Nama penulis R.F Kuang pastilah sudah tidak asing lagi di telinga penggemar fantasi dalam negeri. Penulis Tiongkok yang bermigrasi ke Amerika Serikat tersebut merebut perhatian sejak debut novel fantasinya pada tahun 2018 "The Poppy War" yang mengambil seting budaya serta sejarah China yang kental.Â
Tidak mudah memang bagi seorang penulis untuk menuai kesuksesan melalui buku pertamanya. Genre fantasi memiliki jangkauan yang luas, sehingga terdapat banyak buku yang di rilis setiap saat dan memenuhi pasar dengan beragam cerita menarik.
Lalu apa yang membuat "The Poppy War" berbeda sehingga berhasil mencapai popularitas yang luar biasa dalam waktu singkat? Mari kita cari tahu bersama.
Buku ini bercerita tentang seorang gadis bernama Fa Runin atau Rin yang tinggal di kekaisaran Nikan. Rin ialah seorang yatim piatu yang dipelihara oleh seorang penjual opium di sebuah distrik terpencil. Setiap hari ia bertugas untuk mengantarkan opium pada pembeli, sampai ibu angkatnya berniat untuk menjodohkan Rin dengan seorang pengusaha yang jauh lebih tua dari gadis itu.
Tak ingin menerima nasib buruk tersebut, Rin merancang rencana agar ia bisa meninggalkan rumahnya tanpa harus kabur dari sana. Bersama dengan seorang guru, Rin berupaya belajar demi mengikuti ujian masuk akademi militer kekaisaran Nikan yang diadakan setiap tahun. Melalui kerja keras Rin berhasil lulus dan ditempatkan di Sinegard, akademi terbaik di negeri itu.Â
Meski berhasil pergi dari kampung halamannya, penderitaan Rin baru saja dimulai. Sinegard ternyata tidak seperti yang ia bayangkan. Akademi tersebut menuntut usaha yang lebih besar dari si gadis agar tidak dikeluarkan. Rin yang berasal dari wilayah kumuh membuat ia dijauhi oleh rekan-rekannya yang terlahir dari keluarga bangsawan sehingga kehidupannya di akademi Sinegard sangatlah menyiksa.Â
Ditempat itu ia bertemu dengan mentor yang membuka potensi "Shamanisme" yang ia miliki. Seorang shaman ialah orang yang telah membuat kontrak dengan dewa agar bisa menggunakan kekuatan magis. Dewa-dewa tersebut diadopsi dari mitologi 13 dewa China yang menaungi pentagram penopang surga.
 Ia memperoleh kekuatan itu diwaktu yang tepat, sebab kini kekaisaran mereka diserang oleh invasi kekaisaran Mugen, negeri tetangga di seberang lautan. Sebagai lulusan dari akademi militer, Rin sekarang dihadapkan pada tugas serta penderitaan baru yang harus ia lalui demi melindungi negaranya.
Cerita ini merupakan penggambaran imaginer dari "perang opium" antara negara China dengan Inggris yang dibumbui dengan intervensi kekuatan para dewa. Secara budaya dan struktur pemerintahan serta sosialnya, Nikan sangat terinspirasi dari kekaisaran China pada masa sebelum kedudukan Inggris. Itulah mengapa konflik cerita terkesan sangat nyata serta kompleks menurut saya.
Kekaisaran Mugen yang terinspirasi dari negara Jepang pada era industrialisasi awal menghadirkan aspek antagonis yang mencekam. Kekejaman dari invasi Mugen terkesan familiar bagi saya karena hal tersebut telah saya pelajari sebelumnya dibangku sekolah serta cerita dari kakek-nenek yang sempat hidup pada masa penjajahan Jepang di negara kita.Â
Melalui perspektif Rin sebagai tokoh utama, pembaca disuguhkan oleh malapetaka dari peperangan yang muncul karena konflik rasisme serta perebutan sumber daya. Membaca buku ini tidak terasa seperti sedang membaca fantasi, melainkan membaca buku sejarah yang dibumbuhi kekuatan magis, sesuatu yang jarang saya temui pada buku novel komersil lainnya.
Selain itu, saya sangat menikmati penerapan strategi perang yang ditulis oleh Jendral legendaris China, Sun Tzu dalam bukunya, "The Art of War" dalam cerita ini. Sebagai penikmat sejarah peperangan, saya tidak menyangka ada buku novel yang mampu mengadaptasi karya Sun Tzu secara realistis meskipun harus menambahkan penggunaan kekuatan sihir.
Satu hal dalam buku ini yang sedikit mengganggu saya adalah alur cerita yang terlalu cepat. Saya terbiasa membaca novel yang memiliki pemaparan karakter-karakter yang lengkap, sehingga saya dapat membentuk koneksi emosional dengan cerita mereka. Layaknya seorang yang pergi ke luar kota, buku ini seolah tidak ingin berhenti dipersimpangan untuk minum kopi dan mengobrol sejenak dengan pengunjung lain, tetapi terburu-buru ingin menyelesaikan perjalanan.
Hal tersebut membuat buku ini dapat diselesaikan dengan sekali duduk, namun mungkin itu yang teman-teman inginkan jika kalian pembaca yang tidak menyukai alur yang berbelit-belit. Secara keseluruhan, saya rasa "The Poppy War" adalah novel fantasi yang tidak boleh dilewatkan. Karakter yang menarik serta konflik yang realistis akan menghadirkan sebuah pengalaman membaca yang spesial untuk mengisi liburan natal dan tahun baru kalian kali ini.
rating saya untuk buku ini 8/10Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI