Aku merenung sejenak menatap lampu jalanan yang sudah mulai menyala. Ku susuri perlahan trotoar berdebu itu dengan perlahan tanpa berniat untuk cepat-cepat segera berlalu. Sementara itu suara adzan maghrib sudah menghiasi langit sore yang cerah itu. Aku masih ingin tetap menikmati sore ini, namun aku tak tahu bagaimana caranya.
Malam ini adalah malam Natal. Tapi aku tak merasakan itu akan segera terjadi. Hati ku masih beku dan lidah ku rasanya kelu untuk berbicara sekata pun. Aku hanya tahu, malam ini Christmas Eve dan aku ingin menghadiri misa malam Natal. Ku lirik jamku, masih setengah tujuh sore, kebaktian baru dimulai pukul setengah delapan malam. Ku nikmati suasana jalanan yang ramai sambil menunggu waktu itu.
Di sini aku teringat rumah ku, tanah kelahiranku. Selalu terbayang malam Natal yang indah dengan bintang-bintang ramah berkelap-kelip menemani malam Natal. Dan di telingaku selalu berdentang lonceng Gereja yang bertalu-talu silih berganti dari semua penjuru. Namun disini suasana syahdu itu tak ku dapatkan, satu tahun aku merindukan suasana Natal kota kecil ku. Sesudah itu aku melanjutkan langkahku.
Aku berbelok ke kiri menuju jalan kecil ke arah gereja. Pada tikungan pertama terdapat gereja megah tempatku beribadah malam ini. Kurang lebih dua puluh meter dari jalan utama. Gereja Ijen yang berdiri dekat disekeliling perumahan megah Ijen. Saat aku berjalan perlahan memasuki gerbang gereja, jemaat sudah mulai memenuhi tempat duduk dalam gereja. Sementara parkiran penuh dengan mobil mewah dan sepeda motor.
Kulirik beberapa orang teman kampusku yang juga sudah datang sejak dari tadi. Kami memang sangat jauh dari gereja ini. Bersyukurlah teman-teman yang kuliah di ITN, sementara kami yang kuliah di UNIVERSITAS GAJAYANA harus menempuh kurang lebih setengah jam untuk datang ke gereja ini.
Para penerima tamu telah berdiri menyongsong setiap jemaat yang datang. Tampak sukacita tergambar di wajah-wajah mereka. Kurasa hanya aku yang murung dalam sukacita Natal ini. Dalam hati ku tekadkan untuk mencari makna sesungguhnya dari malam Natal ini. Aku malu, malu kepada Tuhanku. Aku tak ingin Natal tahun ini ku nodai dengan perbuatan ku yang tidak layak disebut sebagai orang Kristen.
Misa Natal berjalan dengan khidmat. Semuanya kumaknai dengan kasih dari Tuhan yang nyata melalui kedatangan Yesus Kristus Sang Juru Selamat. Dalam jiwaku bergejolak sebuah penyesalan yang dalam, sementara itu aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Hanya penyesalan dan sukacita yang ada dalam jiwaku.
Malam telah larut saat misa malam Natal usai. Semuanya kembali dengan membawa sukacita yang baru. Bersalam-salaman dalam damai dan sukacita yang indah. Semuanya tertawa, tersenyum saling memberikan ucapan syukur dan selamat Natal.Â
Namun di balik itu semua jauh di dalam lubuk hati ku ini, terbayang wajah ayah dan ibuku, wajah saudara-saudara ku. Aku melihat wajah seorang ibu yang sudah mulai tua, dalam kerinduan berdiri di depan pintu memandang ke ujung jalan. Gerangan ada kah salah seorang dari ketiga anaknya akan pulang merayakan Natal tahun ini.
Ini Natal ku yang kedua tanpa kehadiran kedua orang tuaku dan kedua saudaraku di sampingku. Dapat kulihat dengan jelas rumah kami yang sederhana itu semakin sepi penuh kerinduan. Tahun ini kakak ku yang tertua tidak lagi merayakan Natal di rumah kami, dia telah dipindah tugaskan ke Bandung jadi tidak bisa pulang untuk merayakan natal. Abangku yang kedua, sudah lima tahun ini tidak pernah merayakan Natal di rumah dan aku sudah dua tahun tidak merayakan Natal dengan mereka.
Aku mendapatkan rasa sepi itu. Rasa sepi namun penuh dengan sukacita pengharapan. Aku hanya bisa berharap tahun depan aku akan pulang untuk merayakan natal bersama mereka. Aku teringat dengan isi pembicaraan ku dengan mama di telepon beberapa hari yang lalu. Ku rasakan kesepian itu semakin dalam intonasi suaranya.