"Don't try" -Charles Bukowski
Sudah setahun lebih saya menulis di Kompasiana.com dengan beragam tulisan berbeda. Awal menulis, saya sama sekali tidak menyangka bahwa tulisan pertama saya yang berjudul Studi Karakter: Uchiha Itachi, Bisakah Genosida Dibenarkan? berhasil menembus 1000 pembaca dalam waktu satu bulan.Â
Itu membuat hati saya berbunga-bunga karena ternyata ada yang tertarik membaca ulasan tidak penting yang muncul dari kepala saya. Otomatis saya termotivasi untuk terus memposting beragam tulisan di Kompasiana. Mulai dari cerpen, puisi berbahasa inggris(poem), hingga berbagai topik seputar aturan menulis fiksi serta review buku dan film sudah saya bagikan disini.
Beberapa kali tulisan saya masuk menjadi topik pilihan admin, hingga empat tulisan berhasil menjadi artikel utama. Tanpa sadar saya seperti orang yang ketagihan dengan ikon angka merah diatas lonceng notifikasi, karena itu berarti ada pengguna lain yang memberi ratting atau komentar pada artikel yang saya buat. (sedih banget kw, ris.. ga punya teman ya?)
Namun seperti seorang pecandu, perasaan senang dari "high" yang saya alami lama kelaman menghilang. Itu membuat saya semakin malas menulis, apalagi ketika respon pembaca makin menurun hingga setiap artikel yang saya buat hanya puluhan kali dibaca.
Selain menulis di Kompasiana, saya juga sebenarnya sedang mengerjakan sebuah karya novel fantasi yang hingga sekarang tidak rampung karena kebiasaan menunda yang mendarah daging dalam diri saya.Â
Kurangnya motivasi menjadi alasan yang selalu saya pakai agar tidak membuka laptop dan mengetikan kalimat baru pada naskah yang sudah berlumut di dalam hardware. (3 tahun ris, masa ga kelar-kelar?)
Hingga Desember kemarin, saya bertemu dengan seorang sahabat karib yang tinggal di Surabaya. Â Setelah selesai kuliah dia memutuskan untuk pulang kampung dan menetap di Bajawa, kota tempat tinggal saya sekarang.
Selama di Surabaya, dia bekerja sebagai seorang musisi yang cukup punya trackrecord dan telah manggung dimana-mana. Kami ngobrol semalaman ditemani sebungkus rokok, tertawa ga jelas tentang kenangan masa lalu hingga rencana masa depan.
"Saya takut, coeg" katanya, "gimana kalo tinggal lama disini bikin turun skill?"
Awalnya saya tidak paham dengan kekawatiran sahabat saya ini. Saya rasa tidak ada satu alat musik komersil yang tidak ia kuasai, serta tidak ada satu musisi di kota kami yang selevel dengan dia. Karena penasaran, saya bertanya:
"Kenapa takut? kau tinggal bikin band, ikut wedding sana-sini, pasti hidup kau."Â
Mungkin karena saya sedikit meremehkan profesi yang ia jalani, makanya saya sampai berkata begitu. Toh semua orang di Bajawa mengenalnya dan sudah mengakui kemampuannya. Band wedding juga masih tergolong langka. Dia tidak akan kesulitan mencari nafkah disini.
"Di Surabaya anak 10 tahun jago sekali maen musik, coeg. Kalo tidak ngulik tiap hari, kau bakal disalip sama bocah."
Seketika saya menyadari kesalahan berfikir yang saya miliki. Sahabat saya ini tidak membandingkan kemampuannya dengan musisi lain di kota kecil kami, tapi dengan dirinya sendiri yang telah lama terjun dan menapaki persaingan di kota besar. Dia bukan lagi remaja yang saya kenal dulu, yang hanya jago bermain musik, tapi seorang profesional.Â
Selama sebulan terakhir saya sering menghabiskan waktu dengan dia. Tak ada seharipun yang ia lewati tanpa meramu melodi pada Synthesizer atau gitar listrik yang ia miliki. Entah sedang mengerjakan pesanan dari klien atau sekedar latihan, dia melakukan semuanya dengan sungguh-sungguh.
 Seperti pisau, kemampuan seseorang hanya akan tajam jika terus-terusan diasah setiap hari. Itu juga berlaku bagi seorang penulis. Selama ini saya menganggap remeh kegiatan menulis karena tidak sekalipun karya yang saya ciptakan menuai hasil secara finansial.
Menulis hanyalah hobi, begitu pikir saya. Â Dengan begitu, saya tidak perlu terburu-buru menyelesaikan perjalanan pahlawan dalam cerita yang saya buat.
Akan tetapi, kenapa bisa dengan bangganya saya menaruh gelar "penulis" pada biodata di halaman Kompasiana kalau itu hanya hobi? Belajar dari sahabat saya, perbedaan seorang profesional dan amatir terletak pada kedisiplinan yang mereka tunjukan.
Bayangkan kalau  dokter berhenti mengobati pasiennya karena mager di hari itu, atau guru yang tidak mau masuk kelas karena sedang tidak "mood" mengajar, berapa banyak masyarakat yang meninggal karena sakit, serta berapa banyak orang buta huruf di dunia ini?Â
Pekerja seni juga harus membangun pola pikir yang sama. Hanya orang amatir yang perlu motivasi, profesional harus tetap ngulik apapun alasannya.
Selama hidup, saya tidak pernah melakukan apapun dengan sungguh-sungguh. Sekolah hanya untuk lulus, kuliah hanya untuk gelar, bekerja hanya untuk uang. Saya punya mimpi untuk meninggalkan karya di dunia ini. Dengan menulis, saya akan membuat mimpi itu menjadi kenyataan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H