Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Makan Gratis dalam Tradisi dan Kearifan Lokal Masyarakat Indonesia

4 Juni 2024   07:51 Diperbarui: 4 Juni 2024   09:36 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara tentang makan siang gratis seperti yang dijanjikan pasangan calon Presiden Prabowo Subianto dan calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat kampanye pemilihan Presiden/Wakil Presiden, saya teringat akan ungkapan "Tidak ada makan siang yang gratis" atau "No free lunch"?

Ungkapan "Tidak ada makan siang yang gratis" yang muncul sejak awal tahun 1800an merupakan ungkapan yang menggambarkan bahwa hal-hal yang tampak gratis selalu memiliki biaya yang harus dibayar oleh seseorang. Ungkapan ini untuk menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu pun dalam hidup yang benar-benar gratis.

Tapi apakah memang benar tidak ada sesuatu pun dalam hidup yang benar-benar gratis atau kalau disederhanakan apakah tidak ada makan siang yang benar-benar gratis?

Apabila kita melongok tradisi di sebagian besar daerah di Indonesia, maka kita akan mendapati bahwa ungkapan tidak ada makan siang gratis kurang tepat.

Apapun istilahnya, entah makan siang gratis atau makan gratis sehat, sesungguhnya pemberian makan gratis bukanlah sesuatu yang baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Makan gratis yang dikemas dalam berbagai istilah sudah menjadi tradisi dan kearifan lokal di berbagai daerah di Indonesia.

Dalam tradisi masyarakat di Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya dikenal pemberian makan gratis dalam setiap acara keagamaan. Makanan gratis tersebut disebut dengan nama nasi berkat. Nasi berkat yang juga biasa disebut dengan nasi besek, merupakan satu paket makanan yang biasanya terdiri dari nasi dan lauk pauknya seperti sayur, urap, gorengan, daging ayam, tempe, tahu, air minum dan jajanan yang ditaruh di dalam besek.  Jika jaman dulu besek terbuat dari bambu, maka sekarang terbuat dari plastik.

Terkait nasi berkat ini, saya jadi teringat peristiwa saat masih kecil. Pada saat itu, seringkali saya menunggu kepulangan Ayah dari acara tahlilan yang diadakan tetangga agar bisa ikut menyantap nasi berkat yang dibawa Ayah.

Menurut sejarahnya, pemberian nasi berkat sendiri sudah ada sejak era Wali Songo, penyebar Islam di Nusantara.
 
Kata berkat sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti ziyadatul khair (bertambahnya kebaikan). Oleh karena itu, nasi berkat memiliki keberkahan atau barokah, yakni sesuatu yang baik ketika dibawa pulang dan dimakan.

Keberkahan selanjutnya, karena di dalam nasi berkat dibacakan doa, shalawat, dan ayat Al-Qur'an. Sehingga sesuatu yang dibacakan bacaan yang baik maka akan menjadi baik.

Selain nasi berkat, terdapat pula tradisi makan gratis yang dilakukan oleh masyarakat Jawa secara turun menurun untuk menyambut bulan suci Ramadan yang disebut munggahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun