Mohon tunggu...
arisandi dwiharto
arisandi dwiharto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Doktoral - Universitas Mercu Buana Jakarta

Pemerhati Lingkungan, Bidang Pertambangan dan Energi

Selanjutnya

Tutup

Indonesia Lestari

Strategi Keberhasilan Pemanfaatan Bahan Bakar Alternatif Dalam Transformasi Energi Bersih

7 Mei 2023   14:47 Diperbarui: 7 Mei 2023   15:11 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia Lestari. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dampak penggunaan bahan bakar fosil untuk energi listrik, transportasi dan industri telah mengakibatkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim dengan segala dampak turunannya yang mengancam kehidupan serta kelestarian alam. Kebijakan dan program mengenai penggunaan bahan bakar alternatif juga sudah sejak 10 Tahun terakhir mulai didengungkan agar terjadi proses transformasi dari energi fosil ke energi biomass sebagai salah satu bentuk Energi Baru dan Terbarukan (EBT). 

Bahkan pemerintah saat ini mendorong penggunaan EBT melalui kebijakan konversi bertahap dari Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Biomasa (PLTBM) dimana pada PLTBM tersebut menggunakan bahan bakar yang dikonversikan dari bahan biologis dan organik.

Kebijakan ini sudah dituangkan dalam RUPTL PT PLN (Persero) 2021 – 2030, yaitu terdapat 52 unit PLTU di Indonesia direncanakan beroperasi dengan bahan bakar biomassa. Dengan perencanaan tersebut, maka diperkirakan kebutuhan sumber energi terbarukan yang diperlukan untuk bahan bakar Pembangkit PLTU mencapai 8 juta ton/tahun.

Tentunya, dalam pengembangan PLTBM perlu mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan supply bahan bakar secara berkelanjutan dengan nilai keekonomian yang dapat dikendalikan untuk mendapatkan nilai Biaya Pokok Penyediaan (BPP) energi listrik yang terbaik, setidaknya mendekati nilai BPP pembangkit berbahan bakar batubara yang dinilai paling murah akan tetapi memiliki resiko pencemaran dan kerusakan lingkungan yang semakin memprihatinkan.

Menurut Kementerian ESDM, cadangan biomassa di Indonesia memiliki potensi dengan total sebesar 32,6 GigaWatt (GW). Namun pemanfaatan biomassa dalam skala besar dengan investasi yang besar untuk pembangkit belum maksimal di Indonesia, dengan beberapa problem utama adalah kontinyuitas supply, kestabilan kualitas material, dan ongkos angkut yang masih mahal sehingga implementasi ini masih nampak setengah hati. 

Bahkan tidak jarang perusahaan pembangkit listrik mengalami defisit akibat “paksaan” konversi bahan bakar ini menjadi beban utama dalam cashflow perusahaan sehingga program ini terasa sulit untuk dicapai dalam 5 tahun mendatang sesuai dengan target konversi yang ditetapkan.

Pemanfaatan biomassa untuk pembangkit skala besar telah dilakukan dengan metode co-firing, dimana keuntungan yang diperoleh dengan co-firing antara lain unit pembangkit masih menggunakan equipment yang ada (tidak memerlukan investasi besar), pemakaian biomassa bisa intermittent (menyesuaikan suplai biomassa), disamping menurunkan emisi dan mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil (batubara). Yaitu dalam memproduksi 1 Mega Watt membutuhkan 0,5 Ton/Jam bahan bakar alternatif.

Dengan pemanfaatan biomass sebagai sumber bahan bakar untuk unit pembangkit eksisting (PLTU) dapat meningkatkan bauran energi nasional, dimana untuk pembangkit skala kapasitas besar perlu dipastikan suplai bahan bakar biomassa yang diperlukan serta dampak operasional peralatan yang tidak didesain untuk beroperasi dengan biomassa. 

Untuk itu, kepastian suplai bahan bakar biomassa tersebut, diperlukan teknik atau strategi pengelolaan (pemilihan lahan, penanaman, pemanenan dan lain-lain) dalam pengembangan biomassa yang dapat meningkatkan kualitas lahan, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Peluang lain, bahwa biomass  tidak terbatas pada kayu saja, akan tetapi biomass dapat dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu : (1) Limbah pertanian/ perkebunan, (2) Tanaman energi, (3) Limbah hasil hutan, (4) Limbah organik. Limbah pertanian/ perkebunan potensinya saat ini sangat besar seiring dengan banyaknya perkebunan sawit yang sudah tua dan harus diremajakan kembali, yaitu sekitar 120 pohon per-hektar, dimana setiap pohon sawit memiliki berat kering batang pohon rata-rata sebesar 394,11 kg/pohon atau setara dengan berat kering sebesar 50,45 ton/ha, ibaratnya 1 hektar kebun sawit dapat menghidupkan pembangkit listrik 1 MW selama 10 jam.

Dengan adanya upaya konversi biomass menjadi energi maka diharapkan akan memperluas akses listrik kepada masyarakat khususnya yang berada di daerah sehingga listrik berkeadilan dapat tercapai, dan perbaikan kualitas lingkungan karena limbah organik juga akan dimanfaatkan menjadi bahan bakar.

Kondisi saat ini juga banyak terjadi area atau lahan kosong dengan kategori potensial kritis apabila lahan tersebut tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, khususnya di Daerah Timur Indonesia seperti di NTB dan NTT yang didominasi dengan area terbuka. 

Untuk itu, diperlukannya strategi pemanfaatan lahan ini dengan menyiapkan area untuk tanaman energi yang cepat tumbuh sebagai area Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dapat dikelola oleh pihak swasta yang berkesinambungan dengan pemberian kesempatan bagi masyarakat disekitar area tersebut untuk menjadi plasma bagi HTI yang telah disiapkan. Integrasi area inti dan plasmad dari HTI Tanaman energi ini akan memberikan manfaat yaitu kepastian supply bagi pembangkit, manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar dan yang jauh lebih besar adalah area menjadi hijau sehingga meningkatkan cadangan oksigen bagi kehidupan global.

Manajemen pola tanam, sistem panen, sistem distibusi, rantai pasok dan keterlibatan masyarakat sekitar area tanam sangat dibutuhkan dalam keberhasilan program ini, bukan hanya semata kebijakan yang terkesan mendadak dan terburu untuk branding semata dari PLTU eksisting, akan tetapi tidak didukung oleh kepastian supply biomass sehingga kehandalan produksi listrik biomass atau energi bersih kita bisa terjaga dan keberlanjutannya.

Penyiapan skema kemitraan antara perusahaan pembakit dengan stakeholder terkait dengan pengusahaan biomass ini menjadi salah satu kunci utama dalam keberhasilan program, dimana kelayakan ekonomis bahwa harga pokok produksi ataupun harga jual biomass ini masih setara atau bahkan lebih hemat dari batubara merupakan salah satu indikator dalam keberhasilan program ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Indonesia Lestari Selengkapnya
Lihat Indonesia Lestari Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun