"Saya syok dan bahkan sempat linglung. Saya sempat keluar rumah pada suatu tengah malam hanya mengenakan piyama dan sandal sambil menangis dan menyebut nama Ainun," tutur Habibie pada saat itu
"Saya pun kemudian konsultasi ke dokter pribadi. Dokter mengatakan bahwa saya mengidap "psikomatis malignant" yaitu kesedihan yang mendalam akibat kehilangan orang yang sangat dekat. Jika tidak berbuat sesuatu, kondisi tersebut akan mempengaruhi fisik dan kejiwaan Habibie sehingga diperkirakan kehidupannya tidak akan bertahan lama pula," demikian diceritakan Habibie.
Dokter kemudian menyarankan empat hal kepada Habibie, Pertama, dirinya dirawat di rumah sakit jiwa. Kedua, mendatangkan tim dokter dari Indonesia dan Jerman untuk ikut merawatnya di rumah. Ketiga, bercerita kepada orang-orang yang dekat dengan Habibie dan Ainun. Keempat, dengan menulis. Habibie memilih yang keempat.
"Pilihan saya adalah opsi keempat. Saya memilih opsi untuk menulis karena saya ingin menuangkannya secara intens. Lagi pula saya tidak bisa bercerita terbuka mengenai Ainun kepada orang lain. Saya menulis Habibie & Ainun bukan untuk pamer kisah cinta saya, tetapi merupakan bagian dari upaya penyembuhan diri dari goncangan jiwa pasca berpulangnya istri saya pada 22 Mei 2010 di Munchen, Jerman," demikian penjelasan Habibie.
Habibie kemudian menjelaskan pula bagaimana proses penulisan bukunya. Sebagai seorang ilmuwan yang biasa berfikir sistimatis, dalam menulis pun ia berupaya untuk sistimatis. Ia memulainya dengan membuat sebuah model yang mengumpamakan fisik dirinya sebagai hardware dan jiwanya sebagai software kecerdasan emosional super canggih. Dengan model tersebut Habibie berpikir bahwa jika sebuah hardware seperti PC mengalami hang maka perlu direstart dan saat proses restart tersebut berlangsung, maka seluruh komponen yang ada dicek satu per satu sebelum pada akhirnya normal kembali.
"Saya menulis seperti bercerita dan dalam waktu sekitar 2 minggu bisa selesai sebuah naskah yang belakangan dijadikan buku dan kemudian di angkat ke layar lebar," demikian penjelasan Habibie.
Saat menyaksikan Habibie bercerita mengenai proses pembuatan buku, saya melihat bahwa kesedihan di raut wajah beliau tidak begitu terlihat. Dengan lancar beliau bercerita dan menjelaskan hubungannya dengan Ainun tanpa ada rasa "berat". Dari sini saya melihat bahwa aktifitas menulis yang dilakukannya telah membantu menyembuhkan jiwa Habibie yang dirundung sedih.
Bagaimana semua itu bisa terjadi?
Seorang psikolog asal Universitas South Wales Karen Baikie mengatakan bahwa ketika kita menuliskan berbagai peristiwa yang penuh tekanan, emosi dan bersifat traumatis, maka kesehatan fisik dan mental kita akan menjadi lebih baik dibandingkan ketika kita menuliskan topik yang netral.
Hal yang nyaris senada dikemukakan Dr. James W. Pennebaker "Menulislah secara sangat bebas tanpa mempedulikan struktur kalimat dan tata bahasa. Niscaya Anda akan terbebaskan dari segala deraan batin. Â Â
Hari ini, saat kita membaca Habibie & Ainun maka kita akan melihat Habibie yang bercerita dan menuliskannya secara sangat bebas. Habibie telah berhasil bebas dari segala deraan bathin karena ditinggalkan Ibu Ainun.