Mohon tunggu...
Aris Taoemesa
Aris Taoemesa Mohon Tunggu... Lainnya - Belajar

Belajar dan terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Cupunya" Integritas

7 Januari 2022   21:07 Diperbarui: 7 Januari 2022   22:04 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagaimana Anda memandang seorang perokok? Apakah mereka keren? Atau mereka laki? Atau bagaimana Anda memandang seorang peminum? Apakah mereka keren? Pertanyaan ini tidak perlu Anda jawab kencang, cukup dalam hati saja.

Sejak saya kecil, melihat pemuda yang merokok itu kelihatannya seperti keren. Ketika saya memasuki usia remaja saya tumbuh bersama kakak laki-laki saya yang sudah mulai merokok, saya pernah mencoba merokok tapi entah kenapa rasanya tidak terlalu enak untuk membuat saya harus terus melakukannya. Dan saya tumbuh tidak menjadi perokok seperti kakak saya yang dianggap lebih laki daripada saya.

Ketika saya pindah ke SMA baru saya, saya pernah merokok hanya karena saya tidak ingin dianggap “enggak keren” seperti pengakuan dari teman perempuan saya yang mengatakan bahwa laki-laki yang merokok itu jauh lebih maskulin ketimbang yang tidak merokok.  Saya mulai menghabiskan beberapa batang rokok bersama teman saya, dengan anggapan bisa lebih kelihatan maskulin.

Tapi karena saya tinggal bersama tante saya yang disiplin waktu itu dan juga karena saya tidak memiliki uang sendiri, maka tidak memungkinkan saya untuk menjadi seorang perokok. Terlebih saya dikenal “anak baik-baik” dan “pintar” ketika dititipkan oleh orang tua saya untuk melanjutkan sekolah di kota kecil itu dan saya tidak mau merusak kepercayaan itu.

Beberapa paragraf di atas adalah pembuka tentang topik kali ini tentang Integritas dan kadar “keren-nya” di mata seseorang.

Integritas. Sebuah kata yang pastinya sudah sangat familiar, baik bagi masyarakat umum apalagi buat yang sudah menempuh pendidikan tinggi. Rasanya sudah tidak perlu dijelaskan lagi dan mungkin Anda sudah bosan kalau harus dijelaskan lagi. Tapi, tidak masalah jika kita memberikan gambaran singkat integritas sebagai gabungan dari dua kata yaitu Taat dan Jujur.

Perasaan saya agak sedikit canggung ketika saya mengikuti pelatihan di salah satu lembaga pelatihan ketika istilah “Aris Integritas” disematkan kepada saya. Waktu itu saya dan satu orang teman lainnya memiliki nama yang sama, Aris. Dan ingatan saya samar-samar tentang istilah yang teman-teman kami label-kan kepada teman saya itu, maaf jika saya salah menyebutnya “Aris Biasa”.

Ketika label itu diucapkan oleh teman-teman saya untuk memanggil, saya hanya bisa menganggguk tersenyum. Tetapi lama-kelamaan, jujur saya sangat terganggu. Bukan karena saya tidak menyukai integritas, tapi bagi saya itu semacam sindiran yang seakan mengatakan bahwa, “kamu tidak keren, terlalu idealis”.

Di waktu yang berbeda dan momen yang berbeda-beda juga, saya sering menemukan teman saya menolak untuk memakai helm, melanggar rambu lalu lintas, mencontek, pergi ketempat hiburan malam dan mabuk-mabukan, membuang sampah di sembarang tempat, bicara bahasa kasar dan banyak lainnya. Ketika saya berusaha untuk memberikan tanggapan tidak sepakat, saya selalu menemukan satu poin jawaban yang sama, “Kamu tidak keren, terlalu idealis” Atau bahasa lebih kasarnya “Tidak keren karena terlalu sok taat”. 

Agaknya ukuran “keren” itu berbanding lurus dengan kata “nakal” dan berbanding terbalik dengan kata “Baik-baik”.

Berbekalkan dari pengalaman-pengalaman itulah, sehingga ketika saya mengikuti pelatihan, pertanyaan yang tak henti-henti saya tanyakan kepada diri saya adalah seberapa berintegritaskah saya untuk disapa, Aris Integritas? Saya masuk ke dalam titik dimana saya seperti di film-film “action” sebagai “anak cupu”. Anda bisa membayangkannya.

Hal positif yang bisa saya ambil dari hal tersebut adalah saya didoakan untuk menjadi orang yang benar-benar berintegritas. Integritas itu susah, dan saya menganggap diri saya masih kurang dalam hal ini. Saya pernah mencontek, saya pernah melanggar lalu lintas, pernah membuang sampah sembarang tempat, dan tindakan tidak berintegritas lainnya. Dan karena saya masih kurang, maka saya terus belajar untuk menjadi lebih berintegritas apalagi mengenai pekerjaan saya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di mana Integritas adalah sebuah keharusan.

Apa yang saya ingin sampaikan dalam tulisan ini bukan pada pokok untuk mengatakan ketidak-setujuan saya disebut, Aris Integritas, tapi mengajak kita semua untuk semakin menjunjung tinggi integritas sebagai bagian dari hidup kita. Siapa pun kita, apa pun pekerjaan kita, di mana pun kita, integritas adalah hal yang sangat penting.

Kalau kita menengok ke negara-negara maju, integritas adalah hal yang menjadi pondasi di kalangan rakyatnya. Contoh kecil integritas mereka adalah bagaimana mereka taat untuk tidak membuang sampah mereka dengan sembarang. Karena mereka sadar pentingnya lingkungan. Bahkan dibeberapa negara seperti maju seperti Australia malah guru akan lebih malu ketika anak didiknya tidak bisa mengantri daripada tidak bisa matematika. Ya, itu adalah ciri integritas terkecil.

Bagaimana pun, harus diakui bahwa membuang sampah sembarang tempat masih menjadi tradisi kita dan ketika banjir melanda kita saling menyalahkan. Mematuhi aturan lalu lintas hanya ketika ada polisi. Ketika polisi tidak ada, lalu lintas menjadi tak karuan dan bisa berdampak pada macet yang berkepanjangan dan bisa mempengaruhi mental kita juga.

Integritas harus dimulai dari hal kecil dan dibiasakan dan integritas harus diaplikasikan sama-sama. Bukan malah ketika ada seseorang yang belajar berintegritas, kita mulai memberikan stereotip yang sebenarnya mungkin berniat memberikan penghargaan, tapi karena terlau berlebihan menjadikannya bermakna “miring”.

Saya selalu ingat kalimat dari seorang pelawak kondang, Almarhum Drs. Kasino Hadiwidowo, "Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang jujur".

Kalau bisa berintegritas sama-sama kenapa mesti harus menunjuk satu orang? Bukankah mengikuti hal positif itu baik? Dan sampai kapan kita akan terus tertinggal jika kita hanya selalu menjunjung tinggi “Cupunya Integritas”?

Yuk, berintegritas. Karena berintegritas itu keren!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun