Pancasila dan final Liga Champions Eropa yang sama-sama digelar di hari dan tanggal yang sama yaitu Sabtu, 1 Juni 2019, di bulan Ramadan yang penuh berkah, bukanlah suatu kebetulan semata.
Tidak ada yang kebetulan di muka bumi ini. Bahkan sebuah kebetulan yang amat kebetulan adalah tetap rencana Tuhan yang tidak pernah meleset. Begitu pula halnya dengan penyelenggaraan peringatan haril lahirBukan pula suatu kebetulan apabila saya mengikuti kedua peristiwa tersebut. Saya mengikuti upacara dan menjadi salah seorang anggota Panitia peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 2019 di halaman gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, dan diwawancara live di salah satu stasiun televisi swasta.Â
Dinihari 2 Juni 2019 WIB (1 Juni 2019 waktu Madrid) saya kemudian menjadi salah satu penonton televisi yang menyiarkan langsung pertandingan final Liga Champions antara Liverpool vs Totenham Hotspur di stadion milik klub Atletico Madrid.
Pancasila adalah filsafat, dasar, dan ideologi Negara yang pertama kali dicetuskan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945. Di bawah lambang negara kita, burung Garuda, tercantum motto nasional berbunyi "Bhinneka Tunggal Ika" (berbeda-beda, tetapi tetap satu) yang mencerminkan bahwa persatuan merupakan salah satu sila Pancasila.
Sedangkan sepak bola adalah suatu cabang olah raga yang menggunakan bola dengan tim berjumlah sebelas pemain dan menjadi cabang olah raga yang sangat diminati dan digemari oleh sebagian masyarakat dunia. Bahkan di sebagian besar Negara Amerika Latin, sepak bola sangat dipuja dan seolah-olah menjadi agama kedua bagi mereka.
Lalu bagaimana keterkaitan antara Pancasila dan sepakbola?
Pancasila yang dirumuskan 74 tahun lalu diperingati oleh bangsa Indonesia setiap tanggal 1 Juni guna meneguhkan komitmen untuk mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila, saling toleran, hidup rukun, gotong royong, serta melawan paham-paham anti-Pancasila, demikian disampaikan Presiden Joko Widodo dalam cuitan di akun twitter beliau.
Apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo tersebut sejalan dengan keberagaman kondisi geografis, flora, fauna, hingga aspek antropologis dan sosiologis yang menyelimuti masyarakat Indonesia, hanya dapat dirajut dalam bingkai kebangsaan yang inklusif.Â
Proses internalisasi sekaligus pengamalan nilai-nilai Pancasila harus dilakukan dan tertanam dalam hati yang suci dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti halnya gelaran peringatan hari lahir Pancasila yang dilaksanakan setiap tahun, gelaran final Liga Champion juga dilakukan setiap tahun, meski tanggalnya tidak selalu sama.Â
Final Liga Champions digelar guna meneguhkan komitmen kompetisi sepakbola Eropa dan semangat perjuangan yang terus berkembang di dalam diri pemain dan para penontonnya yang sangat beragam.
Sampai disini mulai terlihat benang merah antara peringatan hari lahir Pancasila dengan final Liga Champions yang sama-sama meneguhkan komitmen untuk mengamalkan nilai-nilai yang dianutnya.Â
Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa merupakan kristalisasi nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia yang berasal dari beragam etnik, bahasa dan suku.Â
Sedangkan sepakbola, yang dimainkan banyak orang dari berbagai lapisan, sangat kaya dengan berbagai aspek kehidupan manusia sehingga sepakbola menjadi sumber refleksi dan permenungan.
Dari semua nilai yang ada, gotong royong adalah kata kunci. Dengan semangat gotong royong masyarakat Indonesia dapat bersama-sama mencapai tujuan berbangsa dan bernegara seperti yang dicita-citakan.Â
Dalam sepakbola. Liverpool dan Totenham Hotspur yang melaju hingga babak final menjadi contoh terbaik bagaimana semangat gotong royong dan tidak kenal menyerah telah membawa mereka untuk membalikkan keadaan, dari kekalahan menjadi kemenangan. Di partai pertama Totenham Hotspur kalah dari Ajax dan Liverpool kalah dari Barcelona. Â Â
Memperhatikan bahwa mencetak gol pada saat pertandingan merupakan impian setiap pemain sepak bola, apalagi jika gol tersebut dicetak pada laga puncak seperti final Liga Champions, maka sejak awal pun diatur siapa saja yang menjadi pemain penyerang, tengah, belakang dan kiper.Â
Secara bergotong royong dibawah komando pelatih diatur taktik dan strategi di lapangan, tidak ada satupun pemain yang dibiarkan bermain sendiri meskipun pemain tersebut merupakan seorang maha bintang.
Sehingga ketika Mohamed Salah berhasil mencetak gol lewat titik penalti pada menit kedua ke gawang Totenham Hotspur, penonton tidak menganggapnya sebagai kebarhasilan individu tapi hasil kerjasama tim.Â
Keputusan Salah sebagai eksekutor tendangan penalti sudah melalui kesepakatan sebelumnya antara pelatih dan timnya serta para pemain. Ada proses pemilihan dan penunjukkan sebelum pertandingan dan disepakati bersama, bukan sesuatu kejadian yang tiba-tiba di lapangan.
