"Untuk menguasai ilmu ini, satu-satu kalian harus dibaiat."
"Baiat itu apa, Om?" tanya Dhani.
"Pelantikan. Dalam pelantikan ini kalian akan disumpah untuk setia kepada perguruan yang baru kita dirikan ini, terutama pada Om Aris sebagai guru kalian," kata Om Aris berwibawa, lalu: "kalian bersedia?"
Tanpa pikir panjang, anak-anak itu semua serempak menjawab:
"Bersedia!"
"Bagus!" kata Om Aris gembira. Hatinya girang bukan kepalang. Dia dengan mudah bisa mempunyai murid lagi dan terus terang itu sedikit banyak menghibur duka di hatinya. Dia teringat lagi kepada kampungnya, terlebih lagi kepada murid-muridnya.
"Kalian pilihlah salah satu yang akan dibaiat pertama kali," kata om Aris kemudian. Anak-anak itu berdebat sebentar, jika urut yang paling tua, pasti Dhani duluan. Tapi yang lebih muda pun jelas tidak akan terima. Akhirnya setelah tidak ditemui kesepakatan, mereka memutuskan untuk memilih yang pertama dengan hompimpah. Om Aris hanya mengawasi sambil tersenyum-senyum geli memandangi anak-anak itu.
"Hompimpah alaium gambreng, mbok ijah pake baju rombeng..."
Akhirnya, yang keluar sebagai pemenang dalam hompimpah itu adalah Mamar. Dengan bangga dia mendekat pada Om Aris itu sambil mengelap ingusnya (idung Mamar bolongannya gede jadi boros ingus).
"Mamar..itu namamu, kan? Rumahmu di dekat mesjid?" tanya Om Aris.
Mamar hanya menganguk-angguk saja, seperti tidak sabar untuk dibaiat dan menurutnya Om Aris itu terlalu banyak bicara.