Meski MA menolak, namun presiden Jokowi tetap keukeh menaikkan iuran BPJS melalui Perpres No. 64 tahun 2020 atau perubahan kedua Perpres No. 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres tersebut mulai berlaku per 1 Juli 2020 mendatang.
Kedua, ditataran regulasi yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Covid-19 naik status menjadi UU No. 2 tahun 2020. Ini yang tak kalah mengherankan.
Pasalnyabeberapa waktu yang lalu, Perppu ini dinilai oleh sebagian kalangan merupakan  regulasi yang kontroversial, sehingga tokoh-tokoh senior sekaliber Amien Rais, Din Syamsuddin, Sri Edi Swasono Cs menempuh jihad konstitusi (mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi) dengan perkara No. 24/PUU-XVIII/2020. Namun diam-diam mayoritas fraksi di DPR justru menyetujui Perppu yang dipersoalkan itu justru disahkan menjadi UU.
Tokoh-tokoh senior di atas menilai setidaknya ada beberapa pasal yang berpotensi besar memberi peluang korupsi dan inkonstitusional terhadap UUD 1945 yang saat ini sedang melewati tiga kali masa sidang pengujian materil.
Adapun pasal yang didalilkan yaitu pasal 27 ayat (1) berbunyi "Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara".
Ayat (2) berbunyi, "Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota secretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementrian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3) berbunyi, "Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara".
Memahami berbagai masalah pelik diatas, diharapkan kehadiran suatu lembaga atau kelompok masyarakat yang mengontrol kebijakan pemerintah agar tidak keluar dari rel. Namun seiring bergulirnya waktu, tampaknya kehadiran lembaga-lembaga Negara seperti legislatif yang tugas dan fungsi utamanya mengawasi dan mengontrol kebijakan pemerintah sulit di harapkan. Buktinya mayoritas anggota DPR mengesahkan sejumlah regulasi yang kontroversial tanpa memperhatikan asas keadilan dalam Negara demokrasi.
Dengan demikian bisa dikatakan tidak ada lagi pembagian dan pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif (tryas political). Semuanya di atur sesuai selera pemerintah (eksekutif). Mengenai iuran BPJS, yudikatif (MA dan KPK) sedikit berperan, namun tampaknya belum sesignifikan yang menjadi ekspektasi rakyat.
Berharap blow up dari media massa (mass media mainstream) sebagai pilar keempat demokrasi ? Ini juga agak sulit di percaya, apalagi konglomerasi media sedang nge-trend. Pada kelompok ini juga cenderung mengikuti arus.
Pun demikian dengan aktivis mahasiswa yang sudah terlampau tergerus zaman. Padahal sejarah telah mencatat bahwa kehadiran kelompok ini sangat di nantikan apalagi maraknya suatu kebijakan yang cukup kontroversial ditegah pandemi ini, mengingat status yang disandangnya sebagai agent of change and agent of control.