Mohon tunggu...
Aris Perdana Panggabean
Aris Perdana Panggabean Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Light of the world, salt of the earth | @arisperd

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Khawatir, Banyak Jalan Menuju Roma

4 Februari 2017   02:39 Diperbarui: 4 Februari 2017   03:36 1469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak jalan menuju Roma. Kalimat tersebut bukan sekadar pepatah lama yang sangat akrab di mulut motivator arus utama, tetapi juga merupakan pepatah filosofis berdaya magis tinggi. Banyak kisah tentang jomblo yang sangat akrab dengan penolakan, namun tetap bergairah berkat pepatah magis ini, lho.

Untuk sampai ke Kota Roma (Italia), ada banyak pilihan jalur yang bisa kita ambil, tergantung darimana kita memulai perjalanan, tentunya. Kalau kita mau lebih iseng, kita bisa temukan fakta yang membuktikan kebenarannya.

Untuk sampai ke Kota Roma melalui jalur udara, kita bisa mendarat di Bandara Rome Ciampino ataupun Bandara Rome Fiumicino. Dua bandara tersebut setidaknya sudah menunjukkan fakta bahwa tak hanya satu jalan menuju Roma.

Selain jalur udara, kita juga bisa sampai di Kota Roma setelah menyusuri sungai Tiber atau melintasi Semenanjung Italia. Dengan demikian sudah amat tepat pepatah yang mengatakan bahwa banyak jalan menuju Roma.

Tak hanya menuju Roma, sejatinya ada banyak pula jalan untuk sampai ke kota-kota lain di dunia. Kenapa harus Roma?

Secara umum pepatah tersebut bisa dimaknai banyaknya cara untuk menggapai tujuan kita. Pemakaian kota Roma disebabkan pepatah ini memang dipopulerkan oleh orang Romawi yang mempunyai kebudayaan dan kehidupan yang sudah lebih maju pada jamannya.

Di samping itu, Kota Roma adalah pusat kebudayaan, ekonomi, perdagangan serta menjadi salah satu kutub kekuatan politik dunia pada jaman itu.

Sebagai pusat, Kota Roma juga memiliki tata ruang kota yang ruas jalannya sangat bercabang dan menuju ke segala arah di sekelilingnya. Bisa dikatakan semua mimpi masyarakat Romawi adalah Kota Roma.

Maka lahirlah pepatah tersebut dan dipahami oleh mayoritas dengan makna yang sama, disamping fakta bahwa banyak pula manusia yang mengejar mimpi di kota lain, Bekasi, misalnya.

Sederhana, bukan?

Sejak memasuki era reformasi, Indonesia seolah terjebak dalam paradoksitas demokrasi yang teramat kompleks. Demokrasi sejatinya memberikan kebebasan tiap individu untuk berekspresi dan berpendapat. Ironinya, masyarakat seolah terdikotomi oleh demokrasi itu sendiri.

Hukum, sebagai legitimasi demokrasi seolah menjadi satu alat multi-tasking, bisa digunakan untuk menyerang dan/atau bertahan. Penggemar Serie-A pasti akrab dengan istilah attaccante/difensore.

Demokrasi, dengan hukum sebagai legitimasinya, membuka banyak jalan bagi manusia untuk menggapai tujuannya merebut kemerdekaan individu dalam bentuk hak dan kebebasan.

Keadaan ini persis dengan kondisi ketika pepatah ‘banyak jalan menuju Roma’ lahir. Di satu sisi, ada kemerdekaan yang diwakili oleh Kota Roma.

Kemerdekaan menjadi tujuan—seluruh—manusia yang membawa kepentingannya, baik di bidang kebudayaan, ekonomi, sosial maupun politik. Di sisi lain, ada hukum sebagai ‘jalan bercabang yang menuju ke segala arah’.

Analogi ini didasari fakta bahwa hukum kerap dijadikan alat meraih kemerdekaan. Selain sebagai alat meraih kemerdekaan, hukum juga sering digunakan sebagai alat proteksi diri dari segala ancaman yang berpotensi menjauhkan manusia dari kemerdekaan individunya. Kondisi yang terakhir adalah realisasi penggunaan hukum untuk bertahan (defense).

Penjabaran berikutnya tentu tidak kembar identik dengan filosofi pepatah.

Dalam praktiknya, kerap kali seseorang menggunakan hukum—baik instrumen maupun mekanismenya—untuk mendekatkan dirinya pada kepentingan yang dijadikan tujuan. Keberadaan pihak lain yang membatasi manusia dengan tujuan kepentingannya, bukanlah hal yang haram untuk disingkirkan. Meski pihak lain tersebut juga menggunakan hukum untuk melawan penyingkiran tersebut.

Sebagai contoh, fenomena gugat-menggugat antara Ahmad Dhani dengan Projo menunjukkan kenyataan bahwa hukum jadi alat menyerang sekaligus bertahan. Sajian drama yang menurut saya agak menggelikan. Tapi tak apa, karena menjadi sesuatu yang menggelikan bukan suatu pelanggaran hukum. Lanjutkan!

Dalam perspektif lebih luas, hukum sebagai alat menyerang dan bertahan dipertontonkan pula secara gamblang oleh suatu rezim kekuasaan. Rezim kekuasaan di suatu negara hukum seperti Indonesia, dapat diidentifikasi komitmen politiknya dengan menganalisa pranata hukum yang eksis di era kekuasaannya.

Di rezim Orde Baru, kita dipertontonkan dengan opera kekuasaan a la Soeharto sebagai sutradara. Opera tersebut menampilkan birokrat pembuat hukum, proses pembuatan hukum, instrumen hukum yang dilahirkan, serta aparatur penegak hukum, yang bukan hanya mencerminkan pranata hukum sebagai landasan bernegara melainkan juga menjadi ‘pagar betis’ kekuasaan.

Hukum dijadikan sebagai alat multi-tasking dalam menopang relasi yang oppresive (menindas) oleh penguasa.

Kondisi sebaliknya dialami oleh rakyat yang diatur oleh hukum. Hampir tak ada celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh rakyat sebagai jalan untuk counter attack dalam menggapai kemerdekaannya. Rezim otoriter kala itu menutup rapat-rapat ruang kritik terhadap kekuasaan dengan konstruksi hukum yang tajam ke bawah.

Maka tak heran, ada banyak manusia yang—pada masa itu—mau menemani Adian Napitupulu dan Amien Rais untuk merebut kemerdekaan lewat mobilisasi massa pada tahun 1998, sekaligus mereformasi hukum serta ketatanegaraan Orde Baru yang menjadi preseden buruk di mata dunia.

Gerakan massa di medio 98 tersebut dengan sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang era Reformasi. Pranata hukum gaya Orde Baru perlahan direkonstruksi. Hak asasi manusia dan demokrasi pun jadi semangat utama dalam membentuk hukum.

Sebagaimana pembahasan di awal, pada era ini Indonesia justru terjebak dalam paradoks tanpa tepi. Membuka ruang-ruang kritik bagi rakyat tidak serta merta mengobati penyakit negara yang sering alpa hingga Projo dan Ahmad Dhani dapat panggung kolaborasi.

Varian kepentingan manusia yang beragam membuat hukum terdegradasi. Hukum yang tadinya dijadikan alat meraih kemerdekaan, kini tak jarang dijadikan alat meraih kepuasaan (sementara) semata. Hingga kemudian bermunculan asumsi bahwa hukum adalah produk politik yang kekuatannya sangat ditentukan oleh konstruksi politik yang melatarbelakangi. Tendensi publik yang menganggap hukum sebagai fasilitas pendukung politik semakin menguat.

“Law is politic, law exist only as an ideology.”

Demikianlah pandangan para penganut Critical Legal Study tentang sifat hukum yang berlaku di tengah masyarakat. Argumentasi bahwa hukum adalah produk politik tentunya tidak berdiri sendiri. Argumentasi tersebut dilahirkan dari fakta penegakan hukum yang kerap tajam ke bawah dan tumpul ke atas, terutama di Indonesia.

Jika reformasi hukum diukur dari produktifitas Program Legislasi Nasional, maka Indonesia termasuk kategori negara yang cukup berhasil. Ada 159 RUU dalam Prolegnas 2015-2019, ada 37 prioritas di tahun 2015 dan meningkat menjadi 40 di tahun selanjutnya. Ruaarbiyasaahh!!

Dalam praktiknya, keadilan dan kemerdekaan masyarakat masih disembunyikan di balik tembok-tembok hukum. Alih-alih selfie di Colosseum Roma, rakyat justru tergerus arus sungai Tiber, bahkan adapula yang berputar-putar di semenanjung Italia.

Blaem blaem sekali, bukan?

Sesekali penguasa juga memberikan ruang hukum bagi rakyat yang rindu kemerdekaan, dengan mendesain satu instrumen hukum agar membuat rakyat merasa berada dalam miniatur kota Roma. Subsidi dan bantuan materi yang dilegitimasi hukum juga dibuat oleh penguasa untuk meninabobokan mayoritas rakyatnya.

Dalam sejarah peradaban Kota Roma, pernah populer ungkapan bernada satire ‘panem et circenses’ (roti dan sirkus), yang menyiratkan bahwa hanya kedua hal inilah yang dibutuhkan untuk memuaskan orang miskin di Roma.

Adakalanya hukum digunakan untuk menindas hingga puas, adakalanya hukum dijadikan obat penenang para tertindas yang mulai beringas menyerang penguasa yang (masih) belum puas. Hukum yang bertujuan menciptakan keteraturan, kini dikendarai secara tidak beraturan oleh orang-orang yang berkuasa membuat aturan.

Kita yang bergantung dan mengikatkan diri pada hukum, seolah tak peduli dengan dekadensi hukum itu sendiri. Seperti ada satu kekuatan tak tersentuh dan tak terlihat namun terasa memaksa kita untuk membayangkan kota Roma dalam rupa taman Firdaus. Semakin larut kita dalam delusi kesempurnaan Kota Roma, semakin kita mbalelo di jalan menuju kesana.

Jangan khawatir, banyak jalan menuju Roma!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun