Akhir pekan kemarin, Minggu (08/09/2024), penulis mengikuti Fun Run Sempena (memperingati) Hari Malaysia 2024 di Kota Tawau yang diselenggarakan oleh Kelab Belia Kampung Tanjung Batu (KBKTB). Dalam lomba lari sepanjang 7 km yang diikuti sekitar 900 orang peserta ini dan antara lain melewati pinggiran kampung, penulis menjumpai nama sebuah gerai (warung) yang menurut penulis cukup menarik yaitu gerai "Ok Bah Kalau Kau".
Menarik karena adanya penggunaan kata "Bah" yang mengingatkan akan kata yang sering diucapkan orang Medan, terlebih suku Batak, di akhir kalimat, seperti "Bah" pada kalimat "Enak kali, bah, makanan mamakku ini," atau "Bah" pada kata "Horas Bah!".
Apabila pada percakapan orang Medan, kata "Bah", salah satu fungsinya adalah untuk menambah penekanan, apakah demikian halnya penggunaan kata "Bah" dalam Bahasa Melayu?.
Menurut Adam Chok, seorang pensiunan pegawai Kementerian Pendidikan Malaysia di Tawau yang memiliki latar belakang pendidikan jurusan Bahasa Melayu yang penulis jumpai usai kegiatan Fun Run, penggunaan tambahan kata "Bah" di setiap kata dalam Bahasa Melayu di Sabah atau yang dikenal sebagai "Bahasa Melayu Sabahan" mempunyai fungsi sebagai kata penyudah untuk menguatkan ekspresi kata atau mengiyakan, contoh "Iya bah" yang artinya "Iyalah".
"Jadi kalau kata "Ok Bah Kalau Kau" yang tertulis di sebuah gerai, bisa berarti "Baiklah kalau memang (itu) kamu?", tanya saya sambil menunjukkan foto gerai yang tadi penulis sempat saksikan.
"Kalau kata "Kupi-kupi Dulu Bah", berarti "minum kopi dulu deh," tanya penulis lagi sambil menunjukkan foto yang lain.
"Keduanya benar bah," jawab Chok sambil tertawa.
Chok kemudian menjelaskan bahwa Bahasa Melayu Sabahan adalah Bahasa yang sedikit berbeda dengan Bahasa Melayu Piawai atau Bahasa Melayu Standar, salah satunya adanya penambahan kata "Bah" diakhir sebuah kata atau kalimat.
Selain memiliki makna sebagai penekanan, kata tambah "Bah" digunakan untuk memulai percakapan dan biasanya digunakan pada permulaan kata. Sebagai contoh, kalau ada seseorang yang berkata kepada kita "Bah, kamu pigi lah dulu", maka jawaban yang semestinya adalah "Kamu pergilah dulu.
Selanjutnya, penggunaan kata tambahan "Bah" memberi maksud sudah, atau penghabis kata. Pengganti dalam bahasa Melayu adalah "Baiklah", atau "Begitulah". Contoh, dalam Bahasa Melayu Sabah "Upin, nanti ko pigi beliberas di kadai sana." Upin menjawab, "Bah", yang artinya dalam Bahasa Melayu Piawai "Upin, nanti pergi beli beras di kedai." Upin menjawab, "Baiklah".
Sementara itu menurut Andi Budimansyah, praktisi IT dan teman SMA penulis yang orang tuanya berasal dari Bugis, kata "bah" atau "ba", sering digunakan masyarakat Bugis di Kabupaten Wajo dengan Ibukota Sengkang sentra kain sutera di Sulsel. Menurutnya terdapat dua arti Baa atau Bah yaitu: pertama, yang berarti setuju dengan pernyataan lawan bicara, misal, "bunga ini bagus yah?", tanya Anto, "baaa (atau bah) jawab Anti. Kedua, Baa atau Bah dapat juga berarti "iya" seperti "nanti berangkat bareng yah" kata Anto. "Baa" jawab Anti
Selain di Wajo, ternyata pemakaian kata "Bah" juga terdapat pada dialek Sorowako. Misalnya saja saat sedang berada di depan komputer dan kemudian ada orang yang menghalangi pandangannya, maka orang tersebut akan berseru, “Awasko bah!” Arti khususnya sih tak ada. Tapi kalau tak diucapkan, rasanya ada yang kurang.
Selain ada penambahan kata "Bah", ciri khas Bahasa Melayu Sabahan yang lain adalah adanya pengucapan "ng" bagi setiap kata yang berakhiran N. Sebagai contoh "ikan" diucapkan "ikang".
Adanya kekhasan dalam pengucapan kata yang berakhiran N menjadi "ng", sebenarnya tidak terlepas dari keberadaan masyarakat keturunan Bugis yang cukup besar jumlahnya di Tawau dan membuat Bahasa Bugis dan dialeknya sangat kental di Sabah.
Besarnya pengaruh Bahasa Bugis terhadap Bahasa Melayu Sabahan membuat orang-orang Tawau yang bekunjung ke Semenanjung Malaysia kerap dikira sebagai orang Indonesia.
"Benar bah, setiap kali orang Tawau berkunjung ke Semenanjung Malaysia, maka yang bersangkutan sering dikira sebagai orang Indonesia," ujar Chok.
Menanggapi penjelasan Chok, penulis sependapat bahwa bahasa tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya. Ketika budaya masuk ke suatu tempat, maka berbagai bahasa setempat pun muncul sebagai bahasa sehari-hari atau bahasa gaul, baik dalam hal penggunaan kata ataupun dialeknya.
"Basically, it's normal apabila kebudayaan yang sudah mendarah daging sangat berpengaruh pada bahasa seseorang," ujar anak Jaksel. (AHU)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H