"Bukan apa-apa. " Jawab Antony tanpa membalikan badan, karena ia mengenali suara itu.Â
"Tadi itu lucu banget. Mukamu kayak orang be.. "
"Kalau cuman mau mengejekku, mendingan kamu ga usah datang. " Potong Antony kembali menyeruput tehnya.Â
Si gadis membenarkan gaun biru yang ia kenakan dan duduk di samping Antony. Ia tersenyum, begitu lebarnya hingga memaksa Antony memalingkan wajah menghindar.Â
"Ga usah ngambek kayak anak kecil. Kan kamu yang manggil aku kesini. Udah lama banget kita ga ngobrol bareng. Kenapa sekarang?" Tanya si gadis.Â
"Aku... Ga tau, Ven. Mungkin karena rindu?" Antony menatap Veni, senyuman hangat bersarang di wajahnya.Â
Sudah berapa lama ia tidak melihat wajah itu. Kulitnya sehalus secangkur susu yang membiaskan cahaya lampu cafe, matanya yang coklat berbinar berhiaskan kacamata bundar, dan rambutnya bagaikan sutra hitam penuh kedalaman melambai halus pada lehernya. Ia begitu cantik, terlalu cantik.Â
"Jangan bohong.." Veni mengecutkan wajahnya, "kamu ga boleh terus-terusan seperti ini, Ton"
"Terus aku harus gimana, Ven? Kamu liat sendiri tadi. Berharap sedikit aja bisa menyiksa buatku. Hanya kamu yang bisa bikin aku tenang." Ucap Antony menikamkan pena pada jurnalnya.Â
"Harapan tidak pernah menyakiti mu." Gadis itu meletakkan jemarinya di pundak Antony.Â
"Mudah kamu bicara seperti itu. Kamu ga perlu berharap, Ven. Akan selalu ada yang mencintaimu, berjuang untuk mendapatkan hatimu. Kamu ga harus susah-susah mendapatkan pria yang kamu mau. Sementara aku hanya bisa bersandiwara.. Seperti ini. " Antony meremas pena hingga terdengar bunyi retakkan pada batangnya.Â