Sikap yang memperlihatkan adanya hubungan yang saling terkait ini sesungguhnya merupakan pencerminan gambar rantai yang saling terhubung pada sila kedua Pancasila.Â
Rantai dengan dua mata rantai yang berbeda ini melambangkan hubungan sesama manusia Indonesia untuk bahu membahu, saling membantu, dan bersatu padu.
Dengan prinsip tersebut, tidak mengherankan apabila seorang pemain berhasil mencetak gol dan melakukan selebrasi perorangan misalnya dengan bersujud seperti yang dilakukan Salah, teman-teman si pencetak gol akan memeluknya dengan gembira.
Dalam kasus selebrasi Salah yang bersujud di lapangan usai mencetak gol dan tidak ada larangan dari pelatih atau official lainnya, memperlihatkan bahwa dalam sepakbola juga berlaku sila pertama Pancasila yang senantiasa menghormati semua pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda.Â
Dalam kaitan ini, pelatih Liverpool Jurgen Klopp yang non-Muslim jelas sekali sikapnya, sejak awal ia memberikan kebebasan kepada Salah yang seorang Muslim untuk menjalankan ibadah puasa sebelum dan selama pertandingan. Â Â
Melalui sepakbola kita juga melihat bahwa pemain-pemain sesungguhnya merupakan anak-anak manusia yang bergulat dengan kerasnya kehidupan. Pergulatan dengan kerasnya kehidupan itu tidak selalu berakhir dengan kemenangan.Â
Sering pergulatan mati-matian itu hanya mengantarkan para pemain dan penonton yang terlibat dengan mereka kepada kegagalan yang pahit dan menyedihkan.Â
Itulah sebabnya di dalam bola kita dapat melihat dan merasakan tragedi, komedi, ketabahan untuk menerima kegagalan, tekad dan keberanian untuk selalu bangun meraih kemenangan. Memang sepak bola membawa tawa. Tetapi sepak bola juga yang membawa tangis.
Seperti ditulis Sindhunata dalam bukunya "Air Mata Bola", sepak bola dengan amat tegas melibatkan penontonnya untuk senantiasa berani berada di antara kemenangan dan kegagalan. Karena itu, sepak bola dapat mengajari orang untuk menghadapi kenyataan nasib.Â
Dan nasib itu, entah kesuksesan entah kegagalan, tidak terbaca dalam suatu pergulatan dalam rentang waktu yang lama, tetapi tiba-tiba terjadi dalam peristiwa tidak terduga, serta dalam waktu yang amat pendek dan sesingkat-singkatnya. Kalah atau menang itu sering ditentukan hanya dalam waktu tiga menit saja.
Sepakbola adalah permainan yang tidak selalu mengandalkan kemampuan fisik, teknik, ketangguhan mental, dan kualitas permainan, sepakbola juga menampilkan sportivitas, aturan main, dan etika.Â
Untuk menegakkan aturan main dan etika bermain, dalam pertandingan sepak bola terdapat wasit dan hakim garis yang benar-benar profesional sehingga dapat menegakkan keadilan dalam pertandingan. Wasit dan hakim garis inilah yang menegakkan aturan main dan etika bermain di lapangan.
Seperti halnya sepakbola, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pun, kemenangan dan kegagalan menjadi suatu keniscayaan yang mewajibkan peserta dan pendukungnya untuk berani menerima realita kemenangan dan kegagalan. Â Adanya hakim yang professional dan jujur diperlukan untuk menegakkan keadilan dan aturan main. Â
Dari semua yang disebutkan di atas, tampak bahwa sesungguhnya nilai-nilai Pancasila telah diterapkan dalam permainan dan pertandingan sepak bola. Nilai-nilai tersebut tidak hanya berlaku bagi para pemain, tetapi juga berlaku bagi para penonton, manajemen dan para pengelola.
Sepak bola Pancasila merefleksikan suatu permainan dan pertandingan yang didasarkan pada nilai-nilai sportivitas dan kejujuran. Sikap sportif dan jujur dalam pertandingan sepak bola tercermin pada perilaku para pemainnya. Mereka harus dapat mengendalikan emosi, tidak mudah terprovokasi, dan tidak mudah mengeluarkan kata-kata ejekan.
Para pemain dan penonton serta pendukung yang Pancasilais tidak tawuran, tidak mengamuk, dan berbuat anarkis serta menerima kekalahan sebagai kenyataan apabila tim kesayangan mereka kalah.Â
Menerima kekalahan dalam suatu pertandingan memang bukan hal yang mudah, tapi bagaimanapun harus ada tim yang menang dan harus ada tim yang kalah.
Semangat dan dukungan penuh dan kuat yang diberikan kepada tim sepakbola tidak membuat kita lebih tinggi dan mengeluarkan kata-kata rasis, dan melecehkan tim sepak bola  lain karena itu tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Demikian pula halnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dukungan kepada partai politik atau calon tertentu tidak membuat sebagian kita meninggikan diri dan mengeluarkan kata-kata rasis dan melecehkan partai politik atau calon lainnya karena hal tersebut jelas tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Bekasi, 3 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H