“Wahai anakku, orang yang cerdas itu tetap berbuat baik di saat orang berbuat jahat kepadanya . Ia menggunakan hartanya untuk kebaikan dan tidak menafkahkan harfta yang bukan miliknya.”
“Di dunia, ia ibarat perantau. Tujuannya adalah kehidupan kelak. Ia selalu mengajak pada kebaikan dan mengajarkannya. Ia mencegah kejahatan dan menjauhinya. Batinnya sesuai dengan lahirnya. Ucapannya selaras dengan perbuatannya.”
Definisi Kecerdasan
Nasehat Luqman al-Hakim kepada anaknya tentang kecerdasan itu bisa diringkas menjadi sebuah definisi tentang orang yang cerdas, yakni orang yang memiliki sifat kasih sayang, efisien, efektif(berdaya guna/bermanfaat), menjaga kehormatan, konsisten, sabar, empati (peduli) jujur, apresiatif, berilmu pengetahuan, berketerampilan, adil, benar, komitmen, proaktif, tangguh, amanah, visioner, dan menjadi pelopor kebaikan.
Bayangkan jika anak kita atau kita sendiri, telah, memenuhi syarat kecerdasan sebagaimana dikemukakan Luqman al-Hakim, akankah anak kita, atau kita, mengalami kegagalan? Tidak! Insya Allah kita akan selamat, sukses, bahagia, bahkan dapat hidup dalam kemuliaan selama-lamanya.
Sekarang coba bandingkan nilai kecerdasan yang dikemukakan oleh Luqman al-Hakim dengan teori kecerdasan yang dikemukakan para tokoh sekuler di atas. Satu hal yang pasti, teori sekuler tak pernah menyentuh dimensi transendental (ukhrawi).
Kalaupun berbicara tentang spirtualitas nilainya sangat dangkal dan terlalu rasional. Padahal dimensi ini tak bisa disentuh dengan sekadar ilmu pengetahuan dan rasio semata. Di sinilah diperlukan petunjuk wahyu.
Dalam kaitan ini, maka definisi kecerdasan yang dikemukakan oelh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan definisi yang paling akurat, paling benar, dan paling komprehensif.
Dalam sebuah Hadits beliau bersabda tentang kecerdasan, “Orang yang cerdas adalah orang yang mengusai dirinya dan berbuat untuk keselamatan sesudah mati. Sedangkan orang yang bodoh adalah yang memperturutkan hawa nafsunya dan mengharapkan kepada Allah harapan-harapan kosong.” (Riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Umar).
Al-Ghazali mengelaborasi lebih lanjut konsep kecerdasan ini. Ia berkata, “Orang yang cerdas adalah orang yang mampu memahami Tuhannya, memahami dirinya, memahami dunianya, dan memahami akhiratnya.”
Orang yang bisa memiliki empat kemampuan tersebut dijamin sukses dan bahagia di dunia dan akhirat.