Ahmad Fuadi kemudian mulai belajar secara otodidak dengan membaca berbagai referensi seperti buku-buku "How To Write a Novel" dan novel-novel yang terkait dengan rencana penulisannya. Bukan hanya membaca, ia pun mempraktekkan apa yang dibaca dengan berlatih menulis setiap hari untuk "melatih otot menulis", hingga akhirnya berhasil menulis novel pertamanya "Negeri 5 Menara."
Dari pengalaman menulis novel Negeri 5 Menara dan novel-novel berikutnya, Ahmad Fuadi bisa menyusun tips praktis menulis dengan mendasarkan pada upaya menjawab pertanyaan 3W1H: Why, What, When dan How.
Untuk menjawab pertanyaan pertama Why (mengapa), langkah yang harus dilakukan adalah menemukan jawaban mengapa kita akan menuliskan mengenai sesuati hal tertentu. Ketika menulis Negeri 5 Menara dengan latar belakang pesantren, Ahamd Fuadi menemukan alasan mengapa harus menulis tentang kehidupan pesantren. Alasannya sederhana, karena cerita atau novel tentang kehidupan pesantren belum ada yang menulis. Padahal banyak peristiwa dalam kehidupan di pesantren yang dapat dituliskan dan layak diketahui publik.
Langkah kedua adalah menentukan "what (apa)" yang harus ditulis. Banyak hal-hal yang terdapat di sekeliling kita yang sesungguhnya bisa dijadikan tulisan menarik dan bermanfaat, namun kerap seseorang tidak menyadarinya. Untuk itu, mulailah menulis dari hal-hal yang paling dekat dengan kehidupan si penulis. Di novel Negeri 5 Menara, Ahmad Fuadi menulis tentang kehidupan pesantren karena hal itu sangat dekat dengan kehidupannya. Selama 4 tahun Fuadi tinggal di pondok pesantren Madani Gontor, tentu banyak pengalaman yang membekas.
Langkah ketiga adalah menentukan bagaimana (how) mengeksekusi rencana menulis? Untuk mengawalinya bisa dilakukan dengan mengumpulkan data dan fakta agar penulisan berjalan lancar dan tulisan berisi. Lakukan riset dengan baik. Dalam Negeri 5 Menara, Ahmad Fuadi mulai melakukan riset antara lain dengan mengumpulkan kembali buku harian yang dibuatnya sejak SMP dan surat-surat yang dikirim ke ibunya. Ia juga membaca novel-novel yang menceritakan kehidupan di sekolah berasrama seperti Harry Potter.
Melalui buku harian dan surat lawas  yang disimpan rapih oleh ibunya, Ahmad Fuadi bisa membangun kembali ingatan akan masa-masa ia berada di kampung halamannya di Maninjau ataupun saat berada di Pesantren. Dengan munculnya kembali ingatan-ingatan tentang masa lalu maka ia lebih mudah untuk menuangkan gambaran yang diinginkannya dalam bentuk tulisan.
Sedangkan dengan membaca novel-novel yang menceritakan kehidupan di sekolah berasrama, Ahmad Fuadi berharap mendapat gambaran mengenai cara bertutur dan menuangkan imajinasi tanpa bermaksud untuk mencontek.
Langkah keempat adalah menentukan kapan penulisan dilakukan, apakah dilakukan setiap hari satu halaman atau sesuai mood? Ahmad Fuadi menyarankan sebaiknya penulisan dilakukan setiap hari, setidaknya satu hari satu halaman, daripada harus menunggu mood dan menulis secara maratahon. Ibarat menabung, sedikit demi sedikit lama-lama jadi bukit.
Aris Heru Utomo, Mexico City, 24 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H