Hari-hari ini dunia, tidak terkecuali Indonesia, dihadapkan pada masalah global berupa pandemi virus corona atau coronavirus disease 2019 (Covid-19). Berbagai negara berupaya menerapkan berbagai macam cara sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan kebijakan masing-masing.Â
Seperti kata Presiden Joko Widodo pada keterangan Pers tanggal 31 Maret 2020 " Kita harus belajar dari pengalaman dari negara lain tapi kita tidak bisa menirunya begitu saja".
Dengan merujuk arahan Presiden maka pemerintah, baik pusat dan daerah, bahu membahu mencegah penyebaran Covid-19 dan melakukan penyembuhan bagi mereka yang sudah terpapar Covid-19.Â
Penanganan dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengetahuan kesehatan modern maupun tradisional yang didasarkan pada kearifan lokal.
Kearifan lokal dalam arti luas tidak terbatas pada norma-norma dan nilai-nilai budaya, tetapi juga segala unsur gagasan, termasuk yang berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan, dan estetika.Â
Dengan pengertian tersebut maka yang termasuk sebagai penjabaran kearifan lokal adalah berbagai pola tindakan dan hasil budaya materialnya seperti jamu.
Kearifan lokal sejatinya adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal memiliki kandungan nilai kehidupan yang tinggi dan layak terus digali, dikembangkan, serta dilestarikan sebagai antitesis atau perubahan sosial budaya dan modernisasi.
Budaya masa lalu secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup di dalam kearifan lokal produk, meskipun bernilai lokal tapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal. Kondisi geografis dalam arti luas Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat .
Kearifan lokal mempunyai nilai dan manfaat tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan, dan tata nilai yang dihayati di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dengan kata lain, kearifan lokal tersebut menjadi sebuah bagian dari cara pandang atau hidup mereka yang arif untuk memecahkan suatu permasalahan hidup yang ada di kehidupan. Mereka dapat melangsungkan kehidupannya, dan berkembang secara berkelanjutan berkat kearifan lokal.
Di tengah pandemi corona saat ini, ada beberapa kearifan lokal yang menunjukkan bagaimana leluhur atau orang-orang tua kita pada zaman dahulu sudah mengajarkan dan mempraktikkan kearifan lokal dalam memelihara kesehatan lingkungan dan warganya, contohnya penyediaan gentong air atau padasan di pedesaan di Jawa.
Padasan merupakan salah satu cara pencegahan Covid-19 dengan kearifan lokal. Padasan yang berarti gentong atau tempayan berisi air yang terbuat dari tanah liat.Â
Padasan, yang biasanya dilengkapi gayung dari batok kelapa, diletakkan di luar pagar rumah sebelum masuk ke pekarangan atau rumah. Fungsi padasan adalah untuk mencuci tangan, kaki, dan membasuh muka. Siapapun pejalan kaki atau orang-orang yang lewat bisa memanfaatkan air di dalam padasan.
Soal genting atau padasan ini, di Cirebon bahkan ada tradisi yang sudah dilaksanakan turun temurun yang dinamakan gentong haji. Gentong berisi air minum disiapkan sebagai pelepas dahaga bagi siapapun yang melintas di depan rumah atau membasuh wajah sambal melepas Lelah.Â
Gentong ini disiapkan oleh keluarga yang hendak berhaji sebagai tanda suka cita menyambut keluarga yang akan melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Harapannya agar mereka yang beribadah diberi kemudahan serta kembali dengan selamat.
Dari padasan atau gentong air kita bisa melihat nilai-nilai luhur yang diajarkan dan dipraktikkan para orang-orang tua kita yaitu keikhlasan dan kerelaan berbagi dari pemilik rumah yang menyediakan padasan.Â
Sedangkan bagi pengguna, padasan mengajarkan tentang perlunya menahan keinginan untuk tidak menggunakan air secara berlebihan, meski tidak ada aturan mengenai penggunaan padasan. Secara umum padasan juga mengajarkan kita untuk hidup bersih dengan rajin mencuci tangan agar terhindar dari pandemi. Â
Bukan hanya padasan, banyak pula kearifan lokal lainnya yang nilai-nilainya ternyata masih hidup di tengah masyarakat kita saat ini, namun kita kerap mengabaikannya.Â
Coba simak saja cerita "Sawan dan Ilmu Titen" yang beredar di group-group WA, yang tidak diketahui siapa penulisnya, yang mengingatkan mengenai nilai-nilai kearifan lokal yang ada di sekitar kita.Â
Cerita tentang bagaimana seorang simbok (ibu) mengingatkan dan menerangkan kepada anaknya mengenai kearifan-kearifan masyarakat Indonesia di masa lalu yang sesungguhnya hidup di tengah masyarakat. Â Mari kita simak ceritanya:
Simbokku bertanya serius, "Jane virus itu apa tho. Tiap hari kok beritanya virus terus di tipi..?"
