Di jagat perfilman Indonesia nama Joko Anwar mungkin setara dengan Christoper Nolan di Hollywood. Cerdas dalam menggarap berbagai genre dengan hasil yang konsisten bagus. Sutradara asal Medan ini sekarang menggarap superhero yang terinspirasi dari Legenda Ki Ageng Sela dalam menangkap petir yaitu Gundala.
     Ekspektasi saya pasti racikannya akan semenarik film garapannya terdahulu  "Pintu Terlarang" atau "Janji Joni", apalagi superhero yang berangkat dari komik Hasmi ini dibumbui euforia promosi sebagai pendongkrak rasa ingin tahu penonton. Konon film ini akan setara atau minimal satu grade di bawah Marvel Cinematic Universe(MCU) dengan bendera Bumi Langit Cinematic Universe(BCU).
     Belum ada sehari naik layar bioskop, berita tentang Gundala menghiasi semua portal berita. Trigernya dari semua portal Viva yang membawahi Viva.co.id, ANTV,TV one dll kebetulan Viva berada di bawah naungan Bakrie Groub yang bergandengan dengan Screen play dan Mahaka sebagai investor utama film ini. Sebagai penikmat film, harapan saya sangat tinggi apalagi Toronto International Film Festival(TIFF) 2019 merekomendasikan film ini sebagai 10 film yang wajib di tonton mengalahkan Joker. Begitu excitednya saya hingga rela menunggu 2 jam di transmart Semarang agar mendapat posisi duduk yg idel.
     Dimulai dari cast pemainnya yang bukan kaleng-kaleng. Gundala kecil misalnya dimainkan oleh Muzzaki Ramdan. Meski baru 10 tahun namun jam terbangnya sudah lumayan salah satunya dalam Film "Folklore: A Mother`s Love" Sebagai Jodi dan pengisi suara "Nussa" film animasi anak bangsa. Gundala Dewasa dimainkan Abimana Aryasatya yang sudah malang melintang era Lupus dengan memakai nama Robertino. Bagi saya Abimana juga telah terbukti membangkitkan berbagai karakter seperti Dono dalam Warkop Reborn hingga menjadi bapak Gunawan Garnida dalam film "Sabtu Bersama Bapak"
     Layar pun di buka dengan adegan saat Sancaka kecil yang berlari melihat demonstrasi buruh ayahnya. Gambaran lingkungan pabrik sebagai latar yang kotor dan berasap serasa kita berada di Gotham City era Batmannya George Clooney. Dengan alur yang lambat saya bisa memahami setiap scene yang di tampilkan. Meskipun ada saatnya jiwa kekritisanku harus kukunci rapat-rapat terutama saat ayah Sancaka(Rio Dewanto) terbunuh oleh orang tak di kenal. Dalam hati mungkin pembunuhnya akan kita ketahui di sekuelnya seperti dalam Spiderman
     Namun kekritisanku tiba-tiba meledak ketika Sancaka yang melihat ayahnya terbunuh merebut tameng aparat keamanan kemudian memecahkannya. Hal absurd apa ini?, jika ingin menunjukan Sancaka anak istimewa bukankah lebih baik dia meluapkan kemarahan dengan melawan aparat bukan hanya melukai diri sendiri.
     Setahun telah berlalu, ibu Sancaka(Marisa Anita) mencari pekerjaan di kota meninggalkan dia sendiri di rumah. Meskipun bukan budaya Indonesia pada umumnya yang tidak akan meninggalkan anak kecil sendirian namun mampu memberi drama getir, apalagi saat Sancaka memakan makanan sisa di tanah atau saat makan timun sisa di dapur.
     Aku hitung ada 5 adegan Sancaka berlari saat dia masih kecil. Menjadi kuli panggul, berkelahi dengan anak jalanan merupakan sisi kelam menarik yang ingin ditampilkan oleh Joko Anwar. Namun Rasanya kemunculan Awang kurang halus, kalau dalam bahasa Jawa "mak bedunduk" atau tiba-tiba. Mungkin sutradara ingin film ini mengarah seperti cerita Captain America Winter Soldier dimana seorang Steve Roger memiliki teman Bucky Barnes yang akan menjadi Villian atau temannya di masa depan entahlah yang jelas membekas di kepalaku saat Awang mengatakan bahwa yang terpenting mengurusi hidupnya sendiri agar tidak kesusahan. Hal ini paradoks dengan nasehat ayahnya untuk melawan ketidakadilan demi kemanusiaan membuat tokoh utama kita menjadi pribadi yang gamang hingga dewasa.
     Latar tempat Awang dan Sancara yaitu di bekas stasiun kereta menegaskan sebuah lokasi yang antah berantah. Bahkan tujuan Awang untuk ke tenggara juga tidak di ceritakan secara pasti. Jika latarnya di Jakarta mungkin kota Bekasi atau jika sesuai dengan komiknya di Jogjakarta Tenggara pastinya Gunungkidul. Tapi jika ingin di buat sebuah Cinematic Universe barangkali karakter sosial wilayah indonesia sebagai latar tempat berikutnya akan menjadi batu sandungan tersendiri.
     Joko Anwar terlihat jelas ingin mereka ulang cerita Gundala terutama ketika dia di selamatkan oleh orang kaya dan akan diangkat anak. Jembatan penghubung ini mencoba memberi gambaran kenapa Gundala tidak seperti dalam komiknya seorang ilmuan yang mencari serum anti petir, karena dia memilih keluar dari mobil dan menjadi bagian dari kelas sosial yang dekat dengan mayoritas masyarakat kita. Akan tetapi Twist yang dihasilkan terasa "Wagu" karena dialog yang digunakan orang kaya pada Sancaka. Kenapa mereka tiba-tiba datang menyelamatkan dan langsung menawarkan menjadi orang tua angkat serta menyekolahkannya?
     Tanpa harus menjadi ilmuan pun Sancaka dewasa adalah seorang yang serba bisa membetulkan alat listrik dan alat di pabrik dimana dia sebagai security. Sifat pendiam dan tidak ingin ikut campur urusan orang lain juga masih menempel hingga dewasa. Meskipun trauma masa kecilnya masih membekas namun tidak membuatnya memilih jalan yang salah sebagai orang jahat, berbeda dengan Pengkor(dimainkan oleh Bront Pallarae) seorang penjahat yang mengalami hal yang sama dengan Sancaka yaitu trauma masa masa kecil dan ingin membalaskan dendamnya pada masyarakat. Ridwan Bahri(Lukman Sardi) seorang anggota Dewan menceritakan kisah pengkor seperti dia telah mengenalnya cukup lama. Terus terang Bront Palarae mampu menghidupkan peran pengkor secara brilian, cara dia berjalan, hingga berbicara sesuatu yang autentik, bahkan tidak terlihat aksen melayu aktor Malaysia ini.
     Konflik Gundala mengalir seperti gerakan sentripetal. Dari masyarakat kelas bawah melawan preman di pasar hingga menuju elit pemerintah yang saling berebut kepentingan.Tara Basro dan Prit Timoty sebagai Wulan dan Pak Agung mampu membangun efek romantisme serta komedi di film ini. kepolosan dan nasehat pak Agung tentang menolong sesama serasa natural ditambah lagi Wulan meskipun seorang aktifis namun tetap memiliki sisi kewanitaa dalam hubungannya dengan Sancaka. Tedi(adik Wulan) memakai headset tanpa musik juga punya nilai plus karena setelah diganti oleh Sancaka kita akan mendengar lagu Kesunyian Malam  yang memiliki koneksi dengan film Joko Anwar yang lain "Pengabdi Setan"
     Sangat di sayangkan menjelang puncak konflik film ini menjadi membingungkan, banyak karakter dan cameo yang dipaksakan untuk muncul. Hannah Al Rashid Sebagai Cantika, Kelly Tandiono sebagai Mutiara Cempaka, Cecep Arif Rahman Sebagai Swara Batin, Cornelio Sunni Sebagai pelukis, Aming Sugandi sebagai Pemahat, , Tanto Ginanjar sebagai pandai besi dan banyak lagi yang dimunculkan serempak setelah mendapat telepon dari "Bapak" Pengkor( Jika di Pengabdi Setan ada "Ibu" mungkin di film Joko Anwar berikutnya ada Anak, Tante atau Om). Sebagai penonton saya kesulitan mengingat cameo ini karena tidak adanya pengenalan yang jelas dan kemampuan bertarung yang di miliki.
     Keanehan keanehan semakin kentara di ujung film ini. Palang pintu kereta yang ditampilkan berkali kali dalam scene. Bahkan setelah seluruh pengawal Ridwan Bahri(Lukman Sardi) di bunuh di tempat yang sama, masih terdapat scene melewati palang pintu yang sama.
     Serum Amoral yang di sebarkan dalam beras juga tidak masuk akal, moral lebih masuk dalam ranah psikologi atau filsafat karena berasal dari Nilai(Value). Dalam buku Steven Covey "Seven Habbit of Highly effective People" Moral berasal dari Saripati nilai  yang dipelajari manusia sedangkan serum merupakan konsep medis yang berhubungan dengan kesehatan jasmaniah.
     Untunglah pada akhir cerita ini cukup menjanjikan, Pevita Pierce yang muncul dalam kedipan mata sebagai Sri Asih pasti akan menggiring saya ke bioskop tahun 2020. Sujiwo Tejo sebagai Ki Wilawuk yang di bangkitkan oleh Ghazul(Ario Bayu) juga terlihat mengerikan untuk jadi villian masa depan. Meskipun masih terdapat kemustahilan kenapa semua serum bisa hancur bersamaan dengan hancurnya kaca yang mengurung Ki Wilawuk. Mustahil kedua kaca tersebut berasal dari materi yang sama karena Ghazul tidak mampu memecah kaca yang mengurung Ki Wilawuk. Dia menunggu kekuatan Gundala untuk memecah kaca tersebut.
     Pada Akhirnya meskipun terdapat kekurangan, Gundala masih merupakan gebrakan perfilman pasca era milenial. Mungkin kesibukan Joko Anwar yang menggarap berbagai judul film secara bersamaan pada tahun ini memberi celah-celah yang bisa diperbaiki di masa depan. Yang pasti beliau masih merupakan idola saya yang sibuk berkarya bukan hanya kata atau belaga Hollywood.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H