Mohon tunggu...
Aris Kukuh
Aris Kukuh Mohon Tunggu... Guru - Penulis dan pembelajar

Seorang guru yang belajar dari kota kecil Salatiga tetap cinta tanah Blora meski seneng mengembara hingga melintas Samudra

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Dua Garis Biru", Formula Lama dengan Sisipan Edukatif

6 Agustus 2019   17:20 Diperbarui: 6 Agustus 2019   17:35 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai orang yang tinggal di kota kabupaten sangat susah untuk menemukan gedung bioskop namun aku rela menggeber motor selama 3 jam untuk menonton "Dua Garis Biru". 

Bukan hanya karena rekomendasi dari BKKBN sebuah badan zaman Orde Baru yang dijadikan primadona meski sempat mati suri, namun juga adanya viral petisi "Jangan Loloskan Film yang Menjerumuskan! Cegah Dua Garis Biru di Luar Nikah!"  di laman change.org pada April 2019 silam. 

Ada apa dengan film besutan Gina S Noor sang istri dari Salman Risto ini, bukankah dia telah menelurkan berbagai film Box Office? seperti jelangkung 3(2007), Ayat ayat cinta (2008) hingga film biopik Ainun Habibi (2012) yang membawa Reza Rahardian sebagai aktor termahal di Indonesia. Apalagi kali ini proyek sutradara pertama Gina S Noor, tentu dia ingin all out membawa film yang konon naskahnya telah di tuliskan sejak 10 tahun yang lalu.

Pembuka film ini cukup menarik bagaimana dua siswa yang duduk bersebelahan dan menjalin hubungan memiliki kasta IQ yang berbeda, Dara(Zara Jkt 48) menjadi bintang kelas sedangkan Bima(Angga Yunanda) selalu mendapat nilai terendah di kelas. Penggambaran ini cukup smooth dibandingkan film kehamilan remaja yang sejenis, Film MBA(2008) misalnya yang di bintangi Nikita Willy terkesan lebih vulgar atau Drama Korea Jenny Juno(2005) yang langsung hajar di awal tayangan.

Adegan selanjutnya beralih ketika mereka sedang memadu kasih di rumah Dara, kesan teenager dan milenial langsung terlihat. Dara seorang penggemar drama Korea fanatik mendandani Bima dengan lipstik untuk di unggah ke instagram. Disini agak aneh karena premis yang di ciptakan terkesan instan. 

Pada keseluruhan adegan, rumah Dara tidak pernah sepi dari ayah (Dwi Sasono), ibu(Lulu Tobing) ataupun adiknya(Maisha Kanna) sehingga mereka melakukan hal yang kebablasan, hanya pada scene ini mereka semua hilang, kemana mereka?

Hubungan keduanya sempat renggang karena kecanggungan akibat tindakan tersebut namun semua terobati dengan tindakan romantis Bima menutupi tubuh Dara agar tidak terkena sinar matahari saat pelajaran olahraga. Sebuah romantisme receh yang digemari anak muda ala Dilanisme.

Alur cerita yang dibangun dalam film ini terkesan cepat. Dara mulai muntah-muntah karena makan kerang kemudian dia mulai sadar bahwa siklus menstruasinya tidak normal. Mereka mulai panik dan kebingungan mencari test pack, beli sendiri mereka malu akhirnya sarana ojek online menjadi solusi. 

Dan seperti kita duga Dara hamil, reaksi yang ditunjukan Bima saat mengetahui Dara hamil sebenarnya sangat representatif perasaan yang bercampur aduk, akan tetapi aku kurang menemukan rasa sedih dari Dara padahal dalam hal ini dia jelas yang paling akan di rugikan karena cita-citanya untuk ke Korea akan tertunda

Film ini sebenarnya penuh metafora yang cerdas. Misalkan saat Dara membayangkan ukuran janinnya sebesar buah stroberi. Kemudian mereka sempat ingin menggugurkan kandungannya, gambaran jus stroberi yang hancur di pedagang kaki lima memberi kita alasan mengapa mereka menghentikan niatan tersebut. 

Metafora lain yang dipilih adalah ondel-ondel yang hadir di beberapa adegan, dalam budaya Betawi ondel-ondel merupakan simbol kesucian seorang wanita. Awalnya saat ondel-ondel diusir dari lapak penjual kerang menggambarkan kesucian Dara telah hilang saat dia hamil, kemudian saat Bima meminjam uang ke ondel-ondel tanpa kata seperti menunjukan kepasrahan atas apa yang dipilih Bima dan Dara.

Ikan busuk yang ditutupi pasti akan tercium juga, sekolah akhirnya tahu Dara telah hamil. Adegan di UKS aku rasa merupakan scene terbaik dari keseluruhan film ini karena semua perwatakan dari kedua orang tua Dara dan Bima saat mengetahui Dara hamil yang diperankan oleh Cut Mini dan Lulu Tobing terlihat bagai ledakan gunung Krakatau. angle kamera yang berubah ubah memutar kemudian kembali ke awal mengingatkan pada film aksi The Night Comes For Us Joe Taslimatau The Raid versi Drama. 

Perihal kepala sekolah yang terkesan plin-plan karena menyuruh Dara mundur sedangkan Bima dibiarkan bersekolah merupakan penggambaran bagaimana budaya Patriarki menempatkan perempuan sebagai korban yang bertubi-tubi.

Singkat cerita ibu Dara tidak bisa menerima Dara dan membiarkan dia dibawa keluarga Bima. Aku mengerutkan dahi ketika tahu ternyata Dara belum pernah sama sekali ke rumah Bima. Sungguh bertentangan bukan dengan cerita awal ketika mereka terbiasa berdua di rumah Dara, apalagi rumah Bima digambarkan di dalam gang sempit naik turun tangga, dimana dia harus berjalan kaki disertai hiruk pikuk kampung kumuh, sedangkan di rumah Bima terdapat motor Vespa bapaknya maupun motor Bima, dia lewat mana saat pulang ya?

Di rumah Bima terdapat adegan Bima telah Tidur satu tempat dengan Dara. Samping kiriku berceletuk "Weh wes turu bareng"(sudah tidur bersama). Disini nilai yang ditunjukan kurang sesuai. Ayah Bima yang sangat Agamis namun mengijinkan anaknya tidur dengan orang yang belum dinikahi. Apalagi kakak Bima yang dimainkan Rachel Amanda sebagai Dewi menyalahkan Bima karena tidak memakai pengaman saat berhubungan badan, memberi kesan dia pelaku seks bebas.

Setelah menikah mereka memeriksakan kandungan ke dokter. Aku agak curiga dengan kalimat yang diucapkan dokter bahwa wanita yang perutnya sering kram saat hamil dilarang berhubungan badan. Sampai keponya akupun menanyakan ke istri yang merupakan dokter. Kondisi yang di sampaikan jika usia kandungan masih muda namun jika usia kandungan lebih dari 7 bulan tidak seketat apa yang disampaikan di film

Konflik yang diciptakan dalam film ini cukup nyaman diikuti. Saat Dara berencana kuliah di Korea hingga anak jika telah lahir harus diadopsi tantenya, meskipun ada beberapa dialog yang mengganjal misalnya adik Dara yang memanggil "Elo" pada Dara seperti gaul yang dipaksakan. Nama besar Cut Mini bermain seperti harmoni di film ini, emosi yang ditampilkan oleh pemeran ibu Halimah dalam Laskar Pelangi ini mampu mempresentasikan kemarahan tanpa berlebihan seperti saat dia membanting ulekan karena tak ingin anak Bima diadopsi.

Film ini berhasil menguras derai air mata kanak-kiri ku di bioskop. Ibu-ibu maupun remaja disentuh naluri alamiahnya tentang kisah orang tua mendidik anak maupun rasa sayang pada buah hati dalam kandungan.Momen ketika Dara tidur dengan ibunya kemudian dinyanyikan lagu "Jikalau" dari Naif dengan sepenggal liriknya "Jikalau telah datang waktu yang dinanti kupasti bahagiakan dirimu seorang, kuharap dikau sabar menunggu". Lirik sederhana yang sarat makna selaras dengan BKKBN untuk menunda pernikahan hingga waktu yang tepat.

Hal paling janggal dalam film ini yaitu tidak adanya plot sama sekali Bima maupun Dara mengikuti ujian nasional dan lulus. secara tiba-tiba tanpa susah payah belajar, mengikuti ujian dan kerumitannya mereka lulus kemudian dengan santainya Dara diterima kuliah ke Korea.

Kejanggalan lain di tampilkan dari ekspresi Dara saat keluar dari rumah sakit tidak ada kesan dia telah menjalani 2 operasi sekaligus padahal biasanya orang  setelah melahirkan masih merasakan kesakitan, apalagi ditambah operasi pengangkatan rahim. Dengan santainya dia berdiri, memeluk bahkan dia seperti remaja yang ingin main PUBG saat masuk ke mobilnya

 Akhirnya pada epilog sebelum pungkasan layar, Bima ditinggalkan di rumah sakit dengan bayinya sedangkan Dara berangkat ke Korea. Beberapa penonton kecewa karena endingnya dibuat menggantung. Meski tak mematahkan hatiku seperti Ending Lala Land(2016) namun formula yang dipakai mirip AADC 1 kepergian dengan harapan, tak heran mengingat konsep film ini ditulis lebih dari 10 tahun lalu saat AADC masih menjadi ikon keberhasilan film remaja sewaktu genre lain masih mencari bentuk terbaiknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun