“Bapak tidak apa-apa?” tanya si pencari ular setelah memasuki pondok dan menemukan Haji Wardan tengah terbaring tak berdaya.
“Kau seorang pencari ular, bukan?” tanya Haji Wardan. Tangannya lalu menyingsingkan kain sarung. “Bunuh saja ular ini. Dia iblis. Sebelah kakiku telah dipatuknya dan aku tidak peduli jika dia akan mematuk yang sebelah lagi asal sakit hatiku terbalaskan.”
Pencari ular itu tersenyum.
“Tidak ada ular,” katanya.
“Ada! Lihat luka bekas gigitannya di kakiku, racunnya telah menyebar dan beberapa jam lagi mungkin aku akan mati,” Haji Wardan berkeras.
Si pencari ular segera melihat kaki kanan Haji Wardan.
“Bapak tidak akan mati. Ini bukan gigitan ular. Sepertinya hanya luka kecil akibat terantuk akar pohon atau tertusuk duri. Karena terlalu kotor dan berhari-hari tidak diobati, dia menjadi bengkak dan bernanah.”
Haji Wardan memaksakan bangkit dengan susah payah lalu melucuti sarungnya sendiri sehingga auratnya terbuka. Tidak ditemukannya apa-apa, tapi di dalam tempurung kepalanya terdengar suara ular belang itu tertawa terbahak-bahak.
Cigugur, 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H