila salah. Â Sampaikan, beritahukan inilah yang benar. Islam bukan begitu. Islam seperti ini. Ini kitab kami. Ini ajaran kami. Lihatlah! Kami tidak mengajarkan hal seperti itu. Buatlah pendapat kuat, mulailah dari yang terdekat, dan mulailah meski cuma berbekal satu ayat.
"Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa"
(QS. Al Hajj : 40)
Wassalamu'alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H