 Aku : "Virus itu sejenis SAWAN, Mbok! Nggak keliatan tapi kalau nulari bisa membuat orang demam tinggi, batuk-batuk, sesak nafas, kalau tidak kuat bisa mati,"  Tak bilangin gitu biar mudeng... Kalau diijelasin pakai ilmu virologi malah mumet Simbokku.
 Simbok "..Eeee... Sawan to," Manggut-manggut ngerti.
Aku : "Makanya jangan kumpul-kumpul dulu. Kalau terpaksa kumpul-kumpul jaga jarak 1 meter. Sebelum masuk rumah cuci tangan yang bersih pakai sabun, masuk rumah jangan langsung gendong cucu atau menyentuh apapun, langsung ke kamar mandi. Mandi yang bersih, pakaiannya direndam pakai detergen terus dicuci. Setelah itu baru boleh ngapa2in. Virus itu nggak bahaya kalau kita sehat. Tapi kalau punya penyakit sesak nafas, diabetes, darah tinggi dll bisa bahaya sekali. Nahhh, biar sehat banyak-banyak minum air perasan lemon, wedang jahe/kunyit/temulawak, rebusan daun sirih atau daun kelor..."
Simbok : "Wis wis, aku wis mudeng.. Dari dulu kan aku juga mengajari kalian seperti itu. Cuci tangan dan kaki sebelum masuk rumah sampai tak sediakan gentong di depan rumah. Tapi katamu jangan percaya mitos. Sawan-sawan opo ... Tak tanamkan kelor dan sirih, tapi kamu nggak mau makan sayur bening kelor malah pilih makan mie instan. Tak buatkan jamu temulawak, kunir asem, kunci suruh biar sehat, tapi kamu pilih minum obat buatan Londo karo Amerika... Sekarang ada virus saja baru ingat cuci tangan dan minum jamu."
Aku : "Iya ya, Mbok!" Mikir kerasÂ
Simbok : "Orang tua-tua zaman dulu itu walaupun bodoh, tapi nggak ngawur, mereka itu pakai ilmu "titen" kalau sekarang namanya penelitian itu lo ... Dititeni misalnya kenapa kok kalau ada orang meninggal anak-anak sering panas demam. Oo rupanya Bapak/Ibunya ikut melayat. Berarti orang pulang melayat itu bawa penyakit. Akhirnya dicoba diolesi dlingo bawang, terus Bapak/Ibunya sebelum menyentuh anaknya harus mandi dulu. Dan tenyata benar, setelah dilakukan seperti itu anaknya tidak demam tinggi lagi walaupun ayah/ibunya pulang melayat. Kejadian itu dijadikan pelajaran, "dititeni" akhirnya jadi tradisi, terus kalian yang sudah pinter menemukan bahwa ternyata yg dibawa pulang dari luar rumah itu namanya bukan sawan tapi virus... Ngono to?"
Aku : Nyengir..., "Iya, Mbok!"Â
Simbok : "Sekarang masih mau ngeyel., Masih mau bilang wong kuno itu bodo ? Sing bodo ya kamu-kamu itu. Sudah bagus-bagus nenek moyangnya niteni kalau bau badan itu banyak2 makan daun luntas dan minum kunci suruh, ehhh kalian malah nuruti bakul minyak wangi, bau badan cukup disemprot. Padahal badanmu bau itu karena banyak kuman yang harus dibersihkan, kalau cuma disemprot minyak wangi, nggak menyelesaikan masalah, minyak wanginya hilang tetap bau. Nenek moyangnya sudah capek-capek niteni kalau orang yang badannya sehat itu tidak mudah diserang sawan eh virus, makanya harus rajin minum jamu, ehhh kalian malah pilih percaya bakul obat yg obatnya cuma menghilangkan rasa sakit, pas diminum sehat, besuk kambuh lagi, minum lagi, sehat, kambuh lagi... Akhir e rusak jeroanmu... Faham ora?"
 Aku ;  Ampunnnnn.... mbok,  Wis faham, Mbok..! Faham..! Anakmu ngaku salah
Bekasi, 5 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H