Mohon tunggu...
Aris Heru Utomo
Aris Heru Utomo Mohon Tunggu... Diplomat - Penulis, Pemerhati Hubungan Internasional, kuliner, travel dan film serta olahraga

Penulis beberapa buku antara lain Bola Bundar Bulat Bisnis dan Politik dari Piala Dunia di Qatar, Cerita Pancasila dari Pinggiran Istana, Antologi Kutunggu Jandamu. Menulis lewat blog sejak 2006 dan akan terus menulis untuk mencoba mengikat makna, melawan lupa, dan berbagi inspirasi lewat tulisan. Pendiri dan Ketua Komunitas Blogger Bekasi serta deklarator dan pendiri Komunitas Blogger ASEAN. Blog personal: http://arisheruutomo.com. Twitter: @arisheruutomo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Habibie Menulis untuk Cegah Linglung

12 September 2019   12:39 Diperbarui: 12 September 2019   13:11 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama Pak BJ Habibie di Beijing / foto by Aris Heru Utomo

Indonesia kembali kehilangan seorang putra terbaik bangsa dengan berpulangnya Presiden ke-3 RI Bacharuddin Jusuf Habibe atau BJ Habibie pada 11 September 2019 sore di RSPAD Gatot Subroto pada usia 83 tahun karena sakit,

Almarhum BJ Habibie adalah seorang ahli penerbangan yang mencapai moment of triumph paripurna dalam hidupnya dengan menjadi Presiden ke-3 RI pada 1998 pada 21 Mei 1998. Almarhum menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan diri karena desakan masyarakat yang dimotori mahasiswa. Meski tidak lama menjabat Sebagai Presiden RI, Almarhum berhasil memimpin Indonesia melewati masa transisi pada akhir 1990-an.

Mendengar kabar berpulangnya salah satu tokoh besar di Indonesia tersebut, ingatan saya kembali kepada beberapa hal seperti pada masa sekolah menengah, interaksi dengan Almarhum BJ Habibie beberapa waktu yang lalu dan pertemuan di Beijing, China, sekitar 6 tahun lalu.

Saat saya masih sekolah menengah, Habibie adalah sosok idola anak-anak muda yang ingin belajar tentang teknologi. Meski saya bukanlah penerima beasiswa BPPT yang digagas beliau, saya termasuk yang mengidolakan Habibie dan teringat perkataan beliau mengenai pengembangan teknologi dalam buku biografinya "Berawal dari akhir, bukan berakhir dari awal." Pesan singkat yang sarat makna tentang bagaimana kita memulai pengembangan dan pemanfaatan teknologi dalam kehidupan keseharian.

Ingatan berikutnya terkait dengan kontak terakhir saya dengan Sekretaris pribadi (Sespri) Habibie, Rubijanto, pada tanggal 7 Agustus 2019. Saat itu, saya meminta kesedian Presiden ke-3 RI tersebut untuk bisa menjadi nara sumber dalam video layanan masyarakat mengenai Pancasila dan Kemerdekaan RI. Rubijanto menjawab bahwa Pak Habibie sedang dirawat di rumah sakit sehingga belum bisa memenuhi permintaan kami.

"Nanti dikabari setelah beliau sehat," begitu kata Rubijanto.

Manusia boleh berencana, takdir menentukan lain. Belum sempat Rubijanto memberikan konfirmasi kesediaan Habibie menjadi nara sumber pada video Pancasila dan Kemerdekaan, beliau telah berpulang kehadirat Allah SWT.

Ingatan lain adalah terkait dengan pertemuan di Beijing pada pada 8-10 September 2013. Saat itu, sebagai staf KBRI Beijing saya menghadiri peluncuran buku "Habibie & Ainun" dalam bahasa Mandarin di sebuah hotel di Beijing.

Acara agak sedikit terlambat karena Habibie agak kurang sehat. Namun demikian, saat diminta menyampaikan sambutan, beliau terlihat sangat bersemangat, termasuk dalam menceritakan proses pembuatan buku "Habibie & Ainun".

Satu hal menarik dari penuturan beliau adalah pernyataannya bahwa ia nyaris linglung setelah wafatnya Ainun pada 22 Mei 2010 di Munchen, Jerman. Penuturan Habibie tersebut bukan hoax karena saya dengarkan langsung dari beliau saat bercerita mengenai penulisan bukunya.  

Menurut Habibie, kedekatannya bersama Ainun selama 48 tahun 10 hari tidak dapat terlupakan dalam waktu singkat. Apalagi kepergian istrinya yang meninggal karena kanker terkesan mendadak, Ibu Ainun berpulang hanya dua bulan setelah didiagnosa terkena kanker ovarium stadium 4. Sebuah diagnosa yang sangat mengagetkan karena dalam pemeriksaan sebelum-sebelumnya tidak diketemukan tanda-tanda penyebaran sel-sel kanker yang sudah sedemikian gawat.

"Saya syok dan bahkan sempat linglung. Saya sempat keluar rumah pada suatu tengah malam hanya mengenakan piyama dan sandal sambil menangis dan menyebut nama Ainun," tutur Habibie pada saat itu

"Saya pun kemudian konsultasi ke dokter pribadi. Dokter mengatakan bahwa saya mengidap "psikomatis malignant" yaitu kesedihan yang mendalam akibat kehilangan orang yang sangat dekat. Jika tidak berbuat sesuatu, kondisi tersebut akan mempengaruhi fisik dan kejiwaan Habibie sehingga diperkirakan kehidupannya tidak akan bertahan lama pula," demikian diceritakan Habibie.

Dokter kemudian menyarankan empat hal kepada Habibie, Pertama, dirinya dirawat di rumah sakit jiwa. Kedua, mendatangkan tim dokter dari Indonesia dan Jerman untuk ikut merawatnya di rumah. Ketiga, bercerita kepada orang-orang yang dekat dengan Habibie dan Ainun. Keempat, dengan menulis. Habibie memilih yang keempat.

"Pilihan saya adalah opsi keempat. Saya memilih opsi untuk menulis karena saya ingin menuangkannya secara intens. Lagi pula saya tidak bisa bercerita terbuka mengenai Ainun kepada orang lain. Saya menulis Habibie & Ainun bukan untuk pamer kisah cinta saya, tetapi merupakan bagian dari upaya penyembuhan diri dari goncangan jiwa pasca berpulangnya istri saya pada 22 Mei 2010 di Munchen, Jerman," demikian penjelasan Habibie.

Habibie kemudian menjelaskan pula bagaimana proses penulisan bukunya. Sebagai seorang ilmuwan yang biasa berfikir sistimatis, dalam menulis pun ia berupaya untuk sistimatis. Ia memulainya dengan membuat sebuah model yang mengumpamakan fisik dirinya sebagai hardware dan jiwanya sebagai software kecerdasan emosional super canggih. Dengan model tersebut Habibie berpikir bahwa jika sebuah hardware seperti PC mengalami hang maka perlu direstart dan saat proses restart tersebut berlangsung, maka seluruh komponen yang ada dicek satu per satu sebelum pada akhirnya normal kembali.

"Saya menulis seperti bercerita dan dalam waktu sekitar 2 minggu bisa selesai sebuah naskah yang belakangan dijadikan buku dan kemudian di angkat ke layar lebar," demikian penjelasan Habibie.

Saat menyaksikan Habibie bercerita mengenai proses pembuatan buku, saya melihat bahwa kesedihan di raut wajah beliau tidak begitu terlihat. Dengan lancar beliau bercerita dan menjelaskan hubungannya dengan Ainun tanpa ada rasa "berat". Dari sini saya melihat bahwa aktifitas menulis yang dilakukannya telah membantu menyembuhkan jiwa Habibie yang dirundung sedih.

Bagaimana semua itu bisa terjadi?

Seorang psikolog asal Universitas South Wales Karen Baikie mengatakan bahwa ketika kita menuliskan berbagai peristiwa yang penuh tekanan, emosi dan bersifat traumatis, maka kesehatan fisik dan mental kita akan menjadi lebih baik dibandingkan ketika kita menuliskan topik yang netral.

Hal yang nyaris senada dikemukakan Dr. James W. Pennebaker "Menulislah secara sangat bebas tanpa mempedulikan struktur kalimat dan tata bahasa. Niscaya Anda akan terbebaskan dari segala deraan batin.   

Hari ini, saat kita membaca Habibie & Ainun maka kita akan melihat Habibie yang bercerita dan menuliskannya secara sangat bebas. Habibie telah berhasil bebas dari segala deraan bathin karena ditinggalkan Ibu Ainun.

Hari ini kita melihat Habibie yang pergi dengan senyum menjumpai Sang Maha Pencipta dan kekasih hatinya. Innalillahi wainalillahi rojiun. Selamat jalan Pak Habibie.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun