Tahu kan Bundaran Hotel Indonesia (BHI), sebuah bundaran jalan raya di Jakarta dimana di tengahnya terdapat Patung Selamat Datang?Â
BHI dibangun pada era Presiden Soekarno sebagai bagian dari proyek pembangunan besar-besaran untuk mempersiapkan Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games ke-4 pada tahun 1962.Â
Proyek BHI termasuk pembangunan berbagai infrastruktur penting, seperti Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman, yang menghubungkan BHI dengan bagian lain kota.Â
Nama BHI diambil dari Hotel Indonesia yang terletak di sebelah bundaran ini. Hotel internasional ini dibuka tahun 1962 sebagai simbol modernisasi dan keterbukaan Indonesia terhadap dunia internasional pada saat itu.Â
Menariknya, BHI bukanlah satu-satunya bundaran yang dibangun di masa Soekarno karena masih ada dua bundaran lain di jalur yang sama yaitu Bundaran Pemuda di Jalan Sisingamangaraja dan Bundaran Air Mancur depan Bank Indonesia. Tapi dibandingkan keduanya, BHI merupakan bundaran yang terbesar.Â
Pertanyaannya kemudian, kenapa harus dibuat bundaran di sepanjang jalan Sisingamangaraja, Jenderal Sudirman, Thamrin hingga Medan Merdeka Barat, sehingga semua kendaraan yang melintas harus berputar?Â
Kan bisa dibuat jalan lurus dengan perempatan di setiap persimpangan, seperti persimpangan di dekat Sarinah?Â
Tidak ada jawaban resmi. Tapi dari pengalaman di berbagai belahan dunia lainnya, pembuatan bundaran dimaksudkan agar pengendara mobil berputar dan mengurangi kecepatannya, tanpa harus berhenti namun tetap memberi kesempatan bagi kendaraan dari arah berbeda melintas di jalan yang sama.Â
Kalau menggunakan perempatan (dan lampu lintas) maka akan ada kendaraan yang harus berhenti dan ada kendaraan yang berjalan di saat bersamaan.Â
Melihat bundaran jalan raya yang terdapat di hampir setiap kota besar, Prof Nadirsyah Hosen, akademisi Indonesia yang mengajar di Fakultas Hukum Universitas Monash, membuat pertanyaan yang sama kepada Allah: mengapa hidup kami dibuat seolah berjalan berputar, padahal kami selalu memohon diberi petunjuk menuju jalan yang lurus.Â
Menjawab pertanyaannya sendiri, Prof Hosen menjelaskan bahwa boleh jadi agar kita pun mengurangi kecepatan kita bekerja agar bisa punya waktu menikmati suasana di sekitar kita, memberi kesempatan orang lain pun turut menikmati hidup ini, dan agar hidup ini terasa lebih dinamis dan indah dengan menempuh jalan berputar.Â
Kalau semua hal yang kita inginkan langsung diberi, dan kalau hidup ini cuma lurus dari satu titik lahir menuju titik kematian saja, betapa membosankannya hidup ini, bukan?Â
Karena itu Prof Hosen menyampaikan saran agar kita menikmati jalan kita yang kerap kali berputar sebelum kelak berjalan lurus menujuNya.(AHU)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H