Munggah sendiri berasal dari kata dalam bahasa Jawa artinya naik. Sehingga munggahan dapat dimaknai sebagai naik ke bulan suci yang derajatnya lebih tinggi.
Aktivitas munggahan umumnya dilakukan dengan berkumpul bersama keluarga dan kerabat, makan bersama, saling bermaafan, dan berdoa bersama. Terkait makanan yang disantap bersama, tidak ada aturan khusus mengenai menu makan bersama tersebut. Namun makanan yang biasanya disantap adalah nasi kuning atau nasi liwet lengkap dengan lauk pauknya seperti ayam bakar, ikan bakar, tahu dan tempe serta sambal.
Sementara di Sumatera Utara yang mayoritas masyarakatnya berasal dari Suku Batak, terdapat tradisi "mangupa upa" yaitu tradisi syukuran yang biasanya dilakukan masyarakat Batak. Tradisi tersebut dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur saat pernikahan, kelahiran, kenaikan pangkat, menempati rumah baru dan lain sebagainya. Layaknya di Pulau Jawa tradisi mangupa upa juga dilengkapi dengan sajian makan gratis.
Adapun di Kalimantan, terdapat istilah "warung gratis atau dapur gratis" yang dilakukan  masyarakat Banjar Kalimantan Selatan. Tradisi ini biasanya dilaksanakan bersamaan dengan haul tokoh kharismatik Banjar yaitu Alm. Guru Zaini (dikenal sebagai Guru Sekumpul Martapura), dimana masyarakat secara gotong royong menyiapkan jamuan makanan untuk para tamu yang hadir di acara tersebut.
Dari beberapa contoh tradisi makan gratis di masyarakat Indonesia seperti tersebut di atas, tampak bahwa tradisi pemberian makan gratis biasanya melibatkan berbagai komponen masyarakat secara bersama dan gotong royong. Caranya antara lain dengan menyumbang bahan makanan seperti beras, telur, ayam, ikan mie kenduri, bahkan daging serta lainnya, dan tidak sedikit juga yang menyumbang tenaga. Dengan kebersamaan dan gotong royong tersebut maka alokasi penyiapan hidangan makanan gratis menjadi minim.
Dengan semangat gotong royong, masyarakat saling bekerja sama, saling membantu dan saling menghormati sesama. Oleh karena itu, sejalan dengan semangat dan jiwa gotong royong yang merupakan identitas bangsa Indonesia, implementasi gotong royong di tengah masyarakat perlu diapresiasi, dihidupkan, serta menjadi pembiasaan positif berdasarkan Pancasila.
Melalui sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, gotong royong dapat dimaknai sebagai  ibadah yang harus dijalankan oleh seluruh umat manusia. Sila yang kedua yakni Kemanusiaan yang Adil dan Berada, semangat gotong royong selalu diyakini berlandaskan atas azas kemanusiaan. Dalam sila ketiga tidak ada gotong rotong tanpa persatuan yang kokoh. Sila keempat menegaskan bahwa di dalam gotong royong pasti terdapat musyawarah untuk mencapai kata sepakat. Sedangkan yang terakhir, sila kelima merefleksikan tujuan akhir gotong-royong adalah untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa tebang pilih.
Akhirnya, dengan semangat seperti tersebut di atas, maka istilah tidak ada makan siang gratis tidak akan terjadi di Indonesia. Tradisi dan kearifan lokal masyarakata Indobesia di berbagai daerah memperlihatkan bahwa dengan semangat gotong royong maka pemberian makan gratis dapat dilakukan dan bisa dimulai dari lingkungan sekitar.
Ngomong-ngomong, apa nama tradisi pemberian makan gratis di daerah asal Kompasianers?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H