"Di tengah luasnya kritik publik kepada BPIP sebenarnya ada harapan besar kepada BPIP untuk dapat membumikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Sayangnya, BPIP, yang dibentuk melalui Perpres no. 7 tanggal 28 Februari 2018, ibarat mobil bus bagus tapi belum bisa langsung dijalankan dengan kecepatan penuh karena bahan bakarnya belum tersedia. Bagaimana bisa berjalan jika bensinnya (maksudnya anggaran dan SDM) di tahun pertama saja (anggarannya) masih belum dikelola sendiri dan mesti melewati proses administrasi yang panjang. Akibatnya selalu terjadi penundaan atau pelambatan pelaksanaan setiap program kegiatan pembumian Pancasila yang direncanakan,” ujarnya menambahkan.
"Tapi kan hal tersebut semestinya bukan dijadikan alasan oleh BPIP untuk tidak melakukan pembumian Pancasila secara maksimal. BPIP semestinya bisa memerintahkan Kementerian terkait seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengembalikan mata pelajaran Pancasila di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi?," tanya Mamat, yang dari tadi ikutan menyimak komentar si pemerhati pendidikan
"Mamat, kalau membaca Perpres No. 7 tahun 2018, meskipun di BPIP terdapat Dewan Pengarah yang dipimpin Presiden ke-5 yaitu Megawati Soekarnoputri namun BPIP bukan lembaga super bodi atau Koordinator Kementerian/Lembaga (K/L), sehingga bisa menyuruh-nyuruh K/L lain. Yang bisa dilakukan BPIP adalah memberikan masukan kebijakan kepada Presiden RI mengenai pembinaan ideologi Pancasila dan mengomunikasikan setiap kegiatan pembumian Pancasila dengan seluruh K/L sehingga bisa sinkron dan tidak tumpang tindih maksud dan tujuannya,” jelas Udin dari BPIP yang duduk di sebalah Mamat.
“Terkait usulan agar pendidikan Pancasila dikembalikan ke bangku pendidikan dan ruang-ruang publik, BPIP sudah mengomunikasikannya dengan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan kebudayaan dan Kemendikbud, termasuk dengan DPR RI, untuk merevisi UU Sistim Pendidikan Nasional tahun 2003 agar bisa mengembalikan pelajaran Pancasila sesuai aturan. Saat ini rencana revisi tersebut sudah masuk prolegnas di DPR," jelas Udin lebih lanjut.
"Sebenarnya bukan cuma pendidikan formal saja yang perlu mendapatkan pendidikan Pancasila, tetapi juga pendidikan non formal dan informal.yang bisa menyentuh anak zaman-nya. Dalam proses peralihan, hal seperti itu bisa terjadi karena Pancasila menjadi cara berpikir, bertindak, berperilaku, berelasi, tidak menjadi kesadaran-nya. Maka dibutuhkan sekarang, lewat peristiwa ini bagaimana Pancasila diajarkan lagi secara massif lewat pendidikan," ujar Mamat yang gaya bicaranya tidak kalah dengan pengamat di televisi.
“Wah benar banget Mat. Semoga melalui kejadian yang dialami Kalista kita semua dapat mengambil hikmahnya. Pancasila tidak sekedar untuk dihapal, tetapi perlu diaktualisasikan secara konsisten oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk aparat dan pejabat negara,” ujar Udin yang gaya omongannya kali ini tidak kalah dengan Mamat
“Ahsiap kalau begitu,” jawab Mamat kali ini sambil menyeruput kopi di cangkir yang sudah mulai dingin
Lhokseumawe, 8 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H