Mohon tunggu...
Aris Risnandar
Aris Risnandar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Berintegrasi, melampaui keterbatasan yang ada.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menyelami Perkataan Bertolt Brecht

15 September 2023   07:39 Diperbarui: 15 September 2023   07:47 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Menyelami perkataan Bertolt Brecht -- Seorang penyair yang hidup pada masa Nazi berkuasa, pemikirannya mengubah pandangan kita melihat lebih jauh mengenai buruh. Lahir di Augsburg, 10 Februari 1898, Jerman. Bagaimana pemikirannya bisa mengubah pandangan kita mengenai perjalanan umat manusia hingga menyadari betapa terhormatnya kaum buruh yang selama ini dipandang sebelah mata.

Terlepas dari pandangan serta paham-paham yang dianutnya, Bertolt Brecht menjelaskan kepada kita untuk berpikir lebih jauh bahwa ada banyak orang yang terlupakan namanya disebabkan bukan mereka tidak memiliki karya apapun, melainkan ditutupi oleh nama yang begitu amat berpengaruh pada masanya.

Siapa yang membangun Thebes berpintu tujuh?

Dalam buku-buku kau akan menemukan nama raja-raja.

Apakah para raja yang menyeret bongkahan batu?


Dan Babilonia, yang berkali-kali dihancurkan, 

Siapa yang berkali-kali membangunnya kembali?

 

Di rumah mana di Lima, kota yang bergemilang emas itu, tinggal para kuli?

Ketika malam Tembok Cina selesai dibangun, kemana para pengukir batu pergi?

 

 Roma yang Agung penuh dengan pilar-pilar megah, siapa yang mendirikannya?

 

 Siapa yang ditaklukkan oleh Caesar?

 Apakah Bizamtium, yang banyak dipuji dalam lagu, hanyalah istana untuk kaumnya?

 

 Bahkan dalam dongeng Atlantis, di malam ketika lautan menelannya,

Yang tenggelam masih meraung untuk budak mereka.

 

Alexander muda menaklukan India. 

Apakah ia sendiri?

 

Caesar mengalahkan kaum Gaul,

Apakah ia tidak memiliki seorang koki dengannya?

 

Philip dari Spayol menangis ketika armadanya tenggelam ke laut.

Apakah hanya dia yang menangis?

 

Fredirick kedua memenangkan perang Tujuh Tahun.

Siapa lagi yang memenangkan perang itu?

 

Setiap halaman dari sebuah kemenangan.

Siapa yang memasak bagi pesta kemenangannya sang pemenang?

 

Setiap sepuluh tahun muncul sebuah sosok yang hebat?

Siapa yang membayar tagihannya?

Begitu banyak berita.

Begitu banyak pernyataan.

 

Begitu banyak yang bisa kita lihat betapa banyak perjalanan sebuah bangsa dalam mengukir masa-masa emasnya, terlepas dari siapa rajanya, penguasa, presiden, atau pun lainnya, tetap buruh atau apapun itu namanya, selalu menjadi yang terdepan dalam mengawali sebuah peradaban yang begitu amat masyhur.

 Apakah yang tinggal di istana itu yang membangunnya? Sekali-kali tidak, mereka yang duduk di kursi-kursi bertahtakan permata itu tidak membangun suatu apapun, mereka memerintah dengan tujuan yang benar, tapi sejarah selalu menghapuskan peran siapa yang membangunnya, hanya sedikit yang dengan beraninya mengukir nama-nama mereka dalam buku-buku sejarah yang amat begitu tebal.

Pada mereka yang dengan tenaganya membangun sebuah peradaban yang begitu amat gemilang, masyhur hingga ke negeri-negeri terjauh di ujung dunia ini, sebagai bukti kecintaanya kepada yang berkuasa, walau dengan panas teriknya mereka terbakar, tapi begitu rasa kecintaanya menggelora hingga ke ujung dasar hati mereka, tidak ada satupun yang dapat menghalangi mereka dengan tenaganya untuk membuat peradaban yang begitu amat gemilang.

Sejatinya, bukan karena mereka menggunakan baju seadanya, telapak tangan mereka yang kasar karena terlalu sering digunakan, atau begitu terhinanya mereka karena melakukan pekerjaan yang begitu banyak orang hindari. Namun, bagi mereka-mereka yang mempunyai hati, mereka yang melihat jauh melampaui pemikiran manusia lainnya, mereka para buruh atau apapun namanya adalah pahlawan-pahlawan yang sejatinya melebihi para tuan, puan, raja-raja, penguasa lainnya di dunia ini.

Apakah yang mereka gunakan dengan kendaraan-kendaraan mereka yang teramat mahalnya, hingga tidak semua orang dapat membelinya, atau tas-tas mereka yang begitu fantastis hingga membuat orang pingsan akan harganya. Semua itu, kalau bukan karena buruh atau apapun namanya, maka saya pastikan barang-barang yang mereka gunakan tidak akan tercipta kalau bukan melalui tangan-tangan para pahlawan.

Apapun pekerjaan yang mereka lakukan, selagi itu bisa, pasti ada beribu jalan untuk mereka dapat dengan mudahnya melakukannya, manusia tidak dapat dipisahkan dengan kodratnya sebagai manusia, perjuangan masih panjang untuk menuju kemenangan sejati, maka dari itu, perjuangan yang lalu janganlah diabaikan, bangun kembali, perkuat kembali. Itulah peran bagaimana buruh menuntut haknya.

Saya begitu sangat bangga dilahirkan dari keluarga yang begitu amat mencintai saya, ayah saya seorang pahlawan, yang dengan tenanganya, ia menghidupi kami, dengan gaji yang tak seberapa, kami bisa bertahan hingga detik ini dengan jerih payah ayah begitu juga dengan ibu. Maka dari itu saya tidak henti-hentinya bersyukur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun