Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rumah di Dekat Jembatan Bunuh Diri

14 Desember 2015   21:11 Diperbarui: 14 Desember 2015   21:47 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah di Dekat Jembatan Bunuh Diri

Oleh AK Basuki

 

Sejak jadi pengangguran karena perusahaan tempatnya bekerja terpaksa merumahkan pekerja hampir setengahnya, Marsudi tiada lain dan tiada bukan jadi selalu melamun setiap hari. Melamunnya pun bukan melamun biasa, tapi dilakukannya dengan style. Dari awalnya hanya di depan rumah atau paling jauh di pos kamling, kini dia punya tempat favorit: jembatan dekat rumah. Jembatan yang menghubungkan sisi selatan dan utara sungai besar itu sudah dia telusuri dari pinggir terdekat dengan rumahnya sampai ke seberang dan sudah menemukan spot yang paling bagus, yakni di sepertiga bagian utara di mana ada bagian sedikit melengkung dari besi jembatan yang memberikan celah buatnya untuk menyelinap ke sisi luar jembatan dan duduk di beton pondasi yang menonjol. Selain cari inspirasi di sana, lama kelamaan seperti ada kedekatan yang intim antara dia dengan jembatan itu. Juga arus deras yang mengalir di bawahnya.

Betah berjam-jam dia duduk di sana setiap harinya. Spot itu pun seperti sudah diklaim menjadi miliknya hingga beberapa pemancing yang memang sering menggunakannya jadi merasa terganggu, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

“Dari jam berapa di situ, Di?” seorang pemancing bertanya ketika siang itu dia keduluan lagi oleh Marsudi. Jorannya diayun-ayunkan ke bawah, sehingga mata kailnya berkali-kali menyambar dekat kuping Marsudi.

“Baru aja, Lik. Baru sepuluh menit,” jawab Marsudi sambil klepas-klepus merokok. Secangkir kopi dan seplastik lagi sebagai cadangan terkemas dalam keresek belang-belang hitam-putih yang teronggok di depannya.

“Rencananya mau sampai jam berapa?” tanya pemancing itu lagi berharap pengertian dari Marsudi. Kali ini dia mengeluarkan jaring dan sengaja menebarkannya di tubuh Marsudi. Marsudi gelagapan.

“Nggak tahu, Lik. Nggak bawa jam,” dia menjawab sambil tangannya sibuk melepaskan jaring tersebut dari tubuhnya.

“Oo.. Kalau udah beres, Wa saja, ya!”

Kali ini essen minyak ikan campur kroto nemplok di punggung Marsudi.

“Jam aja nggak bawa apa lagi hape.”

Marsudi tetap tabah, hanya mengulurkan tangannya ke belakang untuk memunguti serpihan-serpihan essen itu dari punggungnya.

“BBM? BBM?”

Sekelumit kepala ikan wader nyemplung ke cangkir kopi Marsudi.

“Kan saya sudah bilang nggak bawa hape.”

Mulai emosi, Marsudi menghabiskan sisa kopi dalam cangkirnya sekaligus kepala ikan tadi dalam sekali tenggak lalu menggigit dan mengunyah cangkir tersebut.

“Memangnya blekberi itu hape?” kata orang itu sambil akhirnya ngeloyor pergi.

Marsudi tak peduli. Begitulah tabiatnya. Kalau sudah asyik, ibaratnya ada meteor jatuh dari Jupiter di dekat kakinya juga bakal cuma dikibas kaya ngibas lalat. Dan begitu terus berhari-hari. Semakin meningkat derajatnya pula. Yang tadinya hanya dari pagi sampai siang, meningkat jadi pagi sampai sore, sampai malam, sampai pagi lagi dan akhirnya dia jadi jarang sekali pulang. Mentang-mentang rumahnya dekat, hanya sekitar sepelemparan batu saja dari tempat favoritnya itu sehingga dia semakin tenggelam dalam keasyikannya.

Istrinya tentu saja jadi marah-marah tiap hari, bahkan sering sengaja menyusulnya untuk mengingatkan sehingga tidak jarang pula terjadi pertengkaran di antara mereka. Yang satu ingin suaminya pulang, yang lain ingin istrinya tidak menyuruh suami dari istrinya itu pulang. Rumit. Tapi ujung-ujungnya Marsudi tetap tak peduli. Dan itulah faktor yang membuat istrinya lalu memutuskan untuk meninggalkannya.

“Aku dan anak-anak mau pulang ke rumah Ibu, Pak! Terserah sekarang situ mau ngapain, aku nggak peduli!” berteriak istri Marsudi dari atas pembatas jembatan di suatu sore yang lembab. Rupa-rupanya dia sudah tidak kuat lagi. Bayangkan saja, dalam kondisi terpuruk, suaminya itu malah membiarkan diri semakin terpuruk, bukannya mencoba mencari jalan untuk bangkit. Daripada dia makan hati setiap hari, mending pulang ke rumah orang tuanya dengan membawa anak-anak. Setidaknya dia berharap suaminya itu nanti bisa sadar dan menjemput mereka. Harapan yang akan sia-sia.

“Lha?” cuma itu tanggapan Marsudi dari spot favoritnya. Bengong melihat istrinya sudah menenteng tas besar sambil menggandeng dua anaknya. Lalu hanya sekejap kemudian, mereka sudah lenyap dibawa angkutan umum yang lewat.

“Kapan pulangnya?” bisik Marsudi. Tapi tentu saja tiada jawaban.

*****

Pada suatu malam, ketika Marsudi seperti biasa tengah menikmati kesunyian dan kegelapan di spot favoritnya di jembatan itu, matanya yang terlatih juga dibantu lampu sorot dari kendaraan yang sesekali melewati jembatan tersebut menangkap gerakan seseorang yang mondar-mandir di atas jembatan. Tingkahnya seperti orang bingung. Sebentar-sebentar dia terlihat melongokkan kepalanya melewati pagar pembatas seperti mencari-cari sesuatu. Dengan rasa ingin tahu yang besar, akhirnya Marsudi mendekati orang itu.

“Ada keperluan apa, Mbak, malam-malam begini? Mungkin ada yang bisa saya bantu?” Marsudi menyapa ramah. Dan hatinya semringah begitu mengetahui yang diajaknya bicara itu ternyata perempuan yang cukup ayu wajahnya. Lumayan buat pelipur hatinya yang lara.

Perempuan itu hanya meringis, “Nggak ada keperluan apa-apa, Mas. Saya cuma mau bunuh diri aja kok.”

Blaik, pikir Marsudi. Ngomong mau bunuh diri kok enteng sekali seperti mau beli kacang goreng saja.

“Sebentar.. sebentar, Mbaknya ini kok bercandanya ngeri banget. Seakan-akan saya ini sedang menonton film Susanna.”

“Saya nggak bercanda, Mas.”

“Jadi bener mau bunuh diri?”

“Iya,” jawab perempuan itu cuek sambil melepas sepatu yang dipakainya lalu naik ke besi pembatas jembatan yang tingginya sedada itu. Dan sebelum Marsudi bisa bereaksi, perempuan itu sudah terjun dengan gagah berani. Semua terjadi hanya dalam hitungan detik.

Marsudi terperangah. Bulu kuduknya seakan-akan rontok seketika. Bergegas dia meloncat ke atas besi pembatas jembatan dan melihat ke bawah, mencari-cari siapa tahu saja perempuan itu masih bisa diselamatkan, tapi yang dilihatnya hanya samar-samar aliran sungai yang deras. Dicobanya memanggil-manggil, tapi percuma.

Mati. Dia pasti sudah mati, pikir Marsudi. Biarpun mungkin perempuan itu jago berenang, tapi niatnya memang ingin bunuh diri. Jadi pasti dia memang sudah mati dan tidak ada gunanya lagi Marsudi mencoba menolongnya.

Begitu terguncang dengan peristiwa yang terjadi, Marsudi akhirnya memutuskan untuk pulang. Sesampai di rumah, badannya menggigil.

Berhari-hari Marsudi tak kemana-mana. Ngendon saja di rumahnya yang kosong seperti ABG baru putus sama pacarnya. Tak makan, tak minum, tak juga pergi ke spot favorit di jembatan dekat rumahnya. Kejadian malam itu selalu terbayang-bayang. Seandainya saat itu dia siaga, mungkin perempuan itu bisa ditangkapnya sebelum sempat menerjunkan diri. Dan pikiran-pikiran seperti itu justru membuat dirinya semakin merasa bersalah dari hari ke hari.

Akhirnya sebuah pikiran terbersit, dia memang pernah tidak bisa menyelamatkan satu nyawa, maka akan ditebusnya dengan menyelamatkan banyak nyawa. Untuk menebus kesalahannya, dia akan menjadi relawan, berpatroli di sekitar jembatan itu sesering mungkin untuk mencegah kejadian seperti yang dia alami akan terulang.

Ya, dia akan menjaga jembatan itu. Dengan pikiran itulah hatinya kemudian menjadi tenang.

*****

Lama setelah kejadian malam itu, terjadilah hal yang ditunggu-tunggunya namun sebenarnya tidak diharapkan. Menjelang tengah malam, Marsudi melihat seorang perempuan berjalan mondar-mandir di sisi jalan di atas jembatan. Tingkahnya sangat mencurigakan. Tanggap dan memang tidak ingin kecolongan lagi, Marsudi langsung menghampirinya.

“Heit! Berhenti, Mbak!” seru Marsudi. Perempuan itu cuek saja. Kini dia justru sudah berpegangan di besi pagar pembatas jembatan, kakinya berjinjit untuk melihat sungai yang mengalir deras di bawahnya.

Marsudi langsung memegang bahu perempuan itu kencang-kencang. Yang dipegang terkejut dan langsung membalikkan badan sambil menepis tangan Marsudi.

“Lepaskan saya, Setan!”

Badalah! Kok malah Mbak mengatai saya setan, saya itu mau tanya baik-baik. Saya orang baik, bukan syaithon!” Marsudi sedikit emosi.

Perempuan itu melenguh. Badannya berbalik dan langsung ancang-ancang naik ke pagar pembatas jembatan lagi.

“Heit! Sebentar, Mbak! Jangan terburu napsu begitu. Mari kita bicara,” kata Marsudi. Lalu tanpa canggung lagi, mengangkat tubuh mungil perempuan itu dan membantingnya ke aspal. Perempuan itu mengaduh dan menjerit-jerit histeris. Tangan dan kakinya memukul dan menendang-nendang membabi-buta. Marsudi sampai terpaksa memitingnya.

“Lepasin! Aku mau mati saja, dasar Setan!” begitu katanya berkali-kali dalam pitingan sampai Marsudi bosan.

“Mbaknya yang harus tenang dulu. Kalau sudah tenang, baru saya lepas,” bujuk Marsudi. Entah lelah entah luluh dengan bujukan itu, perempuan itu akhirnya berhenti mengamuk. Tapi dia masih menangis dan menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Marsudi saat lelaki itu melepaskan pitingannya.

“Mbak mau bunuh diri?”

“Iya.”

“Kenapa?”

“Karena kepingin mati,” jawab perempuan itu setelah lama diam mencari alasan.

“Kenapa kepingin mati?”

“Karena sudah bosan hidup.”

“Kenapa bosan hidup?”

“Karena lebih kepingin mati.”

“Kenapa lebih kepingin mati?”

“Karena sudah bosan hdup.”

“Kenapa….” Marsudi menghentikan pertanyaannya, sadar jika percakapan mereka tersebut sangatlah tidak efektif. Mbulet saja seperti kentut hansip.

“Ceritakan saja masalahnya apa sama saya, siapa tahu bisa sedikit meringankan beban. Kalau sehabis itu masih tetap mau bunuh diri ya silakan. Tapi.. ada tapinya, loh.. saya tetap akan mencegah. Intinya, selama ada saya, tidak akan ada yang bunuh diri lagi di tempat ini. Itu sudah menjadi tekad saya!”

Mendengar perkataan Marsudi, agak sedikit ragu-ragu, akhirnya perempuan itu mau bercerita. Klise sekali kisahnya. Tentang keluarga yang berantakan dan hubungan cinta yang kandas. Marsudi mengeluh dalam hati. Jika semua masalah harus diselesaikan dengan bunuh diri, bisa-bisa jembatan dekat rumahnya ini penuh dengan orang yang mau bunuh diri. Juga jembatan-jembatan lainnya di seluruh indonesia.

“Rumah saya dekat jembatan ini, Mbak. Dan sebagai warga sini saya berhak menjaga lingkungan saya to? Bayangkan, Mbak. Kalau jembatan ini akhirnya dipenuhi hantu-hantu penasaran, arwah-arwah gentayangan dari orang-orang yang bunuh diri, siapa yang dirugikan? Saya dan warga sini dong. Kalau nanti jembatan ini jadi terkenal, jadi tempat bunuh diri favorit dan akhirnya ditutup pemerintah, siapa yang rugi? Ya warga sini, karena akses jalan jadi makin sulit kalau tidak ada jembatan. Jadi tolong, di luar masalah Mbak, pikirkan juga akibatnya buat orang lain.”

Marsudi sengaja bicara panjang lebar agar perempuan itu melupakan rencana bunuh dirinya. Karena menurutnya, dorongan untuk bunuh diri itu muncul spontan. Mungkin niat bisa dari jauh-jauh hari, tapi eksekusi biasanya spontan. Jadi, jika tepat ketika eksekusi itu bisa digagalkan, keinginan bunuh diri akan hilang. Karena akal sehat sudah mulai bekerja kembali, berpikir dan menimbang baik buruknya suatu tindakan.

Perempuan itu diam saja, malah menangis sesenggukan. Tapi tak lama kemudian dia berbalik dan berlalu tanpa mengucap sepatah kata pun. Marsudi heran bukan kepalang. Sebegitu mudahnya? Hanya kata-kata seperti itu bisa langsung membuat perempuan putus asa itu membatalkan niatnya?

Sebelum dia bisa memahami semua, terdengar suara merdu yang berkata dengan nada kemayu, “Impas nih ceritanya? Sudah berhasil menyelamatkan orang?”

Disusul sesosok tubuh perempuan yang tiba-tiba sudah berdiri di dekatnya. Marsudi mengenali wajahnya. Itu perempuan yang bunuh diri waktu itu!

“Berarti Mas Marsudi sudah nggak akan penasaran lagi,” kata perempuan itu tersenyum.

Tiba-tiba saja Marsudi seperti dibawa kembali ke kejadian malam itu.

Perempuan itu sudah melepas sepatu lalu menaiki pagar pembatas ketika Marsudi berteriak dan menyambar tubuhnya. Tapi Marsudi sudah terlambat sekian detik dan tangannya yang mencoba bertahan dengan berpegangan pada besi pembatas jembatan justru tak kuat menahan berat badan mereka berdua….

Perlahan Marsudi membalikkan tubuhnya, pandangannya mengarah nanar menuju rumah. Lampunya mati. Atapnya roboh. Kacanya pecah-pecah. Tiada tanda-tanda kehidupan.

Cigugur, 14 Desember 2015

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun