Pagi ini (2/3) dalam perjalan dari Pemalang, saya singgah di Rest Area 101. Usai dari toilet, saya lihat dua orang bapak menggelar rambutan di emperan sebuah warung makan.
Saya pun lantas menghampiri dan bertanya ringan tentang namanya.Â
"Abdi, Asep," jawab salah seorang di antaranya.
Tadinya saya mau sambung dengan pertanyaan "Asep, kependekan dari Saefudin?".Â
Namun saya tidak jadi mengajukan pertanyaan tersebut karena tiba-tiba saya ingat seorang teman yang kebetulan bernama Saefudin.Â
Bukan takut menyinggung teman, tetapi hanya tidak enak saja kalau dia baca tulisan ini dan tiba-tiba mengirimkan pesan "Bro, titip rambutan dua ikat dong".Â
Repot kan, karena dia tinggalnya jauh dari tempat saya tinggal. Kecuali dia mau datang ke rumah saya dan mengambilnya langsung.
Tidak jadi mengajukan pertanyaan soal nama panjang Mang Asep, akhirnya saya ganti dengan pertanyaan lain.
"Mang Asep, rambutan ini hasil dari kebun sendiri?," tanya saya sambil menunjuk rambutan di depannya.
"Bukan pak, saya beli dari pengepul di kampung saya. Saya hanya naikin sedikit harganya biar ada untungnya," ujar Mang Asep.
"Memangnya sekarang lagi musim rambutan ya,?" tanya saya lagi
"Enggak juga sih pak. Tahun ini kayaknya enggak ada musim rambutan. Hujan terus menerus membuat pohon rambutan tidak berbuah subur. Bahkan kebun rambutan di kampung saya banyak yang gagal berbuah," ujar Mang Asep.
"Bapak mau beli berapa ikat?," tanya Mang Asep kemudian.
Mendengar pertanyaan mang Asep, saya pun jadi teringat humor di Tiktok tentang seorang pedagang yang ditanya komentarnya mengenai pertanyaan yang paling tidak disukainya.
"Abang pedagang, pertanyaan apa yang paling tidak Abang sukai dari calon pembeli," begitu pertanyaan yang muncul di tiktok.
"Ya sebenarnya pertanyaan yang paling saya tidak sukai adalah tanya-tanya melulu, tetapi tidak beli," jawab Abang pedagang di tiktok.
Khawatir Mang Asep berkomentar seperti Abang pedagang di Tiktok (walau saya todak yakin Mang Asep bermain Tiktok), saya pun langsung bertanya soal harga rambutan yang ada di depan mang Asep.
"Seikatnya dua puluh lima ribu. Bapak mau beli berapa ikat?" ujar Mang Asep.
"Beli dua ikat saja. Tapi semut yang ada di rambutan jangan diajak," ujar saya sambil menyodorkan selembar uang kertas berwarna biru.
"He he he si bapak mah bisa aja atuh. Dua ikat ya pak," dengan sigap mang Asep memasukkan dua ikat rambutan ke dalan kantong plastik berwarna merah.
Terlihat ekspresi  kebahagiaan di raut wajah mang Asep karena mungkin ini rambutan pertama yang berhasil dijualnya.Â
Saya mengira demikian karena di depannya masih terdapat tumpukan rambutan dan tidak jauh dari tumpukan tersebut terdapat sekarung rambutan yang belum dibuka.Â
"Alhamdullilah pak ada saja yang beli rambutan," ujar Mang Asep ketika saya tanya apakah jualannya laris.
Sambil menyeruput sisa kopi di gelas, Mang Asep mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih ya pak, sudah membeli rambutan saya. Lumayan bisa buat tambah-tambah beli beras yang semakin mahal," tutur mang Asep.
"Sama-sama Mang. Semoga laris manis ya sisa dagangannya," ujar saya sambil berlalu. (AHU)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H