Hukum, sebagai legitimasi demokrasi seolah menjadi satu alat multi-tasking, bisa digunakan untuk menyerang dan/atau bertahan. Penggemar Serie-A pasti akrab dengan istilah attaccante/difensore.
Demokrasi, dengan hukum sebagai legitimasinya, membuka banyak jalan bagi manusia untuk menggapai tujuannya merebut kemerdekaan individu dalam bentuk hak dan kebebasan.
Keadaan ini persis dengan kondisi ketika pepatah ‘banyak jalan menuju Roma’ lahir. Di satu sisi, ada kemerdekaan yang diwakili oleh Kota Roma.
Kemerdekaan menjadi tujuan—seluruh—manusia yang membawa kepentingannya, baik di bidang kebudayaan, ekonomi, sosial maupun politik. Di sisi lain, ada hukum sebagai ‘jalan bercabang yang menuju ke segala arah’.
Analogi ini didasari fakta bahwa hukum kerap dijadikan alat meraih kemerdekaan. Selain sebagai alat meraih kemerdekaan, hukum juga sering digunakan sebagai alat proteksi diri dari segala ancaman yang berpotensi menjauhkan manusia dari kemerdekaan individunya. Kondisi yang terakhir adalah realisasi penggunaan hukum untuk bertahan (defense).
Penjabaran berikutnya tentu tidak kembar identik dengan filosofi pepatah.
Dalam praktiknya, kerap kali seseorang menggunakan hukum—baik instrumen maupun mekanismenya—untuk mendekatkan dirinya pada kepentingan yang dijadikan tujuan. Keberadaan pihak lain yang membatasi manusia dengan tujuan kepentingannya, bukanlah hal yang haram untuk disingkirkan. Meski pihak lain tersebut juga menggunakan hukum untuk melawan penyingkiran tersebut.
Sebagai contoh, fenomena gugat-menggugat antara Ahmad Dhani dengan Projo menunjukkan kenyataan bahwa hukum jadi alat menyerang sekaligus bertahan. Sajian drama yang menurut saya agak menggelikan. Tapi tak apa, karena menjadi sesuatu yang menggelikan bukan suatu pelanggaran hukum. Lanjutkan!
Dalam perspektif lebih luas, hukum sebagai alat menyerang dan bertahan dipertontonkan pula secara gamblang oleh suatu rezim kekuasaan. Rezim kekuasaan di suatu negara hukum seperti Indonesia, dapat diidentifikasi komitmen politiknya dengan menganalisa pranata hukum yang eksis di era kekuasaannya.
Di rezim Orde Baru, kita dipertontonkan dengan opera kekuasaan a la Soeharto sebagai sutradara. Opera tersebut menampilkan birokrat pembuat hukum, proses pembuatan hukum, instrumen hukum yang dilahirkan, serta aparatur penegak hukum, yang bukan hanya mencerminkan pranata hukum sebagai landasan bernegara melainkan juga menjadi ‘pagar betis’ kekuasaan.
Hukum dijadikan sebagai alat multi-tasking dalam menopang relasi yang oppresive (menindas) oleh penguasa.