"Namaku Haka, Aku pengelana dari ibukota. Bolehkah aku dan kudaku meminta air dari sumurmu ini?" tanya pria itu sopan.
Ouhm mengesampingkan kertas serta pinsil arang lalu menyeruput tehnya. Matanya tajam memandang pria yang kini berdiri di samping sumur. Tubuhnya cukup berisi meskipun jubah membungkusnya, ia juga cukup tinggi melihat betapa mudahnya ia turun dari pelana kuda. Meski baru pertama kali bertemu, wajah pria itu tidak asing bagi Ouhm.
"Tentu saja, orang asing. Setelah itu, bergabunglah denganku untuk minum teh." Pengelana? Di bulan ini? Tidak biasanya ada orang dari ibukota melakukan perjalanan saat pergantian musim, terutama sendirian.
"Tuan baik sekali, tapi air di sumur ini sudah lebih dari cukup."
"Dewi Shid akan menghukumku kalau aku tidak membukakan pintu bagi pengelana yang kesulitan, apalagi pada minggu perayaan seperti sekarang. Tidak usah sungkan... Haka."
"Baiklah kalau begitu, Tuan...."
"Ouhm, panggil aku Ouhm."
"Terima kasih, tuan Ouhm."
Teh panas mengalir dari teko menuju cangkir yang dipegang Haka. Ia menunduk hormat lalu menyeruputnya nikhmat. Mereka duduk bersila di teras sambil dipukuli angin sejuk dan cahaya matahari pagi, sementara kuda hitam milik Haka meminum air yang diambil dari sumur sembari mendengkur halus.
"Jadi apa yang membuatmu meninggalkan ibukota, Haka? Tempat ini cukup jauh dari Shipandi. Perlu waktu berbulan-bulan untuk sampai kesini, dan kau pergi sendirian di musim dingin. Itu agak tidak biasa." Tanya Ouhm sembari menulis.
"Aku juga sebenarnya tidak ingin meninggalkan Shipandi, tuan. Akan tetapi kota itu sedang dalam pergolakan besar karena pergantian kepemimpinan. Paduka raja Walishiga sudah dibunuh oleh pemimpin oposisi, laskar Ghanita. Hampir setiap hari terjadi pertempuran hingga api melalap setiap sudut kota. Kota itu sungguh tidak cocok untuk pengelana sepertiku."