Mohon tunggu...
Aris Balu
Aris Balu Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis seputar fiksi dan fantasi || Bajawa, Nusa Tenggara Timur

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Fantastic Beasts dan Serial Penghancur Dunia Sihir

14 Juni 2022   02:06 Diperbarui: 14 Juni 2022   02:10 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image caption: https://www.youtube.com/watch?v=7ypnJs5KkPo

Fantastic Beasts sebagai sebuah serial spin-off  Harry Potter sangatlah mengecewakan bagi saya. Serial film layar lebar tersebut kehilangan hal spesial yang membuat banyak mata tertarik dengan petualangan Harry dan teman-teman di dunia sihir.  The Secret of Dumbledore, film ketiga dari serial ini juga tidak dapat menebus kegagalan fundamental dari alur, karakter, serta konsep cerita yang lebih mirip fan fiction daripada karya penulis profesional. 

Pertama-tama, perlu ditekankan bahwa film pertama dari serial ini, Fantastic Beast and Where to Find Them setidaknya punya alur yang sedikit koheren dan menarik bagi saya. Newt Scamander yang mengunjungi benua Amerika demi mempelajari hewan ajaib serta Jacob, seorang muggle yang menjadi refleksi dari penonton akan keajaiban hewan-hewan tersebut menghadirkan interaksi yang cukup memikat. 

Eddie Redmayne juga berhasil memerankan tokoh utama yang karismatik sehingga mampu "menyelamatkan" film tersebut hingga mendapat sekuel. Oleh karena itu, alur cerita sudah seharusnya tetap berfokus pada petualangan Newt dan Jacob dalam mencari dan berinteraksi dengan mahluk-mahluk ajaib di dunia sihir. 

The Crimes of Grindelwald menjadi palu terakhir yang menjamin kehancuran alur cerita. Narasi yang terlalu berfokus pada aspek politik membuat apa yang dijanjikan (petualangan mencari hewan-hewan fantastis) terkesan dikesampingkan. Hewan-hewan tersebut tidak bedanya dengan alat yang digunakan untuk menggerakan alur lalu dilupakan ketika sudah tidak diperlukan. 

Fokus cerita yang sekarang diarahkan pada keinginan Grindelwald berkuasa atas para muggle membuat Newt seolah hanya karakter sampingan di filmnya sendiri. Sangat disesalkan ketika saya yang menyukai politik di dalam fantasi justru dibuat benci olehnya.

Sebelum dilanjutkan, mari kita bahas sejenak aspek politik dalam serial ini sebab ada beberapa hal yang menggagu pikiran saya. Tidak seperti Game of Thrones atau Attack on Titan, dinamika politik pada serial ini terkesan terlalu sederhana dalam penjabarannya.

Grindelwald merupakan refleksi dari bangkitnya kekuasaan Adolf Hitler pada tahun 1930an. Jika Hitler menyalahkan kaum yahudi dan komunis atas kejatuhan ekonomi Jerman, Grindelwald menyalahkan kaum muggle karena mendorong penyihir kedalam persembunyian. Namun mengapa hal tersebut seketika membuatnya menjadi tokoh antagonis? Apa yang salah dengan membiarkan muggle tahu akan keberadaan sihir?

Terlepas dari keinginannya untuk berkuasa diatas para muggle, kejahatan Grindelwald bagi penulis naskah adalah mempertanyakan status quo. Isolasi para penyihir adalah sebuah situasi yang tidak boleh diubah karena hal tersebut merupakan status quo yang dibuat oleh para petinggi di dunia sihir. 

Oleh karenanya, pahlawan kita, Newt, Dumbledore dan kawan-kawan berperan sebagai penjaga tradisi tanpa motivasi karakter yang jelas selain "kami protagonisnya." Dinamika politik yang kekanak-kanakan itu membuat konflik dalam cerita tidak tereksplor secara baik dan terkesan lemah.

Mungkin teman-teman akan berpendapat, "Wajar dong ris. Harry Potter kan cerita anak-anak, jadi ga perlu membahas politik yang berat-berat."

Maka dari itu, serial ini akan lebih baik jika tetap menjadi serial yang ditujukan untuk anak-anak. Mana yang lebih menarik bagi kalian? Cerita seorang peneliti yang mengarungi dunia sihir, bertemu dengan mahluk-mahluk fantastis dengan karakteristik yang unik, atau seorang peneliti yang terjebak didalam konflik politik yang bahkan tidak memerlukan keberadaanya?

Politik bukanlah isu yang mudah untuk dimasukan kedalam cerita fantasi. Dibutuhkan pemahaman yang kompleks terhadap bagaimana interaksi politik bekerja sebelum kita memuntahkan perumpamaan yang dangkal kedalam cerita yang kita buat. Hal tersebut mungkin tidak diperhitungkan oleh sang penulis.

Kegagalan serial ini juga datang dari penulisnya sendiri, J.K Rowling. Wanita yang sempat menjadi penulis terkaya di dunia itu mampu menulis buku novel secara efektif, namun tidak dengan naskah sebuah film yang mengharuskan cerita diselesaikan dalam kurun waktu kurang dari 3 jam.

Sebuah film tidak seperti buku yang dapat diisi dengan latar belakang dari setiap karakter sampingan. Menambahkan begitu banyak karakter untuk terlibat dalam film membuat serial ini dipenuhi oleh karakter satu dimensi yang tidak menarik untuk diikuti oleh penonton.

Keberadaan Theseus Scamander misalnya, karakter yang seharusnya punya peran krusial menjadi tidak dikenali saat ia harus berbagi jam tayang dengan karakter lain yang bahkan tidak bisa saya sebutkan namanya.

Jika teman-teman tidak percaya, cobalah tutup mata kalian dan bayangkan apa peran kakak Newt tersebut dalam cerita ini. Tidak bisa? Jangan khawatir, itu bukan kesalahan teman-teman, melainkan kegagalan penulis yang tidak mampu memfokuskan naskah film secara efektif.

Selain itu, Rowling juga melakukan kesalahan fatal saat ia tidak berpatokan pada aturan dunia sihir yang telah ditulis pada serial Harry Potter. Begitu banyak penyimpangan serta penambahan world building yang tidak sejalan dengan dunia yang telah ia rancang sejak tahun 1999 tersebut.

Sebagai contoh, pemerintah dunia sihir yang dikenal oleh penggemar adalah The Ministry of Magic, sebuah sistem yang demokratis di wilayah Britania Raya. Lalu pada film pertama Fantastic Beasts, penonton mengetahui bahwa terdapat sistem yang hampir sama di Amerika Serikat yaitu The Magical Congress of the USA, yang dalam konteks cerita, masih dapat diterima. Namun pada film ketiga, sebuah pemerintahan baru muncul entah dari mana.

Tanpa pernah disebut pada karya-karya sebelumnya, Supreme Mugwump menjadi puncak hierarki dunia sihir. Sebuah omong kosong yang tentu tidak dapat saya diterima, sebab bayangkan berapa banyak kejanggalan dalam world building yang dapat lahir dari informasi tersebut.

Jika Supreme Mugwump selalu ada, mengapa bagian pemerintahan tersebut sama sekali tidak terlibat ketika Voldemort menyatakan perang terhadap dunia penyihir dan menyerang ministry of magic serta Hogwards? 

Atau yang lebih menggelikan lagi, kenapa Voldemort tidak sekalian mencoba menjadi kandidat Supreme Mugwump seperti Grindelwald dan otomatis berkuasa atas dunia sihir?

Satu-satunya yang J.K Rowling peroleh dari world building yang tidak karuan tersebut adalah hilangnya keinginan penggemar untuk menantikan karya-karya lanjutan dari serial ini. Akibatnya, penggemar mungkin saja tidak bisa menikmati film Harry Potter yang baru dalam waktu yang sangat lama.

Fantastic Beast memiliki potensi yang sangat sempurna bagi Rowling untuk menarik kembali pandangan publik pada dunia ciptaannya. Namun ia lebih memilih untuk menciptakan sesuatu yang tidak dikenali, baik oleh penggemar veteran maupun penikmat film kasual. Rowling terkesan seperti melihat kesuksesan Game of Thrones dan memutuskan membuat cerita yang sama tanpa mengerti apa konteks yang membuat cerita tersebut dapat bekerja.

Akan tetapi, tidak ada salahnya jika Rowling ingin mengeksplorasi kehidupan politik dalam dunia Harry Potter. Ia hanya perlu menulis cerita yang berbeda, tanpa seorang pecinta binatang ajaib nan fantastis yang karismatik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun