"Mau apa kalian?!" teriakan Nisa menggelegar.
Aris dan Naim yang sedang berjingkat-jingkat mendekati ibunya yang sedang tertidur dengan dada tanpa susu itu terkejut setengah mati. Tidak mereka sangka, ternyata ibu yang tengah dilanda tekanan batin yang berat itu terbangun. Pisau di tangan Aris jatuh berkelontangan di lantai.
"He, buat apa pisau itu?" tanya Nisa menyelidik lalu bangkit dan memungut pisau yang jatuh itu.
Aris dan Naim diam tetapi tubuh mereka bergetar hebat, ketakutan setengah mati.
"Jawab!" bentak Nisa lagi sambil memainkan pisau itu di tangannya.
Dua anak yang menyimpan dendam kepada ibu mereka sendiri itu surut beberapa langkah ke belakang berniat melarikan diri, tapi Nisa sigap dan mendahului mereka dan menutup pintu kamar itu lalu menguncinya.
"Aku ibu kalian, aku tahu apa yang ada di benak kalian. Kalian menganggapku pembawa sial yang membuat keluarga ini berantakan dan aku anggap saja pisau ini akan kalian gunakan untuk melakukan sesuatu yang bisa melepaskan kemarahan kalian pada ibu kalian sendiri. Begitu, kan? Baiklah, kalau itu yang kalian mau, kita lakukan semua bersama-sama."
Selepas berkata itu, Nisa mendekati kedua anaknya yang paling besar itu yang sudah merapatkan tubuh mereka ke pintu kamar yang tertutup. Kegelapan menyelimuti matanya.
*****
Nisa membereskan tubuh terakhir, tubuh Iin anaknya yang ke-tiga, merapat kepada tiga tubuh yang lain. Ditutupinya tubuh-tubuh yang diam dan bersimbah darah itu dengan tikar pandan yang diambilnya dari dipan bambu di ruang tamu. Pikirannya kosong dan tanpa emosi.
Kurang dari satu jam yang lalu, pisau di tangannya telah digunakannya menghabisi anak-anaknya sendiri. Aris dan Naim, dua anak terbesarnya menjadi yang pertama. beberapa tusukan di lambung dan dada mereka membuat anak-anak itu bergelimpangan. Lalu dua anaknya yang lain, Iin dan Suri yang tengah tertidur di dalam kamar itu, menyusul kemudian.
Kini dia hanya termenung manatap hasil kebiadabannya. Dia adalah seorang ibu yang menyayangi anak-anaknya, tapi tekanan berat yang dialaminya membuat dia berubah. Semua itu ditambah pula dengan pikiran bahwa tidak ada lagi kehidupan untuk mereka sehingga dibenarkannya tindakannya itu.
"Maafkan ibu, anak-anakku," bisiknya lirih.
Kemudian dengan gerakan yang pasti, diangkatnya pisau di tangannya sendiri dan menghunjamkannya.
Tepat di jantung setelah menembus dada tanpa susunya.
Cigugur, 10 April 2011
Note: dijamin tamat!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H