Finalis Puteri Indonesia 2020 dari Sumatera Barat, Louise Kalista Iskandar, menjadi pembicaraan publik ketika gagap dan tidak berhasil melafalkan Pancasila dengan sempurna. Lancar menyebutkan sila pertama hingga ketiga, Kalista justru menyebutkan sila keempat dan kelima Pancasila secara tertukar dan kacau. Cuplikan video kegagapan Kalista melafalkan teks Pancasila, yang sesungguhnya manusiawi sekali, beredar luas di media sosial.
Kalista bisa jadi sedang apes dan tetiba menjadi putri yang tertukar karena gagal melafalkan Pancasila. Ia mungkin tidak mengira mendapatkan pertanyaan sederhana yang semestinya bisa dijawab dengan mudah. Kalista terlihat gugup berkali-kali lipat, apalagi mesti menjawab dalam 30 detik di tengah riuh rendahnya suara penonton, begitu komentar Najwa Shihab di akun media sosialnya.
Kenapa saya bilang apes dan seperti menjadi putri yang tertukar? Karena kalau kita menyaksikan tayangan jalannya final Putri Indonesia 2020, terutama saat Ketua MPR Bambang Soesatyo menanyakan kepada Kalista mengenai Pancasila, terlihat para finalis lain ikut tertawa, bahkan host wanita Patricia Gouw terlihat sempat mengelus dada. Penyebab mereka ikut tertawa bisa jadi karena dua hal. Pertama, karena yakin hafal sila-sila Pancasila. Kedua, merasa bersyukur karena pertanyaan Ketua MPR tidak tertuju ke mereka. Kalau saja ditujukan ke mereka, mungkin mereka juga akan gagap menjawabnya.
Seperti biasa, menyaksikan kegagapan-kegagapan semacam itu masyarakat lantas riuh dan ramai-ramai merundung. Bukan hanya Kalista yang dirundung tetapi juga asal daerahnya, Sumatera Barat, dan tentu saja Panitia Pemilihan Putri Indonesia.
Pemerintah daerah Sumatera Barat dan panitia pemilihan dipandang sama-sama tidak membekali para finalis Puteri Indonesia dengan materi yang cukup tentang nilai-nilai Pancasila dalam proses pemilihan sejak di daerah hingga final. Karena itu, tidak mengherankan apabila masyarakat kemudian menilai jika Pemilihan Putri Indonesia dan juga kontes-kontes sejenis, tidak lebih dari sekedar ajang kontes kecantikan dan kesexyan.
Lebih jauh lagi, ternyata bukan hanya Pemerintah daerah dan Panitia pemilihan saja yang dikritisi dan dirundung, tetapi juga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). BPIP sebagai lembaga yang sebenarnya tidak terlibat sedikitpun dalam kegiatan putri-putrian ini, ikut disorot publik karena dipandang tidak mampu menyosialisasikan Pancasila dengan baik.
Menyikapi hal ini, dalam siaran tertulis pada Sabtu 7 maret 2020, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP Benny Susetyo, menyarankan adanya pembekalan wawasan kebangsaan, khususnya nilai-nilai Pancasila kepada para Finalis Puteri Indonesia guna mempersiapkan dan membangun karakter kebangsaan mereka yang ikut dalam ajang Puteri Indonesia. Kejadian Kalista yang keliru melafalkan Pancasila, membuka mata para pemangku kepentingan untuk kembali mengajarkan nilai-nilai Pancasila ke publik tanah air.
Merujuk apa yang dikatakan Benny, ketidakhafalan Pancasila seperti yang dialami Kalista bisa jadi merupakan cerminan krisis pemahaman ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak hafalnya Pancasila menjadi fenomena setelah Orde Baru tumbang dan euphoria reformasi menghapuskan mata pelajaran Pancasila yang dipandang sebagai peninggalan Orde Baru. Akibatnya, generasi pasca reformasi tidak hapal lagi Pancasila.
Bukan hanya itu, mereka yang hafal sila-sila Pancasila pun bukan berarti perilakunya sudah Pancasilais. Maraknya perilaku untuk saling mencela dan melecehkan orang lain, tingginya perilaku koruptif, tidak menghormati orang tua menunjukkan perilaku yang tidak Pancasilais.
"Panas setahun bisa dihapuskan oleh hujan sehari, tapi kekosongan pembelajaran nilai-nilai Pancasila di ruang publik selama hampir dua dekade terakhir sejak reformasi 1998 tidak bisa bisa lantas ditutup dengan sosialisasi oleh BPIP dalam setahun terakhir," begitu komentar seorang pemerhati pendidikan yang tidak mau disebutkan namanya.
"Saya tidak sedang membela kinerja BPIP, tetapi saya mencoba memahami segala keterbatasan BPIP dalam membumikan Pancasila ke ruang publik dalam setahun terakhir ini," ujar si pemerhati pendidikan tersebut.
"Di tengah luasnya kritik publik kepada BPIP sebenarnya ada harapan besar kepada BPIP untuk dapat membumikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Sayangnya, BPIP, yang dibentuk melalui Perpres no. 7 tanggal 28 Februari 2018, ibarat mobil bus bagus tapi belum bisa langsung dijalankan dengan kecepatan penuh karena bahan bakarnya belum tersedia. Bagaimana bisa berjalan jika bensinnya (maksudnya anggaran dan SDM) di tahun pertama saja (anggarannya) masih belum dikelola sendiri dan mesti melewati proses administrasi yang panjang. Akibatnya selalu terjadi penundaan atau pelambatan pelaksanaan setiap program kegiatan pembumian Pancasila yang direncanakan,” ujarnya menambahkan.
"Tapi kan hal tersebut semestinya bukan dijadikan alasan oleh BPIP untuk tidak melakukan pembumian Pancasila secara maksimal. BPIP semestinya bisa memerintahkan Kementerian terkait seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengembalikan mata pelajaran Pancasila di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi?," tanya Mamat, yang dari tadi ikutan menyimak komentar si pemerhati pendidikan
"Mamat, kalau membaca Perpres No. 7 tahun 2018, meskipun di BPIP terdapat Dewan Pengarah yang dipimpin Presiden ke-5 yaitu Megawati Soekarnoputri namun BPIP bukan lembaga super bodi atau Koordinator Kementerian/Lembaga (K/L), sehingga bisa menyuruh-nyuruh K/L lain. Yang bisa dilakukan BPIP adalah memberikan masukan kebijakan kepada Presiden RI mengenai pembinaan ideologi Pancasila dan mengomunikasikan setiap kegiatan pembumian Pancasila dengan seluruh K/L sehingga bisa sinkron dan tidak tumpang tindih maksud dan tujuannya,” jelas Udin dari BPIP yang duduk di sebalah Mamat.
“Terkait usulan agar pendidikan Pancasila dikembalikan ke bangku pendidikan dan ruang-ruang publik, BPIP sudah mengomunikasikannya dengan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan kebudayaan dan Kemendikbud, termasuk dengan DPR RI, untuk merevisi UU Sistim Pendidikan Nasional tahun 2003 agar bisa mengembalikan pelajaran Pancasila sesuai aturan. Saat ini rencana revisi tersebut sudah masuk prolegnas di DPR," jelas Udin lebih lanjut.
"Sebenarnya bukan cuma pendidikan formal saja yang perlu mendapatkan pendidikan Pancasila, tetapi juga pendidikan non formal dan informal.yang bisa menyentuh anak zaman-nya. Dalam proses peralihan, hal seperti itu bisa terjadi karena Pancasila menjadi cara berpikir, bertindak, berperilaku, berelasi, tidak menjadi kesadaran-nya. Maka dibutuhkan sekarang, lewat peristiwa ini bagaimana Pancasila diajarkan lagi secara massif lewat pendidikan," ujar Mamat yang gaya bicaranya tidak kalah dengan pengamat di televisi.
“Wah benar banget Mat. Semoga melalui kejadian yang dialami Kalista kita semua dapat mengambil hikmahnya. Pancasila tidak sekedar untuk dihapal, tetapi perlu diaktualisasikan secara konsisten oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk aparat dan pejabat negara,” ujar Udin yang gaya omongannya kali ini tidak kalah dengan Mamat
“Ahsiap kalau begitu,” jawab Mamat kali ini sambil menyeruput kopi di cangkir yang sudah mulai dingin
Lhokseumawe, 8 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H