"Saya takut, coeg" katanya, "gimana kalo tinggal lama disini bikin turun skill?"
Awalnya saya tidak paham dengan kekawatiran sahabat saya ini. Saya rasa tidak ada satu alat musik komersil yang tidak ia kuasai, serta tidak ada satu musisi di kota kami yang selevel dengan dia. Karena penasaran, saya bertanya:
"Kenapa takut? kau tinggal bikin band, ikut wedding sana-sini, pasti hidup kau."Â
Mungkin karena saya sedikit meremehkan profesi yang ia jalani, makanya saya sampai berkata begitu. Toh semua orang di Bajawa mengenalnya dan sudah mengakui kemampuannya. Band wedding juga masih tergolong langka. Dia tidak akan kesulitan mencari nafkah disini.
"Di Surabaya anak 10 tahun jago sekali maen musik, coeg. Kalo tidak ngulik tiap hari, kau bakal disalip sama bocah."
Seketika saya menyadari kesalahan berfikir yang saya miliki. Sahabat saya ini tidak membandingkan kemampuannya dengan musisi lain di kota kecil kami, tapi dengan dirinya sendiri yang telah lama terjun dan menapaki persaingan di kota besar. Dia bukan lagi remaja yang saya kenal dulu, yang hanya jago bermain musik, tapi seorang profesional.Â
Selama sebulan terakhir saya sering menghabiskan waktu dengan dia. Tak ada seharipun yang ia lewati tanpa meramu melodi pada Synthesizer atau gitar listrik yang ia miliki. Entah sedang mengerjakan pesanan dari klien atau sekedar latihan, dia melakukan semuanya dengan sungguh-sungguh.
 Seperti pisau, kemampuan seseorang hanya akan tajam jika terus-terusan diasah setiap hari. Itu juga berlaku bagi seorang penulis. Selama ini saya menganggap remeh kegiatan menulis karena tidak sekalipun karya yang saya ciptakan menuai hasil secara finansial.
Menulis hanyalah hobi, begitu pikir saya. Â Dengan begitu, saya tidak perlu terburu-buru menyelesaikan perjalanan pahlawan dalam cerita yang saya buat.
Akan tetapi, kenapa bisa dengan bangganya saya menaruh gelar "penulis" pada biodata di halaman Kompasiana kalau itu hanya hobi? Belajar dari sahabat saya, perbedaan seorang profesional dan amatir terletak pada kedisiplinan yang mereka tunjukan.
Bayangkan kalau  dokter berhenti mengobati pasiennya karena mager di hari itu, atau guru yang tidak mau masuk kelas karena sedang tidak "mood" mengajar, berapa banyak masyarakat yang meninggal karena sakit, serta berapa banyak orang buta huruf di dunia ini?Â