Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Tabungan Perumahan atau Kontrakan Rakyat

30 Mei 2024   08:40 Diperbarui: 30 Mei 2024   08:40 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tapera, sumber gambar: Kompaw.com

Baru-baru ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Melalui PP tersebut Pemerintah memotong penghasilan karyawan setiap bulannya. Peraturan ini tidak hanya berlaku bagi PNS, pegawai BUMN, TNI-Polri, tetapi juga pekerja swasta.Ta

Mengenai hal ini, Menteri Pekerjaan Umun dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Muljono mengatakan bahwa Tapera untuk mendapatkan bantuan memiliki rumah.

"Tapi itu tabungan. Tabungan untuk mendapatkan bantuan memiliki rumah. Bukan dipotong terus hilang," kata Menteri Basuki di Jakarta, Selasa (28/5).

Menyikapi terjadinya pro dan kontra terkait Tapera, seorang teman saya dengan ringannya nyeletuk "Biar realistis, Tapera sebaiknya diganti jadi Takora, tabungan kontrakan rakyat atau tabungan kost-kostan rakyat".

Meski celetukan tersebut sepertinya asal-asalan saja, namun ternyata ada benarnya juga. Dengan semakin mahalnya harga hunian, khususnya di kota-kotsa besar, semakin tidak mudah pegawai/pekerja untuk mendapatkan kepemilikan rumah, apalagi jika harus dibayar tunai. Karenanya banyak pegawai/pekerja yang harus mengontrak rumah selama bertahun-tahun, bahkan hingga pensiun. Dalam konteks celetukan teman saya tersebut, maka yang realistis adalah mengadakan takora, memberikan bantuan biaya kontrak rumah.

Lho kalau biaya kontrakan yang dibantu, terus kapan si pegawai/pekerja bisa memiliki rumah sendiri? "Ya bantunya jangan tanggung-tanggung, sekalian juga dibantu untuk bisa mendapatkan kepemilikan rumah," jawab teman saya tersebut dengan santainya

"Terus namanya jadi Takopera dong? Tabungan kontrakan dan perumahan rakyat," celetuk teman saya yang lain, yang tiba-tiba ikut nimbrung dalam pembicaraan.

"Tapi begini ya, sebenarnya kalau terkait potongan, PNS mungkin sudah sangat berpengalaman dipotong gajinya untuk berbagai keperluan. Dulu ada yang namanya potongan untuk iuran Korpri (Korps Pegawai RI). Ada juga taperum atau tabungan perumahan," ujar teman saya yang PNS.

Ia pun menambahkan bahwa berkat taperum, tidak sedikit PNS yang sudah bisa memiliki rumah sendiri, meskipun sederhana dan jauh dari tempat kerja.

"Tapi tidak masalah, biasanya instansi dimana PNS bekerja menyediakan bus jantar jemput dinas dari rumah ke kantor pergi pulang," tambah teman saya.

Ia juga kemudian menjelaskan bahwa sekarang ini juga ada potongan gaji PNS berupa iuran wajib pegawai (IWP) yang merupakan iuran yang dibayar masing-masing ASN melalui potongan yang melekat pada gaji ASN. IWP 8% bagi PNS dan Calon PNS ditujukan untuk dana pensiun (4,75%) dan iuran tabungan hari tua (3,25%).

Dalam kaitannya dengan Tapera sendiri, menurut Menteri PUPR sejatinya Program Tapera sudah dilaksanakan sejak 5 tahun lalu. Tapi pelaksanaannya terbatas baru menyentuh PNS dulu.

"Itu sudah sejak 5 tahun lalu dilaksanakan Bu Menkeu, untuk membina kredibilitas," katanya

Namun bila menyimak terjadinya pro dan kontra serta sikap skeptis masyarakat terhadap Tapera, sebenarnya tidak terlepas dari penyalahgunaan dana publik oleh pejabat yang diberi kepercayaan untuk mengelola dana publik.

Masyarakat sebenarnya tidak keberatan akan pengumpulan dana publik sepanjang dana tersebut dapat dikelola dengan baik, bukan disalahgunakan seperti yang terjadi padakasus korupsi Asabri, dugaan investasi fiktif PT Taspen, penyalahgunaan BPJS dan suap Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang kepada Bupati Jombang.

Belum lagi adanya kecenderungan pengalihan dana tabungan oleh pengelola, misal tujuan awalnya untuk tujuan A kemudian diam-diam dialihkan untuk tujuan B dan seterusnya. Ketika terjadi kerugian atau tindak korupsi oleh pengelola, dana tabungan menguap begitu saja. Pengelola lepas dari jerat hukum dan uang nasabah tidak bisa kembali.

Oleh karena itu, Pemerintah perlu mengembalikan kepercayaan publik dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku. Para pelaku penyalahgunaan dana publik seperti dalam kasus Asabri, PT Taspen, BPJS dan suap dinas kesehatan di daerah, dihukum sesuai kesalahannya dan dimiskinkan agar memberikan efek jera. (AHU)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun