Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pancasila dalam Segelas Kopi

12 Maret 2020   17:24 Diperbarui: 12 Maret 2020   17:16 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Belum melek kalau belum ngopi. Gaes kita sering ngomong kayak begitu, tapi tahukan bahwa hari ini, 11 Maret 2020 adalah Hari Kopi Nasional?" begitu status seorang teman di akun media sosialnya kemarin sore.

Sebagai penyuka kopi, setelah membaca status tersebut saya pun lantas berupaya menelusuri riwayat Hari Kopi Nasional (HKN) di Indonesia, yang ternyata jatuh pada 11 Maret dan pertama kali dirayakan pada 11 Maret 2018.

Hari Kopi sendiri adalah perayaan tahunan yang dirayakan pada tanggal yang berbeda-beda di setiap negara untuk merayakan kenikmatan minuman kopi, sekaligus meningkatkan kepedulian terhadap petani kopi.

Secara internasional, Hari Kopi pertama kali diperingati pada tanggal 1 Oktober 2015 oleh Organisasi Kopi Internasional di Milan. Pada Hari Kopi, mereka berkampanye tentang perdagangan kopi yang adil serta kesejahteraan para petani kopi.

Saat ini, berbagai bisnis di seluruh dunia menawarkan kopi secara gratis ataupun harga yang murah terutama kepada pelanggan loyal, hingga tawaran menarik mengenai kopi melalui jejaring sosial.

Terinspirasi Hari Kopi Internasional dan dalam upaya memasyarakatkan gerakan meningkatkan produktivitas dan kualitas kopi nusantara, serta mempromosikan peningkatan konsumsi kopi nusantara, maka Dewan Kopi Indonesia (Dekopi) pada 2018 mengusulkan tanggal 11 Maret sebagai HKN. Tanggal terserbut dipilih sebagai penanda bangkitnya kopi Indonesia.

Upaya tersebut di atas sejauh ini terlihat menampakkan hasilnya. Tumbuh gairah di masyarakat untuk mengonsumsi kopi lokal seperti tampak dari merebaknya caf, kedai atau warung kopi di kota-kota besar dengan berbagai varian jenis dan karakteristik cita rasa yang khas.

Merebaknya kedai-kedai kopi tersebut tentunya diharapkan dapat mendongkrak kopi-kopi lokal dari rakyat dan mendekatkan rakyat dengan produk kopi Nusantara sendiri yang notabene hingga sekarang hanya dijual di pasar internasional.

Beragam kopi yang disajikan di kedai-kedai kopi tersebut mulai dari kopi Gayo, Rejang Lebong, Lampung, Bogor, Gunung Puntang Bandung, Garut, Osing Banyuwangi, hingga kopi Papua, sebenarnya menunjukkan jenis, keunikan dan sensitifitas kopi Indonesia yang tidak terlepas dari beragam faktor yang mempengaruhi tanamannya, buahnya hingga proses penanganan pasca panennya.

Meski beragam, kopi tidak pernah memilih peminumnya. Kopi Gayo bukan hanya diminum atau disruput orang Aceh saja. Begitupun kopi Gunung Puntang Bandung, bukan cuma orang Sunda saja yang boleh menyesapnya. Kopi tidak mengenal ras, suku atau agama. Peminum kopi bisa orang Betawi, Sunda, Batak, Tionghoa, Islam, Kristen dan sebagainya. Semua peminum kopi bisa berkumpul bersama, berkumpul menikmati secangkir kopi dan berbincang

Mengingat kopi tidak mengenal ras, suku atau agama maka kopi bisa menjadi salah satu media yang dapat menyatukan bangsa Indonesia. Kopi bisa memainkan peran penting dalam membangun semangat kebangsaan berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

Pancasila adalah sebuah konsepsi yang lahir dari rahim bumi pertiwi. Adanya pancasila menjadi sebuah kanal bagi semua golongan untuk bisa bertemu dalam satu titik sinergitas memperjuangkan tujuan bangsanya yang berisi berbagai macam suku ada di dalamnya.

Para pendiri bangsa sepakat menjadikan Pancasila sebagai sebuah bentuk ideologi final untuk bisa bersatu. Sebelum berbentuk menjadi teks yang tercantum dalam konstitusi negara, Pancasila telah mewujud pada kehidupan sosial masyarakat dan suku-suku yang ada di Indonesia. Terbukti dengan adanya kata-kata yang ada pada kitab Sutasoma karangan Empu Tantular "Bhinneka tunggal ika".

Seiring perjalanan waktu, perbincangan mengenai Pancasila tidak terbatas di ruang tertutup tetapi kerap dibincangkan dalam pelbagai aktivitas sosial kemasyarakat dan kerap melibatkan kopi di dalamnya. Keberadaan kedai kopi pun berubah menjadi ruang publik untuk memupuk proses demokratisasi dan pembangunan peradaban.

Di kedai kopi terdapat tradisi untuk mencari obrolan dan membahas perkembangan situasi, kondisi, sosial, politik dan budaya. Terjadi interaksi antara penjual kopi dengan peminum kopi secara egaliter. Berbeda dengan tradisi minum teh yang cenderung lebih individual dan herbalistik, minum kopi memiliki daya eksotik dan menghadirkan sifat kultural dan expieriential.

Di kedai kopi kita  bisa duduk bersama, berdiskusi dan bekerjasama mewujudkan mimpi bersama sebagai rakyat Indonesia. Ide-ide kreatif dan gagasan yang bermanfaat timbul melalui secangkir kopi.

Secangkir kopi adalah sebuah penghangat dan penetralisir suasana agar tidak dingin juga tidak menjadi panas suasana yang terjadi di meja diskusi. Karena itu, sambil menyeruput kopi nusantara yang memiliki kualitas terbaik di dunia kita misalnya bisa menangkap makna filosofis bahwa, peradaban Nusantara ini begitu tinggi di hadapan pelbagai peradaban lainnya di dunia.  

Siapapun bebas menikmati kopi, baik kopi pahit maupun manis. Siapapun bebas mengaduk kopi dengan cara yang sama tanpa memperhatikan status sosial. Bahkan setiap tetesan kopi, menghantarkan para penikmat kopi pada rasa dan aroma egalitarian. Dan terkadang, ide dan gagasan muncul serta bertransformasi menjadi pikiran-pikiran segar, revolusioner dan bahkan melampui zaman.

Dari perbincangan di kedai kopi kita belajar menguatkan toleransi, demokrasi kita lebih substansial, keadaban yang kita tampak dalam kehidupan sehari-hari berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian kedai kopi, tidak sekedar menjadi tempat berkumpul dan menyeruput kopi saja, tetapi saat ini kedai kopi telah menjadi tempat yang strategis dalam interaksi sosial. Dimana ide dan gagasan terjalin melalui segelas kopi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun