Pasalnya, dengan Kurikulum Merdeka guru tidak hanya dituntut membawa arah pembelajaran di kelas menjadi bermakna, efektif, dan menyenangkan saja, tetapi juga didorong untuk terus menggali potensi dirinya agar berkarakter dengan baik.
Urgensi Sinergi Guru dan Orang Tua
Guru bukan hanya berkewajiban mengajarkan materi pembelajaran untuk mencapai kompetensi siswa saja, tetapi juga menggali potensi diri siswa agar berkarakter dengan baik sebagai wujud profil pelajar Pancasila. Seiring itu, guru harus lebih cekatan daripada smartphone; buatan manusia. Artinya guru tidak boleh kehilangan perannya sebagai "orang tua kedua" bagi siswa di sekolah sehingga nilai---nilai moral tumbuh ke dalam jiwa seorang anak.
Selain itu, orang tua di rumah harus bisa bersinergi dengan guru di sekolah. Hubungan timbal balik orang tua dan guru yang baik akan dapat menumbuhkan nilai---nilai yang dimaksud. Berikutnya, orang tua dan guru bisa menciptakan iklim nyaman bagi kehadiran anak di sekolah maupun di rumah. Orang tua tidak sekedar melepas tanggung jawab kepada guru, melainkan memproteksi terus kehadiran anak selama 24 jam dalam kehidupan si anak.
Dalam beberapa kesempatan saya pernah bercakap dengan siswa secara langsung. Apa yang mereka sampaikan sangat menyayat hati. Bagi mereka, ternyata sekolah bukan tempat belajar melainkan tempat melampiaskan amarah.Â
Ada seorang anak yang setiap pagi merokok sebelum datang ke sekolah, ada yang mengganggap rotan dan pukulan sudah jadi makan harian, terbentuknya komunitas gosip via WA grup yang membernya adalah siswa, perundungan yang diawali dengan candaan, dll.
Tentu kondisi karakter anak seperti itu makin mencekam. Diakui atau tidak diakui saat ini terjadi krisis yang sangat nyata dan mengkhawatirkan. Pikiran anak telah dewasa melebihi usia mereka sehingga apa yang mereka diskusikan dan putuskan seakan--- akan menjadi sebuah kebenaran yang mesti juga diakui oleh orang dewasa.
Perilaku ini sangat relevan dengan hasil penelitian penggunaan smartphone pada siswa MTs PUI Kasturi, Cikijing Majalengka tahun 2023 oleh Sopianudin dan Ade Yuli Infiani. Studi itu menunjukkan prevalensi penggunaan smartphone secara berlebihan cukup tinggi.Â
Lebih dari separuh peserta (54,6%) menggunakan smartphone 20 jam per minggu, di luar jam belajar online yang terjadwal dari sekolah. Faktor risiko dari penggunaan smartphone yang berlebihan adalah penggunaan aplikasi media sosial untuk siswa perempuan (OR=3.93) dan aplikasi game online untuk siswa laki-laki (OR=6.71). Data ini bisa menjadi gambaran umum kenapa siswa bisa melakukan sesuatu di luar usia dan masa belajar mereka.
Â
Padahal, pendidikan tidak hanya mendidik para peserta didiknya untuk menjadi manusia yang cerdas, tetapi juga membangun kepribadiannya agar berakhlak mulia.Â
Hal ini senada dengan definisi pendidikan menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2013 mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran sehingga peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan masyarakat, bangsa, dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H