Moderasi  Pendidikan Kurikulum Berubah, Pendidikan Karakter Fokus Utama
Oleh Aris Permana, S.Pd
Guru MTs PUI Kasturi, Cikijing Majalengka, Pengajar Bahasa Indonesia
"Murid baheula bener-bener ngahormat ka guruna, sedengkeun murid ayeuna henteu deui."
Artinya, siswa dulu sangat menghormati gurunya, sedangkan siswa sekarang tidak lagi. Petikan kalimat ini sering kita dengar dalam curhatan setiap guru, yang sedang berdiskusi tentang kondisi karakter siswanya di sekolah.Â
Salah satu target penting dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu Quality Education atau Kualitas Pendidikan. Masalah pendidikan di Indonesia menjadi salah satu yang perlu dibenahi dan memerlukan pembangunan berkelanjutan. Indonesia membutuhkan pembenahan kualitas pendidikan untuk menjadi negara yang maju serta menciptakan" Indonesia Berlian"
Curhatan guru di atas merupakan sebuah realita yang dihadapi oleh guru di era kekiniaan. Abad ini, guru mempunyai PR besar dalam menghadapi problematika tersebut. Guru tidak hanya mengajar melainkan mendidik siswa agar menjadi insan berbudi pekerti luhur kelak.
Tak dapat dipungkiri, kurikulum telah berganti-ganti. Sejak saya menjadi guru tahun 2014 dengan mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ke Kurikulum 13 (Kurikulum Nasional), hingga sekarang muncul lagi penyempurnaan K13 ke KurMer atau Kurikulum Merdeka, saya masih melihat problem yang sama bahwa ruh kurikulum sesungguhnya adalah pendidikan karakter.
Entah gimana caranya, hampir semua guru punya cerita sama, persoalan pendidikan karakter menjadi momok yang paling krusial apalagi saat teknologi diadaptasi ke dalam muatan kurikulum baru. Al hasil, guru tidak saja mengajar, dan mendidik tetapi harus menguasai 3M yaitu mengajar, mendidik, dan menguasai teknologi.
Fokus pada Perbaikan Karakter
Dalam setiap desain kurikulum, titik tekannya yah nilai-nilai karakter, diharapkan output pendidikan karakter terbentuklah pribadi paripurna yang berakhlak mulia. Jadi siswa tidak hanya dibentuk melalui aspek kognitifnya (pengetahuan) namun karakternya bisa terwujud dan membawa dampak positif bagi diri dan lingkungannya.
Kita bisa simak pada KTSP, implementasi pendidikan karakternya melekat pada setiap mata pelajaran yang diajarkan. Sedangkan K13, pemerintah mulai melakukan revolusi karakter bangsa melalui gerakan penguatan pendidikan karakter (PPK).
Hal tersebut juga termaktub dalam arah kebijakan pendidikan karakter di Indonesia secara operasional kebijakan tersebut dirumuskan dalam Peraturan Presiden Nomor 87/2017 tentang "Penguatan Pendidikan Karakter" dengan konten utama pendidikan karakter, terdapat pada Pasal 3 Perpres No.87/2017.
Berdasarkan dari Peraturan Presiden No. 87/2017 tersebut, maka saat ini melalui Kemdikbudristek, program pendidikan karakter mendapatkan penanganan serius serta proporsional. Proyek pendidikan karakter itu bertujuan untuk mencapai Profil Pelajar
Pancasila yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berahlak mulia; berkebhinekaan global; bergotong royong; Mandiri; Bernalar Kritis; dan Kreatif.
Dengan adanya new paradigm perihal pendidikan karakter dalam Kurikulum Merdeka, tentu menjadi petualangan baru bagi guru. Kita tentu percaya Kurikulum Merdeka menjadi alat yang mampu memperkuat karakter para siswa.Â
Pasalnya, dengan Kurikulum Merdeka guru tidak hanya dituntut membawa arah pembelajaran di kelas menjadi bermakna, efektif, dan menyenangkan saja, tetapi juga didorong untuk terus menggali potensi dirinya agar berkarakter dengan baik.
Urgensi Sinergi Guru dan Orang Tua
Guru bukan hanya berkewajiban mengajarkan materi pembelajaran untuk mencapai kompetensi siswa saja, tetapi juga menggali potensi diri siswa agar berkarakter dengan baik sebagai wujud profil pelajar Pancasila. Seiring itu, guru harus lebih cekatan daripada smartphone; buatan manusia. Artinya guru tidak boleh kehilangan perannya sebagai "orang tua kedua" bagi siswa di sekolah sehingga nilai---nilai moral tumbuh ke dalam jiwa seorang anak.
Selain itu, orang tua di rumah harus bisa bersinergi dengan guru di sekolah. Hubungan timbal balik orang tua dan guru yang baik akan dapat menumbuhkan nilai---nilai yang dimaksud. Berikutnya, orang tua dan guru bisa menciptakan iklim nyaman bagi kehadiran anak di sekolah maupun di rumah. Orang tua tidak sekedar melepas tanggung jawab kepada guru, melainkan memproteksi terus kehadiran anak selama 24 jam dalam kehidupan si anak.
Dalam beberapa kesempatan saya pernah bercakap dengan siswa secara langsung. Apa yang mereka sampaikan sangat menyayat hati. Bagi mereka, ternyata sekolah bukan tempat belajar melainkan tempat melampiaskan amarah.Â
Ada seorang anak yang setiap pagi merokok sebelum datang ke sekolah, ada yang mengganggap rotan dan pukulan sudah jadi makan harian, terbentuknya komunitas gosip via WA grup yang membernya adalah siswa, perundungan yang diawali dengan candaan, dll.
Tentu kondisi karakter anak seperti itu makin mencekam. Diakui atau tidak diakui saat ini terjadi krisis yang sangat nyata dan mengkhawatirkan. Pikiran anak telah dewasa melebihi usia mereka sehingga apa yang mereka diskusikan dan putuskan seakan--- akan menjadi sebuah kebenaran yang mesti juga diakui oleh orang dewasa.
Perilaku ini sangat relevan dengan hasil penelitian penggunaan smartphone pada siswa MTs PUI Kasturi, Cikijing Majalengka tahun 2023 oleh Sopianudin dan Ade Yuli Infiani. Studi itu menunjukkan prevalensi penggunaan smartphone secara berlebihan cukup tinggi.Â
Lebih dari separuh peserta (54,6%) menggunakan smartphone 20 jam per minggu, di luar jam belajar online yang terjadwal dari sekolah. Faktor risiko dari penggunaan smartphone yang berlebihan adalah penggunaan aplikasi media sosial untuk siswa perempuan (OR=3.93) dan aplikasi game online untuk siswa laki-laki (OR=6.71). Data ini bisa menjadi gambaran umum kenapa siswa bisa melakukan sesuatu di luar usia dan masa belajar mereka.
Â
Padahal, pendidikan tidak hanya mendidik para peserta didiknya untuk menjadi manusia yang cerdas, tetapi juga membangun kepribadiannya agar berakhlak mulia.Â
Hal ini senada dengan definisi pendidikan menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2013 mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran sehingga peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan masyarakat, bangsa, dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H