Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru di Ladang Sawit Malaysia, Local Heroes yang Tidak Boleh Terlupakan

22 Agustus 2024   05:40 Diperbarui: 22 Agustus 2024   09:22 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak PMI di CLC, Sumber Gambar: dokpri Aris Heru Utomo

Sudah sekitar 5 lima minggu saya bertugas di Tawau, Sabah, Malaysia, sebuah kota di negara bagian Sabah, Malaysia. Tawau kini merupakan kota ketiga terbesar di Sabah setelah Kota Kinabalu dan Sandakan.

Selama itu pula saya sudah beberapa kali mengunjungi Community Learning Center (CLC) yang lokasinya berada di tengah perkebunan sawit, jauh dari keramaian kota.

CLC adalah suatu tempat kegiatan belajar yang dibentuk sesuai kesepakatan (MOU) antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia di tahun 2011, guna memberikan akses pendidikan kepada anak-anak pekerja migran Indonesia (PMI) yang bekerja di perkebunan/peladangan sawit di Malaysia.

Saya antara lain pernah mengunjungi sebuah CLC di Kinabatangan, Lahad Datu, yang untuk mencapai kesana dibutuhkan waktu sekitar empat jam perjalanan dari Bandar Tawau.

Pertama, saya mesti menyusuri jalan nasional sepanjang sekitar 153 km dari Bandar Tawau ke Lahad Datu. Jarak tersebut dapat ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam 45 menit di atas jalan raya beraspal yang relatif mulus namun agak berkelok-kelok dan naik turun.

Dari Lahad Datu, perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri jalan tanah naik turun ke lokasi perkebunan sawit di Pintasan 2 Kinabatangan. Jalan tanah yang dikelilingi pohon-pohon sawit tersebut ditempuh selama sekitar satu setengah jam.

Beruntung hari itu sangat cerah sehingga tidak becek. Hanya saja, debu-debu berterbangan ketika kendaraan yang kami tumpangi melaju di atasnya.

Setiba di lokasi, tampaklah sebuah bangunan "sekolah" berlantai dan berdinding papan dengan beberapa ruang kelas dan sebuah ruang guru. 

Menurut Senior Plantation Control Syarikat Kwantas Plantation, sebuah perusahaan perkebunan yang mengelola Kawasan Pintasan 2 Kinabatangan tersebut, Sri Renganathan S Muthiah, bangunan tersebut merupakan bangunan sementara, yang nantinya akan digantikan oleh sebuah bangunan permanen yang saat ini tengah dibangun dan direncanakan selesai pada akhir tahun 2024 ini.

Di CLC di Kinabatangan ini sendiri terdapat sekitar 30-50 orang pelajar yang diajar seorang guru bina dan dua orang guru pamong.

Guru bina adalah guru Indonesia yang direkrut dan dibiayai Kemendikbudristek RI dengan tugas mengajar di berbagai CLC yang tersebar di Sabah. 

Sedangkan guru pamong adalah tenaga pengajar (Indonesia ataupun Malaysia) yang direkrut dan dibiayai oleh perusahaan perkebunan untuk membantu guru bina.

Guru-guru ini memiliki tugas mengajar mata pelajaran sesuai dengan kurikulum Indonesia, seperti Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

Saat berkunjung ke berbagai CLC, saya berkesempatan mengenal dan berbincang dengan beberapa guru bina dan pamong.

Dari perbincangan yang dilakukan dengan para guru dan menyaksikan sendiri di lapangan, saya mendapatkan pemahaman tentang tugas-tugas dan perjuangan para guru dalam mengelola dan memberikan pelajaran kepada anak-anak PMI yang belajar di CLC.

"Saya mengajar anak-anak PMI yang kebetulan memiliki nasib kurang beruntung, karena mereka harus tinggal di dalam ladang sawit. Kehidupan mereka pun serba terbatas, seperti listrik terkadang hanya hidup saat malam hari, ketersediaan air yang mengandalkan turunnya hujan, akses jalan dan infrastruktur yang tidak layak serta sulitnya sinyal telepon seluler," ujar seorang guru, sebut saja namanya Eko.

"Akan tetapi meskipun hidup di tengah keterbatasan, semangat anak-anak di sana untuk belajar sangatlah besar, dan itulah yang menjadi salah satu alasan saya mau bertahan di pedalaman perkebunan sawit di Sabah, Malaysia." ujarnya lagi

Selain keterbatasan akses dan infrastruktur belajar, banyak tantangan lain yang mesti dihadapi para guru di suatu CLC, antara lain banyak anak-anak usia sekolah yang malah belum pernah bersekolah sama sekali ketika suatu CLC didirikan.

"Meski usia seorang anak sudah sekitar 12 tahun, usia anak sekolah menengah pertama (SMP), namun tidak sedikit yang belum bisa membaca, bahkan untuk bertutur kata pun bercampur antara Indonesia, Melayu Sabah dan logat Bugis sesuai dengan asal orang tuanya yang mayoritas perantau dari Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur," ujar seorang guru bina lainnya.

"Disini kami kemudian memprioritaskan untuk pengajaran membaca dan berbahasa Indonesia kepada anak-anak tersebut. Setelah itu barulah memberikan pelajaran yang dibutuhkan. Tujuannya agar mereka bisa mengikuti ujian Kejar Paket A sehingga bisa mendapatkan ijazah setara lulusan sekolah dasar," tambahnya

Tantangan lainnya adalah bagaimana memberikan pemahaman sejarah Indonesia, wawasan kebangsaan dan ideologi negara yaitu Pancasila.

Hal ini perlu dilakukan karena anak-anak Indonesia di Sabah, mayoritas adalah anak-anak yang lahir, besar dan tinggal di negara orang yaitu Malaysia. 

Tanpa pengenalan akan sejarah Indonesia dan pengajaran wawasan kebangsaan serta Pancasila, maka sangat dikhawatirkan mereka akan lupa akan keindonesiannya, lupa akan bangsa dan negara Indonesia.

Untuk itu, tugas pertama yang dilakukan para guru adalah mengajarkan kepada anak-anak Indonesia tentang bagaimana berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain itu diajarkan mengenai sejarah Indonesia dan wawasan kebangsaan dan Pancasila.

Guru bina seperti Eko hanyalah satu dari ratusan guru bina yang mengajar di berbagai CLC di tengah ladang sawit. 

Sebagai guru bina, yang terkadang hanya satu-satunya di sebuah CLC, tugasnya bukan hanya mengajar dan mengerjakan laporan secara mandiri, tetapi juga melakukan kegiatan lainnya.

Beberapa tugas lain yang kerap dilakukan guru antara lain adalah ikut membantu melakukan pendataan terhadap status anak-anak Indonesia yang berada di CLC, misalnya membantu pencatatan data kenal lahirnya.

Jika anak-anak tersebut ternyata belum memiliki surat bukti pencatatan kelahiran (SBPK), maka guru akan membantu menyampaikan data anak-anak tersebut ke kantor Perwakilan RI yang ada di Tawau ataupun Kota Kinabalu. Nanti Perwakilan RI akan memverifikasi data-data yang masuk dan kemudian membuatkan SBPK secara gratis.

Setelah SBPK di dapat, tugas guru belum selesai karena mereka harus mendaftarkan sang anak yang belajar di CLC ke sistem pendidikan di Kemendikbudristek.

Kegiatan lain yang juga dilakukan oleh guru bina adalah mencatat data WNI yang ingin melakukan pencatatan pernikahannya.

Hal ini dilakukan karena banyak WNI yang meskipun sudah menikah, secara agama, namun belum disahkan secara resmi oleh Kantor Urusan Agama (KUA) sehingga belum memiliki buku nikah.

Setelah menerima laporan dari guru yang dimintakan bantuan, Perwakilan RI kemudian akan membantu melakukan pengesahan dan pencatatan status pernikahan sepasang WNI melalui sidang isbat nikah, yaitu sidang yang dilakukan untuk mendapatkan kepastian hukum suatu pernikahan dari pengadilan agama. 

Setelah sidang isbat, maka status perkawinan seseorang diakui secara hukum negara dan berhak mendapatkan Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pejabat KUA yang didatangkan oleh Perwakilan RI di Tawau ataupun Kota Kinabalu.

Tidak cukup sampai disitu, ketika berlangsung Pemilu beberapa waktu lalu, tugas guru juga bertambah dengan menjadi petugas yang mendata para calon pemilih di wilayah tempatnya mengajar.

Dengan tugas sebanyak itu, saya melihat bahwa para guru yang mengajar di berbagai kawasan ladang sawit adalah para pahlawan yang sangat berjasa. 

Mereka bukan hanya mengajar di CLC, tetapi juga membantu tugas-tugas lain yang diamanahkan kepadanya seperti melakukan pendataan dan pendaftaran sekolah.

Mereka adalah para pahlawan setempat atau local heroes di pelosok ladang sawit, penyampai pesan nilai-nilai keindonesian dan wawasan Pancasila, Sejarah dan Bahasa Indonesia dan beragam pengetahuan lain kepada anak-anak PMI di ladang sawit. 

Tanpa peran serta mereka, maka upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya bagi anak-anak PMI di Malaysia, tidak akan berhasil. Bisa jadi akan banyak anak-anak Indonesia yang lahir, tumbuh dan besar di Malaysia yang tidak bisa memahami keindonesiaannya.

Tanpa guru yang bersedia mengajar di ladang sawit atau tempat-tempat lainnya, maka akan banyak anak-anak PMI yang tidak dapat memperoleh pendidikan yang layak

Berkat para local heroes ini, maka pemerintah bisa menunjukkan bahwa negara hadir membuka akses pendidikan kepada anak-anak PMI di Sabah, Malaysia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun